Masjid Nabawi di era modern menjadi simbol perjumpaan teknologi modern dan spritualitas. Di pelataran masjid berdiri kokoh tiang-tiang yang berfungsi sebagai payung yang dapat membuka dan menutup.

Ia membuka di siang hari dan menutup di malam hari. Dengan teknologi Jerman pelataran masjid yang semula panas terkena sengatan matahari di siang hari menjadi sejuk.

Kelembapan pelataran masjid di Kota Madinah yang kering juga dimodifikasi dengan ratusan blower yang menghembuskan uap air sehingga menjadi lebih lembap.

Di pelataran juga berlalu lalang mobil golf yang membantu jamaah mengantarkan ke tempat shalat atau pintu gerbang terdekat dengan hotel. Demikian pula mobil-mobil mini pembersih kian kemari mengepel lantai secara otomatis usai shalat lima waktu.

Di pelataran itu toilet dan tempat wudhu umumnya berada di ruang bawah tanah (basement) yang dihubungkan dengan eskalator dan tangga manual.

Toilet tersebut berhubungan langsung dengan tempat parkir basement sehingga di seputaran masjid tidak terjadi kemacetan lalulintas.

Di sekeliling masjid berdiri kokoh pondok-pondok bintang empat dan bintang lima. Pondok, dalam Bahasa Arab, bukan bangunan kecil dari bambu atau pondok pesantren.

Pondok yang dimaksud adalah hotel-hotel mewah yang di lantai dasarnya juga berfungsi sebagai pasar modern dan supermarket. Di seputaran masjid itu spritualitas juga berjumpa dengan parfum arab dan toko-toko perhiasan.

Toh, tak bisa dipungkiri teknologi telah membuat ziarah ke Makam Rasulullah menjadi lebih nyaman. Aktivitas kehidupan di masjid terus menerus tanpa henti selama 24 jam sehari.

Shalat lima waktu para jamaah haji maupun jamaah umrah cukup dilakukan dengan berjalan kaki. Dekat, sangat dekat. Tiada kesulitan untuk menjangkau masjid dari hotel kecuali satu hal: semua bentuk bangunan hotel dan pintu pagar masjid mirip. Dampaknya banyak jamaah yang tersesat ketika hendak kembali ke hotel.

Di musim haji problem itu diatasi Pemerintah Indonesia dengan menurunkan petugas haji yang berjaga di lima sudut Masjid Nabawi.

Di setiap pos berjaga 3-5 orang petugas. Mereka mengarahkan dan mengantarkan jamaah yang kebingungan pulang ke hotel. Jamaah yang tidak bisa pulang umumnya karena lupa nomor pintu gerbang pagar yang dimasukinya yang terdekat dengan hotel.

Pintu gerbang pelataran dan pintu masjid memang dibedakan dengan penomoran sehingga mengingatnya menjadi mutlak agar tidak tersesat.


Tujuan Ziarah

Masjid Nabawi di Madinah Al Munawwarah memang tetap menjadi tujuan ziarah umat Islam di segala penjuru dunia setelah Ka'bah di Mekkah Al Mukaramah.

Mereka yang berhaji dan berumrah lazimnya 'mewajibkan' mengunjungi kedua tempat suci tersebut. Madinah dikunjungi sebagai bentuk penghormatan pada Nabi Muhammad dari jamaah yang telah datang ribuan kilometer ke Mekkah dari negerinya.

Nabi Muhammad memang sosoknya secara fisik tak pernah dijumpai manusia yang hidup di era modern. Namun, kerinduan pada Nabi Muhammad terpatri dalam setiap lubuk hati Umat Islam. Di dekat makam nabi, para jamaah mengucapkan salam kepada nabi, bersaksi atas kenabian Nabi Muhammad, serta berdo'a.

Di dalam Masjid Nabawi modern juga terdapat sebuah tempat yang disebut Raudhah atau taman surga. Dulu tempat itu merupakan area di antara mimbar Masjid Nabawi dengan rumah nabi.

Tempat itu menjadi favorit para jamaah untuk berdo'a sehingga untuk masuk ke dalamnya memerlukan izin khusus dengan kuota tertentu per hari.

Rumah nabi itu kini menjadi makam nabi. Di Masjid Nabawi modern, lokasi makam nabi dapat dikenali dari luar masjid karena di atasnya dibangun kubah berwarna hijau.

Umat Islam terus bershalawat pada Nabi Muhammad meskipun beliau sebagai manusia suci telah dijamin masuk surga. Bahkan Allah dan para malaikatnya juga bershalawat pada Nabi Muhammad.

Shalawat merupakan bentuk jamak dari shalat. Namun, shalawat di sini maksudnya adalah memuji, berdo'a, dan memuliakan Nabi Muhammad.

Shalawat juga bukan berarti mengkultuskan atau menuhankan. Shalawat yang disampaikan umat Islam bermakna memohon kepada Allah agar melimpahkan rahmat kepada Nabi Muhammad.

Posisi Allah sebagai Tuhan berada di atas Nabi Muhammad sehingga Umat Islam tidak terjebak kepada pengkultusan.

Dr. Nurcholis Madjid, cendikiawan Muslim Indonesia, pernah menjelaskan fenomena tersebut dengan sebuah metafora yang juga sering diajarkan para kyai di langgar-langgar di pedesaan.

Sosok nabi yang penuh dengan kemuliaan ibarat gelas yang telah penuh terisi oleh air. Sementara Umat Islam bagaikan piring yang menjadi tatakan gelas. Ketika gelas penuh tersebut diisi dengan air terus menerus, maka air itu akan tumpah meluber ke tatakan di bawahnya.

Pada konteks itu, ketika seseorang bershalawat untuk memuliakan Nabi Muhammad, maka kemuliaan dan keberkahan milik sang nabi akan kembali kepada orang yang bershalawat.

Rangkaian shalawat memang dapat diucapkan di manapun. Bahkan di setiap shalat sudah pasti setiap muslim mengucapkannya.

Namun, mengucapkan salam dan bershalawat di dekat makam nabi di Masjid Nabawi menghadirkan nuansa tersendiri. Sebuah nuansa yang sulit dilukiskan karena disampaikan di dekat makam dan rumah manusia yang selalu dirindukan.

Hal itu karena semua mafhum, setiap pecinta selalu ingin berada di dekat yang dicintainya, termasuk di rumah dan di masjid yang sering ditempati orang yang dicintainya. Hati menjadi bergetar melampaui getaran hati seorang manusia ketika melihat atap rumah kekasih cinta pertamanya.


*) Penulis adalah Anggota Majelis Amanah DPP Generasi Muda Mathla'ul Anwar; PPIH Arab Saudi 2024.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengenal lebih dekat Masjid Nabawi rumah sang kekasih

Pewarta: Destika Cahyana*)

Editor : Moh Ponting


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2024