Jakarta (ANTARA) - Pariwisata, kini bukan lagi sektor pelengkap, tetapi telah menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
Di banyak negara, sektor ini menjadi kunci pertumbuhan ekonomi baru pascapandemi COVID-19 yang merontokkan ekonomi dunia.
Demikian juga halnya dengan Indonesia. Pemerintah dan pelaku industri di sektor ini berupaya mengembangkan objek wisata berkualitas untuk menarik kembali wisatawan yang sempat turun drastis akibat pembatasan perjalanan selama pandemi COVID-19.
Tren pariwisata berkelanjutan semakin diminati oleh masyarakat, termasuk wisatawan mancanegara, dengan wisata ramah lingkungan menjadi salah satu fokus utama.
Kunjungan wisatawan ke Indonesia mengalami penurunan drastis pada 2021 akibat pandemi, kemudian mulai pulih kembali pada 2022.
Industri pariwisata Indonesia terus mengalami peningkatan hingga pada 2024 mencatat jumlah kunjungan lebih dari 13,9 juta, angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Meskipun demikian, pengelolaan pariwisata di negeri ini masih menghadapi banyak tantangan struktural, baik dari sisi regulasi, kelembagaan, maupun kebijakan operasional di lapangan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang selama ini menjadi payung hukum utama, kini memasuki masa krusial untuk direvisi. Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepariwisataan yang tengah berlangsung di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi momentum penting untuk menata ulang arah kebijakan pariwisata nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan.
RUU Kepariwisataan terbaru diharapkan tidak sekadar memperbarui redaksi norma hukum, tetapi mampu menjawab berbagai isu yang selama ini menjadi hambatan dalam pengembangan sektor ini.
Lima hal krusial yang kini menjadi perhatian dalam pembahasan oleh parlemen perlu mendapat tempat yang strategis dalam draf undang-undang yang baru. Kelima isu tersebut adalah penguatan pendidikan vokasi dan sumber daya manusia (SDM) pariwisata; promosi pariwisata yang lebih masif dan strategis; penataan objek wisata dan isu keberlanjutan; pembenahan kelembagaan, serta peningkatan penerimaan negara dari sektor pariwisata.
Beberapa negara yang berhasil membangkitkan sektor pariwisata mereka, mungkin bisa dijadikan contoh dalam penggodokan rancangan undang-undang ini. Negara-negara di kawasan Timur Tengah, misalnya, berhasil membangkitkan pariwisata mereka melalui reformasi visa dan penyelenggaraan acara internasional berskala besar. Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, kini menjadi magnet wisata baru karena kemudahan akses bagi wisatawan, ditambah promosi objek wisata yang terintegrasi dengan memanfaatkan strategi diplomasi ekonomi dan budaya.
Indonesia, di sisi lain, justru bergerak ke arah sebaliknya. Kebijakan pencabutan bebas visa kunjungan dan menggantinya dengan skema visa on arrival, terutama bagi wisatawan dari negara-negara potensial, dapat mengurangi daya saing objek wisata Indonesia di mata dunia.
Padahal, reformasi visa merupakan salah satu pendorong utama kebangkitan pariwisata global, selain konektivitas udara, tren ekowisata dan wisata budaya, serta munculnya kebutuhan perjalanan kombinatif antara bisnis dan wisata (bleisure travel).
Jika ditarik ke level daerah, persoalan ini menjadi lebih terasa. Sumatera Utara, misalnya, memiliki potensi besar di bidang pariwisata budaya, alam, dan sejarah.
Danau Toba yang telah ditetapkan sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) memang telah menunjukkan kemajuan, namun belum menyentuh optimalisasi potensi kawasan lainnya, seperti Berastagi, Nias, atau kawasan perbukitan Karo dan Mandailing yang sarat warisan budaya.
Salah satu kendala utama adalah belum adanya sinergi antara promosi, pendidikan pariwisata, pengelolaan objek wisata, dan investasi. Belum lagi problem koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta lemahnya kelembagaan promosi, seperti Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) yang seharusnya menjadi garda depan dalam pengembangan pasar pariwisata lokal dan internasional.
Arah strategis
Revisi UU Kepariwisataan harus memuat fondasi baru yang mampu menjadi panduan strategis dalam pengembangan sektor ini ke depan.
Arah perubahan yang perlu diprioritaskan, meliputi penguatan sistem pendidikan dan pelatihan vokasi pariwisata yang berbasis kebutuhan pasar dan teknologi digital; pengembangan skema promosi terpadu lintas kementerian dan daerah yang didukung pendanaan proporsional; serta penerapan pendekatan keberlanjutan yang melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam pengelolaan objek wisata.
Di sisi kelembagaan, diperlukan reformasi struktural melalui penguatan peran Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) serta kejelasan relasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Regulasi yang baru juga harus mendorong peningkatan kontribusi fiskal dari sektor pariwisata melalui dukungan investasi dan skema retribusi yang adil, serta reformasi kebijakan visa dan peningkatan konektivitas udara guna memudahkan akses masuk bagi wisatawan mancanegara.
Semua arah ini perlu dirumuskan dalam desain regulasi yang tidak hanya responsif terhadap dinamika global, tetapi juga kontekstual terhadap realitas dan kebutuhan daerah.
Indonesia tidak boleh tertinggal dalam perlombaan global sektor pariwisata. RUU Kepariwisataan yang sedang dibahas di DPR adalah peluang besar untuk menanamkan kembali arah pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, berbasis budaya, dan inklusif secara ekonomi.
Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa UU yang lahir nantinya bukan hanya legal formal, tetapi benar-benar mencerminkan kebutuhan zaman dan membuka jalan bagi kebangkitan pariwisata Indonesia yang lebih tangguh.
Sumatera Utara dan daerah-daerah lain di luar Jawa bisa menjadi wajah baru pariwisata nasional, asalkan regulasi berpihak, koordinasi berjalan efektif, dan masyarakat dilibatkan secara bermakna.
*) Rioberto Sidauruk adalah Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI dan pemerhati kebijakan industri dan pariwisata
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Revisi UU Kepariwisataan: kunci kebangkitan ekonomi dari daerah