Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI) di Ambon, Kamis, menghimpun data hasil penelitian berbagai instansi perikanan terkait, sehubungan dengan fenomena kematian massal ikan demersal di pesisir Pulau Ambon selama beberapa hari terakhir.
Digelar dalam bentuk fokus grup diskusi di Aula Cakalang P2LD-LIPI, proses pengumpulan data tersebut dilaksanakan guna mengkomparasi hasil riset, observasi maupun hipotesa LIPI dan lembaga lainnya untuk dilaporkan kepada Pemerintah Kota Ambon pada 20 September 2019.
Sejumlah peneliti dan lembaga, diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Pattimura, Balai Konsevasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku hadir dalam pertemuan itu.
Rata-rata peneliti dan lembaga menyampaikan hasil observasi dan riset yang tak jauh berbeda, yakni kematian massal ikan di pesisir Desa Rutong, Leahari dan Hukurila (Kecamatan Leitimur Selatan), Desa Seri (Kecamatan Nusaniwe), Desa Passo (Kecamatan Baguala) dan Desa Waai (Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah) tidak berkaitan dengan peristiwa bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami.
Diduga peristiwa kematian massal ikan yang terjadi dalam rentang waktu berbeda-beda disebabkan oleh adanya pergerakan masa air atau upwelling, fenomena naiknya air laut yang lebih dingin dan bermassa jenis lebih besar dari dasar laut ke permukaan akibat pergerakan angin di atasnya.
Irma Kesaulya, peneliti dari FPIK Universitas Pattimura misalnya. Dalam laporannya dipaparkan bahwa hasil analisa lambung sampel ikan mati dan sampel air laut dari Leahari menunjukan kematian ikan dipengaruhi oleh rendahnya temperatur air laut dan hipoksia atau kurangnya pasokan oksigen.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan riset kondisi suhu permukaan perairan di Leahari yang ketika diuji berada pada kisaran suhu tiga hingga empat derajat celcius.
"Dari hasil uji sampel di Jurusan Ilmu Kelautan, ada dua asumsi yang kita dapatkan, yakni akibat hipoksia dan temperatur yang rendah, karena kondisi suhu di permukaan air laut mencapai tiga hingga empat derajat celcius," ujar Irma.
Menurutnya, peristiwa kematian massal ikan pernah terjadi sebelumnya di Bali dan Australia. Tidak ada laporan yang menyebutkan peristiwa di dua wilayah tersebut berkaitan dengan bencana alam atau kemungkinan akan terjadi bencana.
"Kondisi seperti ini juga pernah terjadi di Bali dan Australia, bedanya saat itu di Australia dalam kondisi musim panas," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
Digelar dalam bentuk fokus grup diskusi di Aula Cakalang P2LD-LIPI, proses pengumpulan data tersebut dilaksanakan guna mengkomparasi hasil riset, observasi maupun hipotesa LIPI dan lembaga lainnya untuk dilaporkan kepada Pemerintah Kota Ambon pada 20 September 2019.
Sejumlah peneliti dan lembaga, diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Pattimura, Balai Konsevasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Stasiun Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku hadir dalam pertemuan itu.
Rata-rata peneliti dan lembaga menyampaikan hasil observasi dan riset yang tak jauh berbeda, yakni kematian massal ikan di pesisir Desa Rutong, Leahari dan Hukurila (Kecamatan Leitimur Selatan), Desa Seri (Kecamatan Nusaniwe), Desa Passo (Kecamatan Baguala) dan Desa Waai (Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah) tidak berkaitan dengan peristiwa bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami.
Diduga peristiwa kematian massal ikan yang terjadi dalam rentang waktu berbeda-beda disebabkan oleh adanya pergerakan masa air atau upwelling, fenomena naiknya air laut yang lebih dingin dan bermassa jenis lebih besar dari dasar laut ke permukaan akibat pergerakan angin di atasnya.
Irma Kesaulya, peneliti dari FPIK Universitas Pattimura misalnya. Dalam laporannya dipaparkan bahwa hasil analisa lambung sampel ikan mati dan sampel air laut dari Leahari menunjukan kematian ikan dipengaruhi oleh rendahnya temperatur air laut dan hipoksia atau kurangnya pasokan oksigen.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan riset kondisi suhu permukaan perairan di Leahari yang ketika diuji berada pada kisaran suhu tiga hingga empat derajat celcius.
"Dari hasil uji sampel di Jurusan Ilmu Kelautan, ada dua asumsi yang kita dapatkan, yakni akibat hipoksia dan temperatur yang rendah, karena kondisi suhu di permukaan air laut mencapai tiga hingga empat derajat celcius," ujar Irma.
Menurutnya, peristiwa kematian massal ikan pernah terjadi sebelumnya di Bali dan Australia. Tidak ada laporan yang menyebutkan peristiwa di dua wilayah tersebut berkaitan dengan bencana alam atau kemungkinan akan terjadi bencana.
"Kondisi seperti ini juga pernah terjadi di Bali dan Australia, bedanya saat itu di Australia dalam kondisi musim panas," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019