Pengamat sosial Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, Paulus Koritelu menilai masyarakat di Maluku belum sepenuhnya menerima kebijakan pembatasan sosial, guna memutus mata rantai penyebaran virus corona (COVID-19).

"Kalau pemerintah daerah atau tim gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 merasa kalau apa yang dilakukan telah dipahami oleh masyarakat secara baik, menurut saya itu keliru," katanya di Ambon, Kamis.

Paulus yang juga dosen sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unpatti Ambon itu mengatakan, kendati pemerintah telah mengimbau agar masyarakat tetap berada di rumah, masih banyaknya yang berkumpul di berbagai tempat hingga harus dibubarkan oleh aparat keamanan.

Bahkan ada masyarakat yang diam-diam melakukan aktivitas penyeberangan antarpulau, dan beberapa kali harus dihadang oleh Satpolair.

Begitu pula dengan aktivitas beribadah, masjid-masjid tetap ramai meski Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19 pada 16 Maret 2020, disusul dengan imbauan dari Kementerian Agama mengenai shalat tarawih di rumah.

Menurut dia, fenomena tersebut bukanlah sikap antipati, menentang atau perlawanan masyarakat terhadap pemerintah, melainkan ketidakpahaman masyarakat secara faktual dalam tataran psikologi untuk mencermati situasi bahaya pandemi.

Ketidakpahaman masyarakat juga bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menjadi variabel penentu, salah satunya adalah tekanan ekonomi yang bisa mendekonstruksi pemahaman masyarakat terhadap imbauan pemerintah.

"Saya tidak melihat itu sebagai resistensi tapi ketidakpemahaman mereka secara faktual dalam tataran psikologi untuk mencermati fenomena ini. Itu artinya proses sosialisasi, kelembagaan dan nilai-nilai standar operasional prosedur (SOP) dalam pelaksanaan penanganan COVID-19 tidak sampai menyangkut psikologi masyarakat," ujarnya.

Dikatakannya lagi, tidak semua masyarakat memiliki pemahaman yang sama, ada kelompok atau lapisan masyarakat yang memiliki daya tangkap atau pemahaman yang berbeda terhadap upaya yang dilakukan oleh pemerintah.

Sebagaimana dalam teori sosial, Karl Marx mengistilahkan kelompok masyarakat dengan kaum borjuis dengan kategori perekonomian kelas menengah ke atas, dan ploretariat yang merujuk pada kelompok menengah ke bawah.

Umumnya orang-orang borjuis mudah menangkap makna dari imbauan pemerintah, karena mereka didorong oleh kapabilitas daya beli ekonomi yang cukup kuat untuk tetap berada di rumah tanpa melakukan aktivitas di luar rumah.

Tapi tidak demikian dengan warga kelas ekonomi menengah ke bawah. Mereka akan sulit menangkap makna tersebut, karena didorong oleh upaya untuk tetap makan agar bisa bertahan hidup, meski harus berhadapan dengan bahaya terpapar COVID-19.

"Pemerintah menganggap saat disampaikan bahayanya kemudian orang tahu, tapi pemerintah lupa kalau variabel tekanan-tekanan ekonomi akan mendekonstruksi apapun yang dibilang oleh orang lain," tandas Paulus.

Pewarta: Shariva Alaidrus

Editor : Lexy Sariwating


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2020