Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah pendidikan segera membahas Rancangan Undang-Undang Sistem Perbukuan.

Salah satu masalah krusial yang dihadapi rakyat adalah mahalnya harga buku dan pemerintah belum memperlihatkan keberpihakan kepada masyarakat ekonomi lemah dalam pemenuhan buku-buku.

Diharapkan, dari pembahasan itulah para wakil rakyat akan memperlihatkan keberpihakan mereka untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat berkantong pas-pasan  dalam mengakses buku-buku dengan harga yang murah, bahkan kalau mungkin yang sangat murah.

Negara yang dijadikan contoh selama ini sebagai penyedia buku-buku murah adalah India. Pemerintah di sana memberikan insentif bagi penerbit buku sehingga harga buku cukup terjangkau oleh khalayak ramai di sana.

Bagi publik di kota-kota besar di Tanah Air, mendapatkan buku-buku murah bisa dilakukan dengan mendatangi pasar-pasar loak buku bekas. Di pasar inilah, di Pasar Senen Jakarta atau di Pasarturi Surabaya, masyarakat dapat memperoleh buku-buku bekas dengan harga yang bisa 50 persen lebih murah dari harga buku baru.

Kebanyakan para pemburu buku di pasar loak bukanlah pembaca pada umumnya tapi kelompok masyarakat yang sedang berburu buku-buku lama yang sudah tak diterbitkan lagi oleh penerbit saat ini.

Namun pasar loak juga menyediakan penjualan buku-buku terbitan mutakhir edisi bajakan. Buku-buku laris seperti Kamus Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia dan sebaliknya Bahasa Indonesia- Bahasa Inggris  susunan John M. Echols dan Hassan Shadily merupakan salah satu yang paling sering dicari pengguna kamus karena harganya yang jauh lebih murah dari edisi bukan bajakan.

Komisi X DPR agaknya perlu membahas sisi dilematis dunia perbukuan ini sehingga publik bisa memperoleh buku yang dibutuhkan tanpa harus membeli terbitan bajakan. Pembajakan merupakan fenomena paradoks, di satu sisi memberikan keuntungan bagi khalayak pembaca di sisi lain merugikan para penulis dan penerbit resmi. RUU Sistem Perbukuan perlu memutus dilema ini.

Ada poin lain yang mungkin perlu dibahas oleh Komisi X DPR terkait dengan persoalan perbukuan, yakni soal kehadiran buku-buku elekronik. Tak bisa dimungkiri bahwa saat ini adalah era di mana buku dalam bentuk fisik kertas pada akhirnya tergeser oleh kehadiran buku-buku elektronik.

Di dunia luar, berbagai laman yang menyediakan layanan untuk mengakses buku-buku secara gratis oleh publik sudah cukup melimpah. Gutenberg Project merupakan salah satu laman yang menyediakan layanan itu sehingga pembaca diuntungkan dengan kehadirannya.

Namun Gutenberg Project baru sebatas penyediaan buku-buku berbahasa asing dan belum bisa jadi santapan rohani bagi warga Indonesia yang tak mampu memahami bahasa selain bahasanya sendiri.

Tentu banyak karya-karya klasik Indonesia yang sudah tidak diterbitkan lagi dalam bentuk buku cetak yang bisa dijadikan perpustakaan umum lewat laman yang bisa diakses oleh publik. Tentu poin ini tak terlalu krusial karena yang membutuhkan sebagian besar adalah kaum pembaca perkotaan dari kalangan kelas ekonomi menengah ke atas.

Harus diakui bahwa sesungguhnya isu paling krusial dalam dunia perbukuan adalah soal besaran pajak yang dikenakan oleh negara pada penerbit. Para penerbit, baik yang kecil maupun yang besar seperti Penerbit Gramedia, menginginkan pemihakan pemerintah dalam dunia literasi dengan meminimalkan pengenaan pajak pada produk mereka.

Di luar soal urusan pemajakan, persoalan perbukuan yang lebih esensial adalah bagaimana melahirkan kegairahan membaca buku-buku, khususnya buku-buku yang berkualitas.

Tentu saja semua ini urusan dunia pendidikan dan tradisi atau budaya membaca di lingkungan keluarga.

Di tataran sekolah, dunia pendidikan belum sanggup melahirkan siswa pembaca untuk buku-buku yang membuatnya semakin tergila-gila pada dunia bacaan. Guru-guru dan kurikulum pendidikan baru sebatas memaksa siswa untuk membaca buku-buku pelajaran yang tak merangsang siswa untuk menjelajah dunia pengetahuan dengan membaca buku-buku serius.

Tak banyak siswa bahkan sampai tingkat sekolah menengah atas yang membaca puisi-puisi Chairil Anwar, drama-drama WS Rendra atau novel sekelas tetralogi Bumi Manusia.

Kalau toh ada siswa yang kecanduan karya-karya seperti itu, bisa dipastikan bahwa kegairahan atas buku-buku penting itu bukan karena inspirasi dari ruang kelas tapi dari lingkungan keluarga.

Tentu dengan mengenakan pajak yang rendah pada industri perbukuan, secara tak langsung akan terbentuklah suasana kecintaan membaca sebab hanya dengan cara demikian akan semakin banyak keluarga-keluarga yang tergerak untuk membangun perpustakaan keluarga.

Selama ini hanya mereka yang memiliki uang berlebih yang sanggup membangun perpustakaan keluarga. Bahkan di kalangan guru pun, saat ini mereka tampaknya lebih tergerak untuk membangun garasi mobil dibandingkan membangun ruang baca dan perpustakaan keluarga.

Tentu dengan terjadinya revolusi teknologi komunikasi dan informasi, perpustakaan keluarga barang kali tak relevan lagi karena segala macam jenis dan judul buku dapat disimpan dalam seperangkat laptop atau komputer.

Fenomena ini menjadikan Komisi X DPR yang sedang membahas RUU Sistem Perbukuan berada dalam dua dunia yang satu kakinya berada dalam fenomena buku sebagai komoditas barang cetakan dan satu kaki lainnya berada di ambang fenomena digital.

Untuk yang fenomena digital, tak banyak yang bisa dibahas sebab di sanalah para penggila buku dapat berkelana ke mana saja untuk menyimak buku-buku hebat yang bisa dibaca secara gratis.

Di sanalah pembaca Indonesia yang tercerahkan bisa menyimak kedahsyatan buku Zen and The Art of Motorcycle Maintenance yang edisi cetaknya terjual lebih dari lima juta eksemplar itu.

Pewarta: M. Sunyoto

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016