Cuaca di atas bandara Lanud Dumatubun, Langgur, Maluku Tenggara, Jumat (22/11) sekitar pukul 11.00 WIB cukup cerah ketika pesawat bermesin jet ganda Beech (r) 1900 D milik Polri berhasil mengangkat bokongnya dari landasan pacu dan terbang menuju Kepulauan Aru.

Pesawat berkapasitas 18 penumpang itu pas memuat 16 petugas pengawas dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, termasuk Syahrin Abdurrahman, sang Direktur Jenderal, dan dua wartawan, termasuk penulis yang sengaja dibawa untuk menyaksikan secara langsung kegiatan pemantauan terhadap aktivitas kapal penangkap ikan di Laut Arafura dari udara.

Sebelum berangkat, semua peserta mengikuti "briefing" tentang rencana kegiatan pengawasan di empat sektor wilayah laut yang merupakan "lumbung ikan dunia" itu di ruang rapat Kantor Danlanud Dumatubun.

Dari pemapar diketahui bahwa pemantauan menggunakan pesawat terbang dilakukan untuk memudahkan tim kerja di kapal pengawas milik KKP yang siaga di empat titik wilayah Laut Arafura, termasuk Maluku Tenggara dan Kepulauan Aru.

Sistem kerja itu disebut "pengawasan atas bawah". Artinya, hasil pantauan dari udara berupa foto-foto dan rekaman video serta data koordinat akan diteruskan kepada tim kerja di kapal pengawas sebagai dasar atau pertimbangan untuk melakukan pengecekan atau pengejaran terhadap kapal ikan yang diduga kuat beoperasi secara ilegal.

Menurut Syahrin, sedikitnya Rp11,8 triliun kekayaan Laut Arafura setiap tahun lenyap akibat pencurian ikan, dan karenanya harus bisa dicegah agar tidak berlangsung terus dan merugikan negara.

Meskipun Laut Arafura bukan milik Maluku semata, rakyat daerah ini tentu memandang jumlah kekayaan yang lenyap setiap tahun itu fantastis mengingat APBD-nya yang rata-rata hanya Rp2 triliun, bahkan hingga sekarang status provinsi termiskin ketiga yang disandang belum juga lenyap.

Celakanya, hingga saat ini kapal pengawas yang ada tidak memiliki kemampuan cukup untuk melaksanakan tugas mengejar dan menangkap para pencuri yang memang beroperasi di kawasan yang sulit didekati di lautan seluas 650.000 km2 itu.

"Daya jelajah kapal kita terbatas, termasuk bahan bakar dan logistik bagi ABK. Supaya efektif, kita memantau dari udara, kemudian melaporkannya ke pengawas di kapal. Dari laporan kita, mereka tahu harus bergerak ke arah mana," kata Syahrin.

500 kaki

Sesuai dengan jadwal, pemantauan dilakukan selama empat hari berturut-turut, mulai 22--25 November.

Pemantauan pada hari pertama dilakukan di wilayah laut Maluku Tenggara dan Kepulauan Aru, dua kabupaten di kawasan terselatan Maluku yang berbatasan langsung dengan Australia. Daerah ini memang telah diestimasi sebagai satu dari empat tempat di Indonesia yang "disukai" kapal-kapal pencuri ikan. Daerah lainnya adalah perairan Natuna, Selat Sulawesi Utara, dan kawasan Pasifik.

Sekitar 20 menit setelah lepas landas, tidak banyak kegiatan yang dilakukan para pengawas. Mereka asyik berbincang mengenai kegiatan-kegiatan serupa yang dilakukan sebelumnya, selain menghabiskan ransum makanan dan minuman. Sesekali terdengar suara pilot menjelaskan bahwa posisi pesawat tengah berada di wilayah mana atau di atas pulau apa lewat pengeras suara, sementara awak kabin lainnya melempar pandangan ke luar jendela untuk menikmati gugusan pulau besar dan kecil berpasir putih dan memiliki terumbu karang berwarna hijau-kebiruan di sekeliling pantai.

Di luar itu, kegiatan penting yang dilakukan adalah kencing di WC kecil di bagian belakang pesawat. Maklum, suhu dalam kabin memang cukup dingin. Sekadar gambaran, lubang buang hajat di pesawat itu memiliki penutup yang juga berfungsi sebagai tempat duduk, terletak di sisi pembatas ruang penumpang dengan bagasi.

Memasuki menit ke-90 waktu penerbangan, keasyikan menikmati eksotisme gugusan pulau berakhir, tepatnya ketika pilot lewat pengeras suara mengumumkan adanya sejumlah kapal ikan yang terlihat dari jendela pesawat.

"Mohon izin Pak Dirjen, arah jam 11 ada sekitar tujuh kapal. Kami akan turun dari ketinggian 7.500 ke 3.500 kaki (dari permukaan laut)," kata sang pilot.

Suaranya sontak membuat para pengawas bergegas menyiapkan kamera dengan lensa panjang dan mulai membidik dari kaca jendela samping pesawat. Pilot lalu mengarahkan pesawat ke posisi kapal-kapal ikan yang terlihat untuk memudahkan para pengawas mengambil gambar foto maupun video dari jarak dekat, bahkan hingga 500 kaki dari permukaan laut.

Setelah selesai, pesawat kemudian naik lagi ke ketinggian 7.500 kaki untuk menyusur area lain. Setiap kali pilot melihat ada kapal, pesawat pun turun ke ketinggian yang cukup untuk memudahkan pengambilan gambar, begitu seterusnya hingga jumlah kapal yang terpantau mencapai 162 unit, umumnya jenis pukat ikan, pukat udang, dan pancing cumi, beberapa di antaranya berbendera Thailand, China, dan Taiwan.

Perburuan diputuskan diakhiri setelah waktu penerbangan mencapai 2,5 jam, dan pesawat pun kembali ke Langgur.

SKIPI

Kepala Stasiun Pengawasan SDKP Tual Mukhtar, A.Pi., M.Si. saat dihubungi melalui telepon genggamnya, Minggu (24/11), menyatakan sampai hari ketiga pemantauan dari udara berhasil membidik 238 unit kapal yang beroperasi.

"Hari pertama 162, hari kedua 24, dan hari ini 52," katanya.

Lalu, dari ratusan kapal itu adakah yang terdeteksi melakukan pencurian? Ini pertanyaan mendasar yang berkecamuk dalam benak.

Syahrin Abdurrahman mengatakan bahwa pemantauan dari udara memang tidak serta-merta bisa memastikan kapal-kapal mana saja yang beroperasi secara ilegal atau mencuri ikan. Hasil pantuan berupa foto dan rekaman video serta data koordinat target bidik harus diolah baru, kemudian dikirim ke kapal pengawas yang berada pada lokasi terdekat dari kapal-kapal penangkap ikan yang dicurigai ilegal operasinya.

Adapun masalah keterbatasan kemampuan kapal pengawas untuk dapat mengejar dan memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen resmi kapal-kapal ikan yang beroperasi di Laut Arafura dan di wilayah perairan lain di Indonesia sudah lama membebani pikiran para petinggi di Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sebagai contoh, pulau terdekat dari posisi kapal-kapal ikan yang terpantau di perairan Arafura adalah Penambulai di Kabupaten Kepulauan Aru, jaraknya antara 100 mil dan 150 mil. Kendati ada satu kapal pengawas milik KKP siaga di situ, kemampuan jelajahnya hanya 70 mil sehingga tidak sanggup mendatangi kapal-kapal yang harus diperiksa keabsahan operasinya, apalagi kalau harus memeriksanya satu demi satu.

Oleh karena itu, selain pemantauan dari udara, dibutuhkan kapal-kapal baru yang dirancang memiliki kemampuan cukup untuk mengamankan Laut Arafura dari kejahatan pencurian ikan maupun sumber daya hayati laut lainnya seperti udang, lobster, kepiting, dan rajungan.

Saat ini, kata Syahrin, Kementerian Kelautan dan Perikanan sedang membangun empat buah kapal dengan teknologi SKIPI (Sistem Kapal Investigasi Perikanan Indonesia) yang memiliki kemampuan jelajah hingga 200 mil atau batas Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia yang selama ini menjadi pusat aksi illegal fishing.

Kapal tersebut juga memiliki endurance (tenggat waktu tugas) 14 hari dan kecepatan berlayar 20--25 knot atau hampir 50 kilometer per jam, serta tidak takut menghadapi cuaca buruk dengan tinggi gelombang mencapai 3 meter.

Masih dalam proses pembuatan di Jakarta, Surabaya, dan Lampung, empat kapal SKIPI dengan bobot masing-masing 500--600 ton diprediksi baru bisa dioperasikan pada tahun 2015. Anggaran untuk satu unit kapal itu sekitar Rp40 miliar.

Rencananya, empat kapal tersebut akan dikerahkan di empat titik terawan pencurian, yakni Natuna, Selat Sulawesi Utara, Arafura, dan Pasifik.

Menurut Syahrin, idealnya Indonesia memiliki 86 kapal SKIPI untuk mengamankan seluruh wilayah perairannya dari aksi pencurian sumber daya hayati laut bernilai ekonomis, dimana data FAO menyatakan kerugian per tahun akibat ilegal fishing di negara ini mencapai Rp30 triliun.

"Akan tetapi, kalau sudah ada 40 kapal, kemungkinan aksi `illegal fishing` sudah bisa kita atasi," katanya.

Semoga.

Pewarta: John Nikita Sahusilawane

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2013