Peneliti: Budaya Suku Buli Potensi Pariwisata Malut
Senin, 29 September 2014 6:02 WIB
Ambon Antara Maluku Kekayaan kebudayaan masyarakat tradisional suku Buli di Desa Buli Asal, Maba, Kabupaten Halmahera Timur potensial dikembangkan untuk kepariwisataan Provinsi Maluku Utara, kata peneliti kebudayaan dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Ambon Florence Sahusilawane.
"Sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai pariwisata, kesenian dan tradisi dalam kebudayaan mereka sangat bermacam-macam, sedikitnya banyak hampir sama dengan yang ada di Provinsi Maluku, misalnya istilah-istilah tradisional, mitologi, dan totem," katanya di Ambon, Senin..
Florence mencontohkan kekayaan tradisi suku Buli yang dapat dikembangkan untuk pariwisata, adalah festival menghias Juangga (perahu untuk berperang khas masyarakat tradisional suku Buli), yang selalu digelar oleh masyarakat setempat setiap 17 Agustus untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia.
"Mereka sangat luar biasa, meski kehidupan mereka sangat sederhana, mereka selalu menggelar acara kesenian tradisional setiap 17 Agustus, salah satunya adalah menghias Juangga, potensi ini bisa terus dikembangkan menjadi acara pariwisata tahunan bagi Pemda Maluku Utara," katanya.
Selain menghias Juangga, katanya, salah satu kegiatan yang berakar pada kebudayaan masyarakat Buli yang berpotensi adalah festival topeng. Kegiatan semacam itu pernah digelar oleh lembaga swadaya masyarakat lokal dengan masyarakat setempat beberapa tahun lalu.
"Dulu masyarakat suku Buli adalah pasukannya Sultan Nuku dari Kerajaan Tidore yang bertugas menghalau kapal-kapal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dari perairan Tidore, mereka sering menyamar dengan menggunakan topeng, ini menginspirasi salah satu LSM lokal untuk menggelar festival topeng di Desa Buli Asal," katanya.
Florence mengatakan suku Buli salah satu suku tradisional Maluku Utara yang hidup di pegunungan Halmahera.
Oleh karena permintaan Sultan Nuku, mereka pindah dan menetap di kawasan yang kemudian dinamakan Desa Buli Asal, berjarak sekitar dua kilometer dari Buli, Ibu Kota Kecamatan Maba.
Kendati era dan kondisi lingkungan sekitar mereka telah mengalami perubahan seiring berkembangnya usaha penambangan nikel di Kecamatan Maba pada 1980-an hingga 2014, kebudayaan suku itu tidak tergerus.
Kebudayaan mereka tetap bertahan melalui tradisi tutur yang diteruskan dari generasi ke generasi.
Kesenian tradisional berupa tari-tarian dan nyanyian acap kali digelar oleh mereka untuk mengenang dari mana mereka berasal dan mengingatkan generasinya untuk terus mempertahankan tradisi para pendahulu.
"Semua generasi mereka tahu dari mana mereka berasal, dari penelitian kami pada akhir Juli kemarin, sampai saat ini mereka masih sering melakukan perjalanan ke gunung mengunjungi tempat asal mereka sebelumnya," katanya.