Ambon, 29/7 (Antara Maluu) - Salah satu syarat utama seseorang diangkat menjadi Raja petuanan regenschap Kayeli, kabupaten Buru minimal bisa fasih berbahasa daerah.

"Regenschap Kayeli itu membawahi berbagai desa/dusun yang tersebar pada sembilan kecamatan, termasuk masyarakat yang hidup di pedalaman yang hanya bisa dikomunikasi dengan bahasa daerah," kata Ketua Garuda Sakti Aliansi Indonesia (GSAI) Kabupaten Buru, Ibrahim Wael, di Ambon, Jumat.

Persyaratan lainnya seperti mendapat persetujuan para pemangku adat dan imam melalui rapat musyawarah adat dan berasal dari garis keturunan raja Kayeli.

Menurut dia, pascawafatnya Raja Kayeli, Muhammad Fuad Wael pada Juni 2016 ternyata ada upaya oknum-oknum tertentu yang mengangkat diri sebagai pelaksana Raja setempat dan mendapat perlawanan dari para pemimpin adat, imam negeri, maupun masyarakat setempat akibat dinilai menyalahi mekanisme adat leluhur yang berlaku turun-temurun.

Misalnya, penunjukkan Abdullah alias Onyong Wael sebagai pelaksana Raja yang mendapat perlawanan sengit dari masyarakat adat serta imam dengan melaporkannya secara resmi ke Gubernur Maluku, Said Assagaff.

Kini upaya serupa kembali dilakukan secara sepihak oleh orang-orang tertentu yang telah menunjuk Serka Abdullah Wael sebagai pelaksana raja pada Rabu, (27/7) 2016.

"Mereka melakukan pertemuan di balai desa dan menujuk anggota Koramil Mako itu sebagai pelaksana Raja. Padahal tidak ada pihak saniri negeri maupun tokoh adat dan imam yang hadir," tandas Ibrahim.

Akibatnya, sebuah tenda yang dibuat untuk acara pertemuan lanjutan di Desa Waebsait dibongkar paksa oleh masyarakat karena tidak menyetujui pertemuan yang dianggap ilegal tersebut.

"Kami selaku pengurus Garuda Sakti Aliansi Indonesia Kabupaten Buru akan melaporkan Abdullah wael kepada pimpinannya secara berjenjang, termasuk Presiden RI selaku pembina dan pelindung GSAI," tegas Ibrahim.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2016