"Ke sekolah naik bis kota, guru kelas ku pak Aponno. Kalau merantau ke luar kota, kearifan lokal jangan diangap kuno". Sekilas pantun tersebut tidaklah memiliki arti apa-apa, tetapi bagi para pencinta lingkungan mungkin pantun ini bermakna sangat dalam.

Begitu pun bagi Eliza Kissya --pegiat lingkungan dari Negeri Haruku, Maluku Tengah, Maluku--, salah satu dari ratusan pantun hasil karyanya itu sangat bermakna dan bernilai untuk mengingatkan semua orang bahwa kearifan lokal, tidak bisa diabaikan begitu saja.

"Beta (saya,red) selalu menyampaikan pantun itu bagi siapa saja. Maksudnya untuk mengingatkan bahwa kearifan lokal di zaman modern sekarang masih bernilai tinggi, terutama menyangkut kelestarian lingkungan hidup," ujar Eliza Kissya yang akrab disapa Om Ely dalam sebuah perbincangan dengan Antara.

Nama pria kelahiran 12 Maret 1949 itu cukup dikenal oleh kalangan pemerhati, lembaga sosial masyarakat (LSM) maupun pegiat lingkungan di Tanah Air. Sebut saja Om Ely pasti mereka langsung menyebutkan sebagai pejuang "sasi" dari Maluku.

Lebih dari 35 tahun Om Ely mendedikasikan diri dan hidupnya untuk menjaga kelestarian lingkungan laut, sungai dan darat di negeri Haruku. Sasi ikan lompa (Trisina baelama), sejenis ikan sardin kecil yang hidup di kali Learisa Kayeli, Negeri Haruku, telah berlangsung turun temurun, ikut melambungkan nama Om Ely sebagai salah satu pejuang lingkungan di Tanah Air.

Hingga di usianya yang beranjak senja, Om Ely masih rutin berjalan kaki setiap hari menyusuri sepanjang pesisir Sungai Lealisa Kayeli untuk mengecek kondisi lingkungan sekitarnya.

Itulah tugas utamanya sebagai "Kewang" atau semacam polisi penjaga negeri/desa dalam strata adat dan budaya di Maluku, mengharuskannya bertindak tegas jika lingkungan sekitar sungai yang menjadi habitat ikan Lompa hidup itu terancam.

Sejak tahun 1979 Om Ely mulai mengabdikan dirinya kewang. Ia adalah generasi keenam dari Kewang Haruku. Ia juga dikenal sebagai sang pemanggil ikan.

Siapa pun dengan mudah dapat mengenali Eliza Kissya karena kesehariannya selalu menggunakan baju serba hitam dengan aksen merah, wajah dihiasi "brewok" yang mulai memutih dan bertopi ala coboy.

"Kalo belum bertemu orang kira beta perempuan, (jika belum bertemu orang mengira saya perempuan)," ujarnya dengan dialek Ambon yang kental.

Latar belakang pendidikan yang hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR) tidak menghalangi suami dari Elizabeth Kissya tersebut untuk terus berjuang melawan berbagai kezaliman yang berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan, termasuk dari sesama saudaranya warga Negeri Haruku.

Keterbatasan pendidikan juga tidak menghalangi Om Ely untuk melahirkan banyak karya besar dan berguna bagi generasi penerusnya. Sebut saja sejumlah buku hasil karyanya yang disari dari pengalamannya selama lebih dari 30 tahun menjadi kewang dan merawat lingkungan sekitarnya.

Begitu pun beberapa buku tentang tradisi sasi lompa dan hukum adat yang berlaku di negerinya sejak tahun 1600-an, maupun tentang strategi pengelolaan lingkungan memanfaatkan kearifan lokal yang berkembang di tengah masyarakat. Buku hasil karyanya saat ini banyak dikonsumsi kalangan pemerhati dan pecinta lingkungan maupun masyarakat yang tertarik mempelajari tradisi sasi lomba di Negeri Haruku.

Om Ely sempat mengikuti pendidikan non formal untuk meningkatkan kemampuannya, antara lain pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989), Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh Walhi & Yayasan Hualopu (1991), Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992) serta latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).

Dalam kedudukannya sebagai Pemangku atau Kepala Kewang Desa negeri Haruku, dia juga terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional antara lain Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) Simposium Sumberdaya Hukum Lingkungan & Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991), maupun menjadi pembicara dalam sejumlah pertemuan internasional yang membahas masalah kearifan lokal dan kelestarian lingkungan hidup.

Tak dinyana tugas `tanpa gaji` yang dilakoni Om Ely setiap hari tersebut, kini membuatnya mulai bisa tersenyum dan menikmati buah dari hasil kerja kerasnya selama ini.

Banyak pemerhati dan pegiat lingkungan datang ke kampungnya hanya sekedar bercerita dan menimba pengalaman dari kerja kerasnya menjaga keutuhan alam laut, darat dan sungai di Negerinya.

Cerita dan pengalamannya juga menginspirasi banyak kalangan pecinta lingkungan untuk mulai bekerja tanpa pamrih memerangi kezaliman dan kesewenang-wenangan di berbagai sektor yang berdampak buruk terhadap kerusakan lingkungan secara global.

Saat ini ayah enam orang anak tersebut dapat tersenyum lebar, karena eksistensi dan peran mereka diakui dan mendapatkan perlindungan dari pemerintah Pusat maupun Pemprov Maluku serta kabupaten/kota.

Om Ely juga aktif membangun koordinasi dan kerjasama dengan sesama anggota Kewang di Pulau Haruku untuk membangun program "Kalesang" Haruku, Sebuah jaringan kerja antarsesama pemangku adat dari beberapa Negeri di pulau Haruku untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.

Kata Kalesang adalah bahasa sehari-hari orang Ambon dan Maluku yang dalam bahasa Indonesia adalah peduli atau perhatian, mengindikasikan keseriusan jaringan pemangku adat untuk serius memperhatikan kelestarian lingkungan.

"Beta dan tamang-tamamg (kawan-kawan, red) sesama kewang berencana membangun jaringan Kalesang ini hingga ke seluruh Pulau Haruku, Saparuan dan Nusalaut. Katong (kami, red) ingin membangun kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan pada tiga pulau ini," ujarnya.

Para Kewang di Pulau Haruku mulai melakukan pembibitan ribuan anakan tanaman produktif di antaranya pala hutan, pala super, cengkih dan bakau untuk ditanam kembali menggantikan tanaman yang telah berusia tua. Program pembibitan tersebut telah dilakukan sejak tahun 2013 bekerja sama dengan Mercy Corps Indonesia.

Saat ini, om Ely juga rutin mengajari sejumlah siswa SD Negeri Haruku untuk menjadi "kewang kecil". Mereka rutin datang ke rumahnya untuk membaca berbagai buku tentang lingkungan yang tersedia pada perpustakaan sederhana milik Om Ely, di samping diajari cara melakukan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan.

"Anak-anak ini harus dilatih sejak kecil tentang kearifan lokal daerah mereka, sehingga besar tidak `main asmara dalam asrama` atau hanya mengetahui cerita-cerita tentang cinta saja," ujarnya dengan senyum sumringah.

Om Elly saat ini mulai bisa tersenyum lebar karena Kementerian Pendidikan juga telah berniat menjadikan Sasi sebagai muatan lokal dalam kurikulum pendidikan tahun 2015.

"Ada tim dari Kementerian Pendidikan datang bertemu beta September lalu untuk meminta masukan dan literatur tentang Sasi di Maluku, guna dijadikan bahan muatan lokal kurikulum 2015," katanya.

Pertengahan Oktober 2014 om Elly juga diundang untuk menjadi pembicara dalam seminar yang dilakukan Kementerian Pendidikan di Jakarta sebagai finalisasi masuknya kearifan lokal Sasi dalam kurikulum pendidikan di Tanah Air tahun depan.

Jika akhirnya Sasi menjadi muatan lokal kurikulum 2015, maka pranata sosial masyarakat Maluku yang berkembang turun temurun tersebut, akan dikonsumsi dan dikenal luas masyarakat di Tanah Air.

Pewarta: Jimmy Ayal

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014