"Sudah ketemu, mungkin tadi karena kita belum izin dengan penunggu Istana Mini makanya tak kelihatan," kata Noel, Kepala Biro KompasTV Ambon berteriak dari dalam Istana Mini di Banda Neira pada pertengahan Oktober 2022.

Sudah hampir setengah jam lamanya saya dan Noel berkeliling di kompleks Istana Mini. Udara sangat panas pada siang itu membuat peluh membasahi badan saat kami menyusuri setiap ruangan istana yang tampak hampa. Saat itu hanya kami berdua di sana, tidak ada orang yang bisa ditanya, hanya keinginan kuat untuk melihat sajak yang terkenal di tempat itu.

Kami terlihat kecil dibandingkan jendela-jendela bangunan istana peninggalan jaman kolonial yang tinggi menjulang. 

Baca juga: BI dukung Banda Neira punya peta jalan majukan pariwisata di Maluku

Karena teriakan Noel itu saya jadi makin penasaran karena merasa sudah mencari ke semua ruangan. Kami masuk ke sebuah ruangan di sudut depan Istana Mini. Itu mungkin dulu adalah kamar karena ukurannya lebih kecil ketimbang ruangan lainnya. Ruangan itu gelap karena daun jendelanya semua tertutup.

Noel menyalakan lampu di smartphone, dan sajak itu mulai terlihat di salah satu kaca jendela. Kami serasa menemukan relik penting, suasana jadi hening sambil saya berusaha mencerna apa perasaan si penulis sajak itu. Tulisan itu terukir di kaca bening jendela, dilapisi bingkai dobel untuk melindunginya dari sentuhan langsung manusia yang bisa merusaknya.

Di kaca bagian bawah jendela yang sama terlihat ada yang pecah, tapi kondisi kaca tempat sajak itu diukir masih aman dari kerusakan.

Baca juga: LKBN Antara lakukan transplantasi karang di Banda Neira

Itulah sajak dari Charles Rumpley, yang menurut catatan sejarah disebut sebagai petugas yang pernah pernah menempati istana mini. Pada ujung kanan bawah tertulis jelas tanda tangan bertuliskan "Rumpley", sedangkan di kirinya terbaca "1 September 1831". Rumpley dikisahkan mengukir sajak itu dengan cincin berlian, sebelum bunuh diri.

Sajak atau pesan kematian itu bertuliskan:

Quand viendra t`ill le temps que formera mon bonheur?
Quand frappera la cloche qui va sonner l`heure
Le moment que je reverai les bords de ma Patrie
Le soin de ma famille que j`aime et que je benis?  


 
Wisatawan memotret dengan gawai saat mengunjungi Istana Mini di Banda Neira, Provinsi Maluku, Sabtu (15/10/2022). Istana Mini yang merupakan cagar budaya nasional bekas kantor Gubernur Jenderal Belanda tersebut menjadi salah satu markah terkenal untuk wisata di Banda Neira. ANTARA FOTO/FB Anggoro/YU


Setelah mencari literatur terkait Istana Mini, kisah tragis pernah ditulis oleh Lawrence Blair dan Lorne Blair dalam buku Ring of Fire: An Indonesian Odyssey. Sajak itu dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai berikut:

Kapan tiba saatnya untuk kebahagiaanku?
Ketika lonceng menghantam waktu
Saat-saat ketika aku melihat lagi tanah airku
Jiwa keluargaku yang aku cintai dan berkati?


Sajak itu menggambarkan kesedihan si penulis akan kerinduannya pada tanah air dan terutama rindu dengan keluarganya. Keindahan Pulau Banda dan kemegahan bangunan itu sepertinya tidak bisa mengobati kerinduan Rumpley yang teramat dalam hingga akhirnya ia memutuskan mengakhiri hidupnya.

Sajak Rumpley yang tersembunyi di Istana Mini tak pelak jadi sesuatu yang harus dikunjungi di Banda Neira.
 

LKBN ANTARA transplantasi karang di Banda Neira

 

Baca juga: Dispar Maluku perjuangkan Banda Neira jadi prioritas wisata nasional, perlu keseriusan semua pihak

Pewarta: FB Anggoro

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022