Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku bersama sejumlah instansi teknis terkait melanjutkan sosialisasi kegempaan dan psikososial kepada para pengungsi di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, Minggu.

Sosialisasi tersebut juga menghadirkan sejumlah peneliti, di antaranya Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam (P2LD) LIPI Ambon Nugroho Dwi Hananto dan peneliti dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, BMKG, serta tokoh agama.

Kepala Pelaksana BPBD Maluku, Farida Salampessy, membenarkan bahwa pihaknya menghadirkan sejumlah pakar dan peneliti berkompeten tentang gempa dari instansi teknis terkait guna memberikan informasi serta pengetahuan kepada warga Desa Liang yang hingga saat ini masih mengungsi di kawasan ketinggian.

"Kehadiran kami untuk memberikan informasi yang benar tentang kondisi pascagempa magnitudo 6,5 pada 26 September 2019, agar warga dapat mengetahui dengan pasti apa yang terjadi saat ini," katanya.

Dia menandaskan penanganan pascagempa Maluku saat ini telah memasuki tahap pemulihan, terutama dampak psikososial menuju fase rehabilitasi dan rekonstruksi.

Farida mengaku menyadari saat ini warga Liang belum berani kembali ke desanya karena masih trauma dan takut, di samping sesekali masih merasakan guncangan gempa kendati kekuatannya semakin melemah.

"Saya menyadari warga Liang masih takut dan trauma, mengingat tingkat kerusakan bangunan rumah tergolong sangat parah, karena geografis desa berada paling dekat dengan pusat gempa," ujarnya.

Kendati demikian, dia mengingatkan warga untuk mulai berpikir kembali ke rumah masing-masing, terutama yang konstruksinya tahan gempa.

Selain karena rentan berbagai masalah sosial, katanya, tinggal di lokasi pengungsian yang serba terbatas juga dapat menimbulkan masalah sosial baru, terutama terhadap anak-anak.
 
Kepala Pelaksana BPBD Maluku Farida Salampessy (berdiri tengah) memberikan sosialisasi kegempaan kepada warga Dusun Bumbun, Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Minggu (22/12). ANTARA/Jimmy Ayal


"Kami tidak memaksakan saudara-saudara untuk segera kembali ke rumah, namun intensitas gempa saat ini semakin mengecil sehingga sebaiknya mulai berpikir untuk kembali," katanya.

Ia menambahkan bahwa saat ini pemerintah pusat telah menyalurkan dana stimulan untuk perbaikan rumah yang rusak berat, sedang, maupun ringan melalui pemerintah tidak daerah terdampak, di samping Dana Tunggu Hunian (DTH) serta Cash For Work (CFW) atau anggaran pembersihan rumah rusak akibat gempa.

"Jadi ini bukan ganti rugi rumah yang roboh tetapi hanya stimulan agar warga dapat membangun atau memperbaiki kembali rumahnya yang rusak," tegasnya.

Setiap rumah rusak berat akan mendapatkan stimulan Rp50 juta, rusak sedang Rp25 juta, dan rusak ringan Rp10 juta, sedangkan penyalurannya secara bertahap.

DTH untuk korban gempa dengan kondisi rumah atau hunian rusak berat Rp500 ribu per bulan, diberikan selama enam bulan agar mereka keluar dari  pengungsian, serta mengontrak rumah untuk ditinggali sementara selagi rumah mereka direnovasi.

Dana CFW Rp50.000 diberikan kepada masyarakat yang bekerja membantu menyingkirkan puing-puing pascagempa selama lima hari.

Namun, Farida mengingatkan para pengungsi serta pemerintah desa untuk segera menyiapkan data diri berupa kartu keluarga dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat utama penyelesaian administrasi para penerima bantuan.

"Kalau belum selesai segera berkoordinasi dengan kepala desa masing-masing sehingga dipercepat, agar rehabilitasi dan renovasi rumah dapat segera dimulai," katanya.

Ia juga mengingatkan warga Liang untuk tidak mudah percaya isu-isu yang beredar dan berkembang tentang akan terjadi gempa dan tsunami besar.

"Jangan percaya isu atau katanya-katanya. Itu berita bohong dan tidak bertanggungjawab untuk membuat kepanikan di masyarakat," demikian Farida Salampessy.
 

Pewarta: Jimmy Ayal

Editor : Lexy Sariwating


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019