Tanpa terasa Pemilihan Umum tinggal beberapa hari lagi, tetapi pertanyaan mendasarnya adalah sudah betul-betul siapkah Bangsa Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia ?
Tanggal 17 April 2019 akan menjadi ajang pertama pemilihan umum yang serentak yakni Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan juga anggota DPD RI, DPR RI, DPRD provinsi, kota, dan kabupaten. Jika calon pemilih di DKI Jakarta hanya akan memperoleh empat surat suara yakni untuk memilih anggota DPD, DPR, serta DPRD provinsi dan juga presiden maka di provinsi-provinsi lainnya terdapat calon DPD, DPR, DPRD provinsi, kota dan kabupaten serta pilpres.
Jadi, bisa dibayangkan, ratusan juta calon pemilih dalam pemilihan umum serentak ini bakal dibuat "pusing". Jika pemilihan presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasang calon calon, yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, maka betapa sulitnya memilih wakil-wakil rakyat.
Terdapat 34 provinsi, serta 514 kota dan kabupaten, sehingga terbayang belasan hingga puluhan ribu calon anggota legislatif. Untuk tingkat nasional, terdapat tidak kurang dari 16 partai politik, sedangkan untuk Provinsi Aceh juga muncul empat partai tingkat daerah alias lokal.
Apabila satu parpol sedikitnya mengajukan 20 hingga 30 calon legislator untuk setiap daerah tingkat dua baik kabupaten maupun kota maka dapat dibayangkan betapa terjejalnya otak dan pikiran jutaan calon pemilih. Sekarang saja sedikitnya terdaftar 190,77 juta calon pemilih di Tanah Air tercinta ini.
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuka kesempatan bagi calon-calon pemilih terutama yang diperkirakan bakal berpindah lokasi pada saat 17 April mendatang untuk mendaftar ulang sehingga bisa tetap mencoblos alias tak kehilangan hak suaranya maka bisa dibayangkan jumlah calon pemilih akan semakin "menumpuk".
Tentu Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU.RI) dengan bantuan serta dukungan KPU provinsi, kabupaten serta kota masih harus "mandi keringat" supaya calon pemilih yang benar-benar resmi terdaftar, pada saatnya tiba dapat memberikan hak suaranya.
Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sudah menyiapkan sekitar 272.000 prajuritnya untuk menjaga keamanan pemungutan suara mulai dari masa kampanye, minggu tenang, pencoblosan, hingga perhitungan suara.
TNI juga mengerahkan sekitar 200.000 prajuritnya, belum lagi nantinya pelantikan para wakil rakyat hingga presiden serta pasangannya pada Oktober 2019.
Kesiapan hakim
Mahkamah Agung telah mengumumkan bahwa lembaga negara di bidang hukum ini sudah menyiapkan tidak kurang dari 234 hakim untuk persidangan-persidangan yang menyangkut sengketa pemilihan umum.
Ketua Kamar Tata Usaha Negara MA, Supandi, mengatakan pihaknya telah siap bekerja "pontang-panting" siang dan malam guna menyidangkan hingga memutuskan perkara-perkara mengenai sengketa pesta demokrasi ini.
Supandi memang tidak menguraikan jenis-jenis sengketa yang bakal ditangani lembaga negara ini. Akan tetapi rakyat Indonesia sudah bisa membayangkan bakal munculnya "bertumpuk-tumpuk" berkas suara sengketa Pemilihan Umum ini.
Pengalaman pada pemilihan kepala daerah alias pilkada di berbagai daerah sudah memperlihatkan betapa bakal menumpuknya dokumen mengenai sengketa pemilu.
Contoh yang paling mudah bisa ditemukan misalnya pada pemilihan anggota DPRD kabupaten serta kota. Jika ada seorang calon wakil rakyat di daerah tidak puas terhadap terhadap hasil perhitungan suara oleh KPU setempat, maka dia bisa mengajukan permintaan sidang. Salah satu syarat utamanya ialah sidang harus dilakukan paling lambat 21 hari setelah berkas perkara dinyatakan lengkap.
Pilkada di berbagai daerah memperlihatkan bahwa jika ada calon kepala daerah yang tidak puas terhadap hasil pilkada maka biasanya dia langsung mengajukan gugatan baik ysng dinilai rasional maupun irrasional. Biasanya alasannya adalah terjadi salah perhitungan suara yang mengakibatkan kerugian atau kekalahan.
Sikap hakim
Dengan siapnya tidak kurang dari 234 hakim sengketa pemilihan umum, maka tentu masyarakat amat berharap kepada para penegak hukum itu untuk mempelajari kasus-kasus pada masa lalu. Dengan berkaca pada kasus-kasus masa lalu, maka para hakim bisa bersikap agar para pemilih dan juga pihak yang sedang bersengketa tidak kecewa.
Di tengah maraknya kasus suap menyuap yang menyeret sejumlah petinggi maupun sejumlah hakim, maka para hakim sengketa pemilu harus betul-betul menjaga kehormatan dan integritas korps pembela hukum ini.
Hal ini sangat penting, karena untuk pertama kali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyelenggarakan Pemilu serentak. Jika sukses maka rakyat berhak "bertepuk dada" karena berhasil nyata.
Akan tetapi sebaliknya jika dinilai gagal karena satu dan lain hal, maka rasanya tidak berlebihan jika muncul tuntutan agar Pemilu serentak tidak diteruskan dan kembali ke sistem tradisional.
Pesta demokrasi ini memang cuma diselenggarakan setiap lima tahun. Akan tetapi berapa triliun rupiah uang telah dihabiskan, betapa berkeringatnya petugas KPU, Bawaslu, prajurit Polri dan TNI setiap harinya demi menyukseskan kegiatan lima tahunan ini serta berapa banyak warga negara Indonesia yang harus saling berbeda pendapat, bermusuhan, ataupun luka-luka akibat bentrokan.
Ke-234 hakim ini juga harus ikhlas bekerja keras, berbakti kepada rakyat dan NKRI serta kian berkembangnya demokrasi di negara tercinta ini. Selamat bekerja dan bersidang para hakim sengketa Pemilu 2019.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
Tanggal 17 April 2019 akan menjadi ajang pertama pemilihan umum yang serentak yakni Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan juga anggota DPD RI, DPR RI, DPRD provinsi, kota, dan kabupaten. Jika calon pemilih di DKI Jakarta hanya akan memperoleh empat surat suara yakni untuk memilih anggota DPD, DPR, serta DPRD provinsi dan juga presiden maka di provinsi-provinsi lainnya terdapat calon DPD, DPR, DPRD provinsi, kota dan kabupaten serta pilpres.
Jadi, bisa dibayangkan, ratusan juta calon pemilih dalam pemilihan umum serentak ini bakal dibuat "pusing". Jika pemilihan presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasang calon calon, yakni Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, maka betapa sulitnya memilih wakil-wakil rakyat.
Terdapat 34 provinsi, serta 514 kota dan kabupaten, sehingga terbayang belasan hingga puluhan ribu calon anggota legislatif. Untuk tingkat nasional, terdapat tidak kurang dari 16 partai politik, sedangkan untuk Provinsi Aceh juga muncul empat partai tingkat daerah alias lokal.
Apabila satu parpol sedikitnya mengajukan 20 hingga 30 calon legislator untuk setiap daerah tingkat dua baik kabupaten maupun kota maka dapat dibayangkan betapa terjejalnya otak dan pikiran jutaan calon pemilih. Sekarang saja sedikitnya terdaftar 190,77 juta calon pemilih di Tanah Air tercinta ini.
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membuka kesempatan bagi calon-calon pemilih terutama yang diperkirakan bakal berpindah lokasi pada saat 17 April mendatang untuk mendaftar ulang sehingga bisa tetap mencoblos alias tak kehilangan hak suaranya maka bisa dibayangkan jumlah calon pemilih akan semakin "menumpuk".
Tentu Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU.RI) dengan bantuan serta dukungan KPU provinsi, kabupaten serta kota masih harus "mandi keringat" supaya calon pemilih yang benar-benar resmi terdaftar, pada saatnya tiba dapat memberikan hak suaranya.
Sementara itu, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sudah menyiapkan sekitar 272.000 prajuritnya untuk menjaga keamanan pemungutan suara mulai dari masa kampanye, minggu tenang, pencoblosan, hingga perhitungan suara.
TNI juga mengerahkan sekitar 200.000 prajuritnya, belum lagi nantinya pelantikan para wakil rakyat hingga presiden serta pasangannya pada Oktober 2019.
Kesiapan hakim
Mahkamah Agung telah mengumumkan bahwa lembaga negara di bidang hukum ini sudah menyiapkan tidak kurang dari 234 hakim untuk persidangan-persidangan yang menyangkut sengketa pemilihan umum.
Ketua Kamar Tata Usaha Negara MA, Supandi, mengatakan pihaknya telah siap bekerja "pontang-panting" siang dan malam guna menyidangkan hingga memutuskan perkara-perkara mengenai sengketa pesta demokrasi ini.
Supandi memang tidak menguraikan jenis-jenis sengketa yang bakal ditangani lembaga negara ini. Akan tetapi rakyat Indonesia sudah bisa membayangkan bakal munculnya "bertumpuk-tumpuk" berkas suara sengketa Pemilihan Umum ini.
Pengalaman pada pemilihan kepala daerah alias pilkada di berbagai daerah sudah memperlihatkan betapa bakal menumpuknya dokumen mengenai sengketa pemilu.
Contoh yang paling mudah bisa ditemukan misalnya pada pemilihan anggota DPRD kabupaten serta kota. Jika ada seorang calon wakil rakyat di daerah tidak puas terhadap terhadap hasil perhitungan suara oleh KPU setempat, maka dia bisa mengajukan permintaan sidang. Salah satu syarat utamanya ialah sidang harus dilakukan paling lambat 21 hari setelah berkas perkara dinyatakan lengkap.
Pilkada di berbagai daerah memperlihatkan bahwa jika ada calon kepala daerah yang tidak puas terhadap hasil pilkada maka biasanya dia langsung mengajukan gugatan baik ysng dinilai rasional maupun irrasional. Biasanya alasannya adalah terjadi salah perhitungan suara yang mengakibatkan kerugian atau kekalahan.
Sikap hakim
Dengan siapnya tidak kurang dari 234 hakim sengketa pemilihan umum, maka tentu masyarakat amat berharap kepada para penegak hukum itu untuk mempelajari kasus-kasus pada masa lalu. Dengan berkaca pada kasus-kasus masa lalu, maka para hakim bisa bersikap agar para pemilih dan juga pihak yang sedang bersengketa tidak kecewa.
Di tengah maraknya kasus suap menyuap yang menyeret sejumlah petinggi maupun sejumlah hakim, maka para hakim sengketa pemilu harus betul-betul menjaga kehormatan dan integritas korps pembela hukum ini.
Hal ini sangat penting, karena untuk pertama kali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menyelenggarakan Pemilu serentak. Jika sukses maka rakyat berhak "bertepuk dada" karena berhasil nyata.
Akan tetapi sebaliknya jika dinilai gagal karena satu dan lain hal, maka rasanya tidak berlebihan jika muncul tuntutan agar Pemilu serentak tidak diteruskan dan kembali ke sistem tradisional.
Pesta demokrasi ini memang cuma diselenggarakan setiap lima tahun. Akan tetapi berapa triliun rupiah uang telah dihabiskan, betapa berkeringatnya petugas KPU, Bawaslu, prajurit Polri dan TNI setiap harinya demi menyukseskan kegiatan lima tahunan ini serta berapa banyak warga negara Indonesia yang harus saling berbeda pendapat, bermusuhan, ataupun luka-luka akibat bentrokan.
Ke-234 hakim ini juga harus ikhlas bekerja keras, berbakti kepada rakyat dan NKRI serta kian berkembangnya demokrasi di negara tercinta ini. Selamat bekerja dan bersidang para hakim sengketa Pemilu 2019.
*) Arnaz Ferial Firman adalah wartawan LKBN ANTARA tahun 1982-2018, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1987-2009.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019