Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN)  Ambon mengejar dugaan keterlibatan oknum Bhabinkamtibmas Desa Latu, Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dalam kasus tindak pidana penganiayaan dan pembunuhan seorang warga bernama Syamsul Lusy.

"Apakah benar sebelum diparangi, ada perkataan oknum Bhabinkamtibmas bernama Awaludin Musa dalam bahasa daerah 'Mito Tou Sua' yang artinya bunuh dia sudah ?," tanya ketua majelis hakim, Lucky Rombot Kalalo didampingi Hamzah Kailul dan Philip Panggalila di Ambon, Rabu.

Pertanyaan majelis hakim disampaikan kepada tiga orang saksi dalam persidangan kasus dugaan penganiayaan dan pembunuhan Syamsul Lusy di hutan pantai Desa Latu atas terdakwa Zulkarnaen Patty alias Nain.

Atas pertanyaan majelis hakim, saksi Ratiba menyatakan benar ada perkataan yang keluar dari mulut oknum Bhabinkamtibmas Desa Latu, padahal korban sudah bersujud dan memeluk kaki oknum tersebut meminta ampun berulang kali.

Kesaksian serupa juga disampaikan saksi Fatmasiah yang merupakan isteri korban dan saksi Railiy yang sempat dipukuli berulang kali dan bajunya dirobek massa.

"Saya pertanyakan oknum Bhabinkamtibmas tersebut apa kesalahan suami saya tetapi tidak dijawab dan malahan dia mengeluarkan kalimat bunuh dalam bahasa daerah," jelas Fatmasiah.

Isteri korban dan anaknya Rehan bersama satu keponakan lainnya yang masih bocah bisa selamat dari kepungan massa setelah muncul seorang polisi lain bernama Victor yang menuntun mereka ke jalan raya, menghadang mobil yang melintas dan membawa tiga saksi ini ke Kairatu.

"Suami saya meski sudah dalam kondisi lemah karena dipikuli berulang kali hingga terjatuh masih sempat menyuruh saya untuk menyelamatkan diri bersama anak," akui saksi dalam persidangan.

Keterangan saksi Fatmasiah tentang kronologis kejadian membuat seorang pengujung tiba-tiba berteriak 'darah diganti darah' sehingga anggota Polri yang melakukan pengawalan mengeluarkan pengunjung tersebut dari ruang sidang.

Sementara saksi Ratiba yang berada di TKP awalnya didesak oleh massa untuk menujukkan kartu tanda penduduk karena tujuannya untuk mengetahui yang bersangkutan berasal dari desa mana.

"Saya bersama anak-anak yang masih kecil ditaruh parang di leher oleh mereka sambil bertanya dari kampung mana, dan saya bilang dari Larike," jelas saksi.

Dia juga mengaku yang pertama kali memarangi korban adalah seorang warga yang salah satu lengannya buntung, sedangkan terdakwa merupakan orang ketiga yang memarangi korban dari bagian kepala.

Sejumlah pelaku yang dikenali para saksi ikut melakukan pemukulan dan pemarangan juga disebutkan dalam persidangan diantaranya Kamil Tupmahu, Kamarudin Patty, dan Sayuti Patty.

Mendengar pengakuan para saksi, majelis hakim menyatakan seharusnya oknum Bhabinkamtibmas ini juga dilaporkan dan diperiksa untuk mengetahui peranannya dalam perkara ini, namun sejauh ini yang bersangkutan aman-aman saja.

Majelis hakim juga menyatakan kecurigaannya dengan pengemudi speedboat bernama Saiful yang awalnya membawa korban dan para saksi dari pelabuhan Tulehu (Pulau Ambon), sempat berhenti di tengah laut memindahkan seorang penumpang dewasa bernama Watti ke speedboat lain, dan berhenti untuk mengisi bensin di dekat pantai hutan Desa Latu.

Kemudian secara tiba-tiba speedboatnya terbalik tanpa ada ombak dan angin, namun tetap tenang dan hanya membiarkan korban yang menarik bodi speed ke darat.

JPU Kejari Seram Bagian Barat, Junita Sahetapy dan Moritz Paliayama juga mehadirkan anak korban Rehan dan tiga saudaranya yang masih kecil sebagai saksi, namun persidangan ini berlangsung tertutup dan baik majelis hakim, JPU, maupun penasihat hukum terdakwa melepaskan toga hitam dan beef (dasi) yang dikenakan.


 

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : Lexy Sariwating


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019