Ambon (Antara Maluku) - Sengketa tanah di kawasan bandara internasional Pattimura Ambon yang mellibatkan warga negeri Laha, Kecamatan Teluk Ambon dan TNI-AU seharusnya diselesaikan melalui kebijakan pemerintah pusat.
"Harusnya dengan kebijakan Pemerintah pusat, karena sengketa ini sering berujung aksi unjuk rasa di kompleks Bandara Internasional Pattimura. Sampai sekarang pun penyelesaiannya belum tuntas karena berbagai pihak terlibat di dalamnya," kata Kepala Biro Hukum Setda Maluku, Ali Sella dalam rapat kerja dengan komisi A DPRD Maluku di Ambon, Selasa.
Menurut dia, masyarakat Laha mengklaim lahan seluas 251 hektare yang menjadi objek sengketa adalah milik mereka, namun TNI Angkatan Udara juga melakukan hal serupa dan melaporkannya ke Mabes TNI-AU termasuk mendaftarkan aset tersebut ke Kementerian Keuangan.
Untuk menyelesaikan persoalan ini tidak bisa di daerah saja karena ini ada keputusan bersama antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan terkait status tanah Laha yang dijadikan bandara internasional Pattimura.
Dalam pertemuan antara Pemprov Maluku, Pemkot Ambon bersama masyarakat Laha, Gubernur Karel Albert Ralahalu menyarankan kepada warga untuk memroses gugatan mereka lewat jalur hukum, tapi warga berpandangan lain.
"Warga Laha berprinsip objek yang disengketakan adalah lahan mereka dan khawatir akan ada intervensi maupun intimidasi kalau ditempuh lewat jalur hukum," kata Ali Sella.
Ia menegaskan, persoalan tersebut harus diselesaikan lewat pemerintah pusat karena menyangkut dokumen surat yang dikeluarkan penguasa perang daerah di masa lampau, yang menyatakan tanah lapangan terbang (Lapter) Laha adalah milik negara dan menjadi aset TNI-AU.
"Di sisi lain, ada sepucuk surat dari salah satu mantan Komandan TNI-AU yang menyatakan kalau lokasi itu dipinjamankan masyarakat Laha kepada TNI-AU selama 30 tahun. Tapi, semua alat-alat bukti ini belum bisa diuji kebenarannya, kecuali melalui proses pengadilan," kata Ali Sella.
Bentuk tim terpadu
Ketua komisi A DPRD Maluku, Richard Rahakbauw yang memimpin jalannya rapat kerja ini mengusulkan perlunya membentuk sebuah tim terpadu yang melibatkan unsur Pemprov, DPRD, Badan Pertanahan Nasional, TNI-AL dan TNI-AU dan TNI-AD, serta Sekretaris Bersama (Sekber) gerakan reformasi agrasia nasional Maluku.
"Tim ini akan bekerja maksimal mengumpulkan seluruh data dan bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah kemudian diperjuangkan ke pemerintah pusat," katanya.
Menurut dia, penyelesaian sengketa tanah seperti di Laha, Negeri Liang dan Leihitu antara masyarakat dengan institusi TNI akan dilakukan lewat komunikasi dengan Kementerian Pertahanan, Kemeterian Perhubungan, BPN maupun komisi I DPR-RI.
"Garis komando TNI sangat jelas dan tegas. Aparat di daerah akan tetap menjalankan perintah dari atasannya yang paling tinggi di tingkat pusat," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2012
"Harusnya dengan kebijakan Pemerintah pusat, karena sengketa ini sering berujung aksi unjuk rasa di kompleks Bandara Internasional Pattimura. Sampai sekarang pun penyelesaiannya belum tuntas karena berbagai pihak terlibat di dalamnya," kata Kepala Biro Hukum Setda Maluku, Ali Sella dalam rapat kerja dengan komisi A DPRD Maluku di Ambon, Selasa.
Menurut dia, masyarakat Laha mengklaim lahan seluas 251 hektare yang menjadi objek sengketa adalah milik mereka, namun TNI Angkatan Udara juga melakukan hal serupa dan melaporkannya ke Mabes TNI-AU termasuk mendaftarkan aset tersebut ke Kementerian Keuangan.
Untuk menyelesaikan persoalan ini tidak bisa di daerah saja karena ini ada keputusan bersama antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertahanan terkait status tanah Laha yang dijadikan bandara internasional Pattimura.
Dalam pertemuan antara Pemprov Maluku, Pemkot Ambon bersama masyarakat Laha, Gubernur Karel Albert Ralahalu menyarankan kepada warga untuk memroses gugatan mereka lewat jalur hukum, tapi warga berpandangan lain.
"Warga Laha berprinsip objek yang disengketakan adalah lahan mereka dan khawatir akan ada intervensi maupun intimidasi kalau ditempuh lewat jalur hukum," kata Ali Sella.
Ia menegaskan, persoalan tersebut harus diselesaikan lewat pemerintah pusat karena menyangkut dokumen surat yang dikeluarkan penguasa perang daerah di masa lampau, yang menyatakan tanah lapangan terbang (Lapter) Laha adalah milik negara dan menjadi aset TNI-AU.
"Di sisi lain, ada sepucuk surat dari salah satu mantan Komandan TNI-AU yang menyatakan kalau lokasi itu dipinjamankan masyarakat Laha kepada TNI-AU selama 30 tahun. Tapi, semua alat-alat bukti ini belum bisa diuji kebenarannya, kecuali melalui proses pengadilan," kata Ali Sella.
Bentuk tim terpadu
Ketua komisi A DPRD Maluku, Richard Rahakbauw yang memimpin jalannya rapat kerja ini mengusulkan perlunya membentuk sebuah tim terpadu yang melibatkan unsur Pemprov, DPRD, Badan Pertanahan Nasional, TNI-AL dan TNI-AU dan TNI-AD, serta Sekretaris Bersama (Sekber) gerakan reformasi agrasia nasional Maluku.
"Tim ini akan bekerja maksimal mengumpulkan seluruh data dan bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah kemudian diperjuangkan ke pemerintah pusat," katanya.
Menurut dia, penyelesaian sengketa tanah seperti di Laha, Negeri Liang dan Leihitu antara masyarakat dengan institusi TNI akan dilakukan lewat komunikasi dengan Kementerian Pertahanan, Kemeterian Perhubungan, BPN maupun komisi I DPR-RI.
"Garis komando TNI sangat jelas dan tegas. Aparat di daerah akan tetap menjalankan perintah dari atasannya yang paling tinggi di tingkat pusat," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2012