Kupang, 23/2 (Antara Maluku) - Pengamat hukum dan politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Karolus Kopong Medan, SH.MHum menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang diarahkan ke jalur lambat dalam memerangi korupsi sebagai "extra ordinary crime".

"Saya melihat, upaya revisi UU KPK ini adalah bagian dari upaya untuk mendorong serta mengarahkan KPK ke jalur lambat dalam memberantas praktik korupsi di Indonesia," kata mantan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang itu kepada Antara di Kupang, Selasa.

Ia memuji langkah politik yang diambil Presiden Joko Widodo yang meminta DPR untuk menunda pembahasan revisi UU KPK, meski penundaan tersebut tidak menghapus agenda revisi UU KPK dari daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Ada empat poin yang disepakati oleh pemerintah dan DPR dalam revisi UU KPK, pembentukan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), perekrutan penyelidik dan penyidik oleh KPK, dan pengaturan kewenangan penyadapan.

Draf Revisi UU KPK yang menjadi perdebatan selama ini, yakni Pasal 12a ayat (2) yang menyatakan "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan".

Selain itu, Pasal 37a ayat (1), "Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas".

Pasal 40 menyebutkan "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi".

Pasal 45 ayat (1) mengatakan "Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diperbantukan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang".

Pasal 45 ayat (2) "Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atas usulan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kejaksaan Republik Indonesia".

Pasal-pasal yang akan direvisi tersebut, kata Kopong Medan, hanya untuk memperlemah posisi KPK, meski DPR selalu mengklaim bahwa tujuan revisi tersebut adalah untuk penguatan posisi KPK.

Ia menambahkan menghambat KPK dalam praktik penyadapan, misalnya, merupakan salah satu langkah untuk membawa KPK ke jalur lambat, yang pada akhirnya tidak berdaya menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diemban.

    
Peran presiden

Kopong Medan mengatakan Presiden memiliki tanggung jawab yang besar untuk memperkuat eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan praktik korupsi yang sudah menggurita di negeri ini.

"Selaku kepala negara, Presiden Joko Widodo harus berani dan tetap konsisten, untuk memperkuat eksistensi KPK agar dapat bekerja maksimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya memberantas korupsi yang kian menggurita," ujarnya.

Ia menambahkan sangat disayangkan, bila akhir-akhir ini mulai bermunculan pemikiran, sikap dan tindakan yang cenderung kontraproduktif dengan upaya-upaya bangsa ini dalam memerangi korupsi, termasuk ada upaya untuk memperlemah eksistensi KPK.

Padahal, di satu sisi, bangsa ini sedang berjuang keras memerangi korupsi di negeri ini, tetapi disisi lain juga sedang muncul upaya-upaya untuk menghambat gerak dan langkah KPK dalam memberantas korupsi.

"Karena itu, Presiden Joko Widodo harus berani mendobrak upaya-upaya dari pihak tertentu yang berusaha untuk memperlemah posisi KPK. Sangat menyedihkan, karena untuk memperlemah posisi KPK itu justru dari dari para wakil rakyat di Senayan," demikian Karolus Kopong Medan.

Pewarta: Bernadus Tokan

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016