Ambon (Antara Maluku) - Pemerintah Provinsi Maluku Utara diharapkan memberikan perhatian terhadap kehidupan masyarakat tradisional suku Buli, di Maba, Kabupaten Halmahera Timur, kata peneliti kebudayaan dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Ambon Florence Sahusilawane.

"Kehidupan masyarakat tradisional suku Buli juga mengalami perubahan yang cukup besar sejak berakhirnya usaha penambangan nikel di Maba, karenanya sangat diharapkan agar pemerintah setempat bisa memperhatikan kondisi mereka dengan memberikan bantuan bagi pengembangan mata pencaharian mereka, misalnya perahu dan sebagainya," katanya di Ambon, Selasa.

Dia mengatakan suku Buli merupakan suku tradisional yang hidup di pegunungan Halmahera.

Pada masa pemerintahan Sultan Nuku dari Kesultanan Tidore, mereka diminta pindah dan menetap di desa yang kemudian dinamakan Desa Buli Asal, berjarak sekitar dua kilometer dari Buli, Ibu Kota Kecamatan Maba, Kabupaten Halmahera Timur.

Seiring berkembangnya usaha penambangan nikel yang dijalankan berbagai perusahaan di Kecamatan Maba pada 1980-an, masyarakat suku Buli pun mengganti mata pencaharian mereka yang awalnya bertani dan melaut menjadi penambang nikel guna memperbaiki perekonomian mereka.

Namun, dengan diberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Mineral Dan Batu Bara, perusahaan-perusahaan tersebut berhenti beroperasi.

Hal itu menyebabkan masyarakat suku tradisional yang saat ini berjumlah sekitar 701 jiwa tersebut, kembali ke kondisi kehidupan mereka sebelumnya.

"Dalam penelitian kami pada akhir Juli kemarin, saya lihat dampak berakhirnya penambangan nikel di Maba sangat besar pada kehidupan perekonomian suku itu. Karena ada penambangan, masyarakat di sana bisa membangun rumah yang lebih permanen meski sederhana," katanya.

Florence mengatakan kendati kehidupan mereka terbilang miskin, para orang tua suku Buli sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Rata-rata generasi muda suku Buli mengenyam pendidikan formal hingga tingkat SMA.

"Kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan sangat tinggi, mereka rela berjalan kaki sejauh dua kilometer untuk bisa melanjutkan SMA di ibu kota kecamatan, tapi karena masalah perekonomian hanya beberapa orang saja yang bisa mencapai perguruan tinggi," katanya.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014