Peneliti pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan masih sangat optimis dengan potensi ketahanan sagu di Provinsi Maluku.

“Saya masih optimis dengan sagu yang ada di Maluku karena dilihat dari fungsi-fungsinya sekarang banyak yang menjadi olahan makanan pokok, dan itu masih sangat penting di Maluku,” kata Peneliti di Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Rein E. Senewe, M.Sc, di Ambon, Senin (22/8).

Menurutnya, potensi sagu masih sangat tinggi di Maluku, karena mulai dari Pulau Seram hingga ke Kota Ambon, masyarakat selalu memanfaatkan sagu menjadi banyak olahan.

“Sagu di Maluku masih sangat-sangat dibutuhkan. Kita lihat di mana-mana ada jual sagu kering, ada rumah makan papeda, dan masih banyak lagi. Jadi memang sagu masih sangat potensial. Tinggal bagaimana mengemas lagi untuk dukungan pemerintah daerah,” ujarnya.

Ia mengungkapkan, sagu sangat perlu dipertahankan, karena tercatat, 10 tahun terakhir, potensi sagu mulai menurun dari sisi luasan lahan.

“Tercatat di Maluku dalam angka badan pusat statistik bahwa memang tadinya di atas 10 tahun lalu itu 60 ribu hektare, sekarang terjadi penurunan bahkan sekarang statistik di BPS 2022 sudah sekitar 30-an ribu hektare. Berarti terjadi penurunan dari sisi luas lahan,” ungkapnya.

Baca juga: Maluku cetak rekor MURI untuk 521 makanan berbahan sagu terbanyak

Ia menyebutkan, penyebab dari penurunan luasan lahan karena fungsi lahan sagu yang dialihfungsikan, seperti perluasan areal tanaman padi, pembangunan rumah serta gedung-gedung perkantoran.

“Contoh kongkretnya yang terjadi di Kabupaten Seram Bagian Barat, Kota Piru, dari situ memang betul-betul sagu dibabat habis untuk dijadikan bangunan perkantoran,” ujar Rein.

Oleh karena itu, lanjut Rein, untuk mempertahankan sagu ini tetap terjaga di Maluku, perlu ada pengembangan dari sisi perluasan lahan areal, dengan cara menanam kembali pada habitat sagu yang sebenarnya.

“Sagu kan habitatnya di lahan-lahan yang berair, becek ya. Kemudian kenapa saya bilang di pinggir sungai, karena memang daerah sungai yang bagus. Karena dia akan berkembang dengan baik di situ. Selain itu dengan adanya sagu di dekat aliran air, ia akan membersihkan air yang ada pada sungai itu,” terang Rein.

Baca juga: Peneliti: Pengolahan sagu modern di Maluku harus sejalan dengan budidaya

Ia juga mengaku bersyukur sudah beberapa kali ada kegiatan-kegiatan terkait rekor MURI yang mengangkat soal sagu hingga olahannya.

“Tapi jangan sampai di situ. Jadi cuma sekadar kegiatan, ajang-ajang seperti begitu, tapi harus melihat pengembangan sagu. Bagaimana mempertahankannya,” imbuh Rein.

Karena itu, Rein berharap, ke depan, masyarakat Maluku melakukan perluasan lahan dengan mulai menanam sagu di areal sungai atau pun tempat lain yang berair.

“Sagu ini kan tidak sama dengan tanaman perkebunan yang lain. Coba dilihat tanaman perkebunan yang lain perlu ada pembibitan, ditanam dirawat. Kemudian kalau dia habis masa tumbuh tidak berbuah lagi lalu ditebang. Sagu kan tidak ada, sekali tanam aja, nanti dia cari jalan. Karena sagu istilahnya rumpun. Jadi kalau sudah tumbuh satu, dia akan muncul lagi rumpun-rumpun yang lain,” jelasnya.

Menurut Rein, apabila sagu ini hilang atau punah dari Maluku, maka Maluku juga akan kehilangan identitas, sosial dan budayanya.

“Karena sagu itu identik dengan orang Maluku yang punya istilahnya keliatan dari luar keras, tapi isinya lembut,"ucap Rein.

Baca juga: Pelaku UMKM diminta kembangkan olahan sagu di Maluku, perlu kebijakan hulu sampai hilir

Pewarta: Winda Herman

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022