60 tahun silam, tepatnya pada 1964, mahasiswa Institut Pertanian Bogor Muhammad Kasim Arifin menginjakkan kaki di Waimital, Pulau Seram, Maluku. Kala itu, ia bersama teman-temannya, melaksanakan Program Pengerahan Mahasiswa atau kuliah kerja nyata (KKN).
Lelaki asal Langsa, Aceh, itu dengan tulus mendatangi salah satu daerah yang masih terpencil di Maluku demi membumikan pengetahuan yang diperoleh di kampus.
Waimital yang terletak di Pulau Seram itu merupakan daerah tujuan transmigrasi di Maluku. Di sana, Kasim bertemu dengan para transmigran yang berprofesi sebagai petani.
Kala terjun ke masyarakat, ia menanggalkan status mahasiswa dari salah satu kampus terbaik di Indonesia. Sebagai intelektual muda, Kasim saban hari di kampus dituntut belajar, berdiskusi, dan meneliti.
Ia harus berjalan kaki sejauh 20 kilometer setiap hari untuk mengajar petani mengolah sawah, membantu masyarakat setempat membuat irigasi hingga jalan desa.
Ia membangkitkan semangat gotong royong warga, bahu-membahu membangun apa yang dia bisa tanpa berharap bantuan Pemerintah. Kiprahnya membuat Kasim amat dicintai warga.
Saat di kota para mahasiswa baru bisa mencetak keluhan, namun Kasim berbuat nyata bagi petani Waimital dengan memberi harapan.
KKN hanya berlangsung 3 bulan, lalu teman-temannya kembali ke kampus, namun Kasim memilih bertahan di Waimital karena merasa waktu 3 bulan mendampingi masyarakat amat singkat dan belum cukup.
Ia bertahan menjadi petani, menjalani hari demi hari dengan tekad mengangkat taraf hidup masyarakat lewat ilmu yang dimiliki.
Tanpa terasa 15 tahun berlalu Kasim membersamai warga Waimital, sedangkan teman kuliah seangkatannya sudah diwisuda bahkan ada yang jadi pejabat.
Namun, ia tetap bertahan. Saat itu Rektor IPB Andi Hakim Nasution memanggil Kasim untuk menyelesaikan kuliah. Kasim bergeming.
Kasim tak terpedaya menjadi manusia berdasi dan tetap memilih berkubang lumpur mengolah sawah dan ladang bersama warga.
Tak sedikit pun ia tergiur mengejar gemerlap karir di ibu kota. Hingga akhirnya, rektor mengutus teman seangkatan Kasim, Saleh Widodo. Kasim luluh dan kembali ke Bogor hanya berbekal baju lusuh dan sandal jepit untuk menyelesaikan studi.
Kasim mengaku tak sanggup menyelesaikan skripsi. Teman-temannya pun membantu. Kasim cukup menceritakan apa yang telah dilakukan di Waimital selama 15 tahun terakhir sebagai bahan skripsi.
Cerita Kasim soal kiprahnya di Waimital tersebut ditulis Hanna Rambe dalam buku berjudul Seorang Lelaki di Waimital, diterbitkan pada 1983. Kisah itu membuat haru sekaligus malu para sarjana karena Kasim telah menulis skripsi di dunia nyata, bukan dengan pena.
Tepat 22 September 1979, Kasim pun diwisuda dan sah menyandang gelar sarjana pertanian. Karena hanya memakai sandal jepit, teman-temannya pun membawakan sepatu dan jas.
Semua orang berdiri dan bertepuk tangan atas dedikasinya membantu petani. Kasim adalah insinyur pertanian sejati yang mengabdi sepenuh hati tanpa pamrih demi mewujudkan mimpi petani.
Ia ke Waimital membawa pengetahuan, menyelami kehidupan petani, lalu berjibaku bersama petani menebar inspirasi.
Usai wisuda, Kasim kembali ke Waimital menuntaskan pekerjaannya. Setelah itu ia menerima tawaran menjadi dosen di Universitas Syiahkuala Aceh dan pensiun pada 1994.
Salah seorang sahabat Kasim di kampus, yaitu penyair Taufiq Ismail, menghadiahi puisi "Lelaki yang Hilang".
Kini, Waimital menjadi salah satu sentra pertanian pemasok komoditas hortikultura di Maluku. Jejak Kasim pun abadi.
KKN Kebangsaan
60 tahun berlalu, lalu pada 25 Juli hingga 24 Agustus 2024 Maluku kedatangan 500 mahasiswa dari 70 kampus di Indonesia guna melaksanakan KKN Kebangsaan.
Pada tahun ini Universitas Pattimura Ambon kembali menjadi tuan rumah pelaksanaan KKN Kebangsaan yang ke-12. Lokasi KKN tersebar di 42 lokasi, meliputi Ambon, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, hingga Buru.
Mahasiswa ditempatkan di desa dengan komposisi 10 hingga 15 orang dari berbagai latar disiplin ilmu.
KKN Kebangsaan merupakan program yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi sebagai bagian dari Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Program ini bertujuan meningkatkan kesadaran bela negara dalam bingkai NKRI dan membangun jejaring mahasiswa dari seluruh Tanah Air.
Di dalamnya terdapat pertukaran ide, menumbuhkembangkan rasa cinta Tanah Air, dan mematangkan mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa.
KKN Kebangsaan berperan merajut kebinnekaan dalam bingkai kebangsaan yang harus dipertahankan sebagai karakter anak bangsa untuk mengembangkan SDM, teknologi, kecerdasan intelektual menuju generasi emas 2045.
Sejak dilaksanakan dalam 4 dasawarsa terakhir, KKN Kebangsaan berkontribusi positif dalam membentuk karakter mahasiswa untuk mempertahankan nilai luhur, lokalitas, identitas, serta tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai dan saling asih antarsesama.
Kepedulian Masyarakat
Meski terpaut jauh secara usia antara Muhammad Kasim Arifin dengan para peserta KKN Kebangsaan di Maluku hari ini, semangat Kasim perlu ditularkan agar mahasiswa lebih peduli akan persoalan di masyarakat, khususnya perdesaan.
Dengan rata-rata usia 19 sampai 20 tahun, para mahasiswa yang masuk dalam kategori Gen Z ini perlu membuka mata lebih lebar bahwa dunia yang sebenarnya ada di masyarakat.
Sebagai makhluk akademik, mereka perlu ditanamkan kesadaran bahwa kampus adalah tempat menempa diri dan melatih kapasitas berpikir untuk kemudian diterapkan secara nyata di masyarakat.
Apalagi Gen Z yang hidup dan tumbuh dalam lingkungan perkotaan dengan karakteristik individual yang tinggi membuat kepekaan dan kepedulian akan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat kian menipis.
Melalui KKN Kebangsaan, saat mahasiswa hidup berdampingan dengan masyarakat, mereka bisa menyelami seperti apa keseharian warga di perdesaan, bersama-sama mengurai persoalan yang dihadapi, dan mencarikan solusi sesuai kapasitas yang dimiliki.
Universitas Pattimura selaku tuan rumah perlu membuat panduan dan pendampingan agar pelaksanaan KKN lebih tepat sasaran.
Setidaknya minimal ada tiga program yang dilaksanakan oleh peserta, mulai dari usulan panitia dan tuan rumah, rancangan dari mahasiswa setelah berada di lokasi, dan usulan dari masyarakat setempat.
Dengan demikian, usai pelaksanaan KKN masyarakat bisa lebih mandiri dalam mengelola potensi wilayah dan membuka sudut pandang baru untuk terus berinovasi.
60 tahun berlalu, namun semangat Kasim Arifin harus terus dijaga dan menyala dalam jiwa mahasiswa saat melaksanakan KKN agar tidak mengejar nilai semata.
Mereka harus membangkitkan semangat gotong royong warga, membawa pengetahuan, menyelami kehidupan warga, dan berjibaku bersama warga untuk membangun masa depan yang lebih berpengharapan.
Kasim telah menjalani semua itu. Jejak-jejaknya pun hingga hari ini masih terpahat di tanah dan di hati anak cucu petani Waimital.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menghidupkan spirit Kasim dalam KKN Kebangsaan
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2024
Lelaki asal Langsa, Aceh, itu dengan tulus mendatangi salah satu daerah yang masih terpencil di Maluku demi membumikan pengetahuan yang diperoleh di kampus.
Waimital yang terletak di Pulau Seram itu merupakan daerah tujuan transmigrasi di Maluku. Di sana, Kasim bertemu dengan para transmigran yang berprofesi sebagai petani.
Kala terjun ke masyarakat, ia menanggalkan status mahasiswa dari salah satu kampus terbaik di Indonesia. Sebagai intelektual muda, Kasim saban hari di kampus dituntut belajar, berdiskusi, dan meneliti.
Ia harus berjalan kaki sejauh 20 kilometer setiap hari untuk mengajar petani mengolah sawah, membantu masyarakat setempat membuat irigasi hingga jalan desa.
Ia membangkitkan semangat gotong royong warga, bahu-membahu membangun apa yang dia bisa tanpa berharap bantuan Pemerintah. Kiprahnya membuat Kasim amat dicintai warga.
Saat di kota para mahasiswa baru bisa mencetak keluhan, namun Kasim berbuat nyata bagi petani Waimital dengan memberi harapan.
KKN hanya berlangsung 3 bulan, lalu teman-temannya kembali ke kampus, namun Kasim memilih bertahan di Waimital karena merasa waktu 3 bulan mendampingi masyarakat amat singkat dan belum cukup.
Ia bertahan menjadi petani, menjalani hari demi hari dengan tekad mengangkat taraf hidup masyarakat lewat ilmu yang dimiliki.
Tanpa terasa 15 tahun berlalu Kasim membersamai warga Waimital, sedangkan teman kuliah seangkatannya sudah diwisuda bahkan ada yang jadi pejabat.
Namun, ia tetap bertahan. Saat itu Rektor IPB Andi Hakim Nasution memanggil Kasim untuk menyelesaikan kuliah. Kasim bergeming.
Kasim tak terpedaya menjadi manusia berdasi dan tetap memilih berkubang lumpur mengolah sawah dan ladang bersama warga.
Tak sedikit pun ia tergiur mengejar gemerlap karir di ibu kota. Hingga akhirnya, rektor mengutus teman seangkatan Kasim, Saleh Widodo. Kasim luluh dan kembali ke Bogor hanya berbekal baju lusuh dan sandal jepit untuk menyelesaikan studi.
Kasim mengaku tak sanggup menyelesaikan skripsi. Teman-temannya pun membantu. Kasim cukup menceritakan apa yang telah dilakukan di Waimital selama 15 tahun terakhir sebagai bahan skripsi.
Cerita Kasim soal kiprahnya di Waimital tersebut ditulis Hanna Rambe dalam buku berjudul Seorang Lelaki di Waimital, diterbitkan pada 1983. Kisah itu membuat haru sekaligus malu para sarjana karena Kasim telah menulis skripsi di dunia nyata, bukan dengan pena.
Tepat 22 September 1979, Kasim pun diwisuda dan sah menyandang gelar sarjana pertanian. Karena hanya memakai sandal jepit, teman-temannya pun membawakan sepatu dan jas.
Semua orang berdiri dan bertepuk tangan atas dedikasinya membantu petani. Kasim adalah insinyur pertanian sejati yang mengabdi sepenuh hati tanpa pamrih demi mewujudkan mimpi petani.
Ia ke Waimital membawa pengetahuan, menyelami kehidupan petani, lalu berjibaku bersama petani menebar inspirasi.
Usai wisuda, Kasim kembali ke Waimital menuntaskan pekerjaannya. Setelah itu ia menerima tawaran menjadi dosen di Universitas Syiahkuala Aceh dan pensiun pada 1994.
Salah seorang sahabat Kasim di kampus, yaitu penyair Taufiq Ismail, menghadiahi puisi "Lelaki yang Hilang".
Kini, Waimital menjadi salah satu sentra pertanian pemasok komoditas hortikultura di Maluku. Jejak Kasim pun abadi.
KKN Kebangsaan
60 tahun berlalu, lalu pada 25 Juli hingga 24 Agustus 2024 Maluku kedatangan 500 mahasiswa dari 70 kampus di Indonesia guna melaksanakan KKN Kebangsaan.
Pada tahun ini Universitas Pattimura Ambon kembali menjadi tuan rumah pelaksanaan KKN Kebangsaan yang ke-12. Lokasi KKN tersebar di 42 lokasi, meliputi Ambon, Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, hingga Buru.
Mahasiswa ditempatkan di desa dengan komposisi 10 hingga 15 orang dari berbagai latar disiplin ilmu.
KKN Kebangsaan merupakan program yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi sebagai bagian dari Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Program ini bertujuan meningkatkan kesadaran bela negara dalam bingkai NKRI dan membangun jejaring mahasiswa dari seluruh Tanah Air.
Di dalamnya terdapat pertukaran ide, menumbuhkembangkan rasa cinta Tanah Air, dan mematangkan mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa.
KKN Kebangsaan berperan merajut kebinnekaan dalam bingkai kebangsaan yang harus dipertahankan sebagai karakter anak bangsa untuk mengembangkan SDM, teknologi, kecerdasan intelektual menuju generasi emas 2045.
Sejak dilaksanakan dalam 4 dasawarsa terakhir, KKN Kebangsaan berkontribusi positif dalam membentuk karakter mahasiswa untuk mempertahankan nilai luhur, lokalitas, identitas, serta tetap berpikiran terbuka dalam berinteraksi dengan budaya lain sehingga menumbuhkan rasa saling menghargai dan saling asih antarsesama.
Kepedulian Masyarakat
Meski terpaut jauh secara usia antara Muhammad Kasim Arifin dengan para peserta KKN Kebangsaan di Maluku hari ini, semangat Kasim perlu ditularkan agar mahasiswa lebih peduli akan persoalan di masyarakat, khususnya perdesaan.
Dengan rata-rata usia 19 sampai 20 tahun, para mahasiswa yang masuk dalam kategori Gen Z ini perlu membuka mata lebih lebar bahwa dunia yang sebenarnya ada di masyarakat.
Sebagai makhluk akademik, mereka perlu ditanamkan kesadaran bahwa kampus adalah tempat menempa diri dan melatih kapasitas berpikir untuk kemudian diterapkan secara nyata di masyarakat.
Apalagi Gen Z yang hidup dan tumbuh dalam lingkungan perkotaan dengan karakteristik individual yang tinggi membuat kepekaan dan kepedulian akan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat kian menipis.
Melalui KKN Kebangsaan, saat mahasiswa hidup berdampingan dengan masyarakat, mereka bisa menyelami seperti apa keseharian warga di perdesaan, bersama-sama mengurai persoalan yang dihadapi, dan mencarikan solusi sesuai kapasitas yang dimiliki.
Universitas Pattimura selaku tuan rumah perlu membuat panduan dan pendampingan agar pelaksanaan KKN lebih tepat sasaran.
Setidaknya minimal ada tiga program yang dilaksanakan oleh peserta, mulai dari usulan panitia dan tuan rumah, rancangan dari mahasiswa setelah berada di lokasi, dan usulan dari masyarakat setempat.
Dengan demikian, usai pelaksanaan KKN masyarakat bisa lebih mandiri dalam mengelola potensi wilayah dan membuka sudut pandang baru untuk terus berinovasi.
60 tahun berlalu, namun semangat Kasim Arifin harus terus dijaga dan menyala dalam jiwa mahasiswa saat melaksanakan KKN agar tidak mengejar nilai semata.
Mereka harus membangkitkan semangat gotong royong warga, membawa pengetahuan, menyelami kehidupan warga, dan berjibaku bersama warga untuk membangun masa depan yang lebih berpengharapan.
Kasim telah menjalani semua itu. Jejak-jejaknya pun hingga hari ini masih terpahat di tanah dan di hati anak cucu petani Waimital.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menghidupkan spirit Kasim dalam KKN Kebangsaan
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2024