Balai Arkeologi Maluku, Senin, meluncurkan buku "Menganyam Pengetahuan dari Tanah Seram Indonesia" berisi data sejarah, kebudayaan dan pengelolaan Pulau Seram yang ditulis dengan bahasa ilmiah populer agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Digelar secara terbatas di Hotel Swissbell Ambon, peluncuran buku "Menganyam Pengetahuan dari Tanah Seram Indonesia" dihadiri oleh sejumlah instansi terkait, seperti pakar sejarah dan budaya, akademisi, serta mahasiswa.
"Menganyam Pengetahuan dari Tanah Seram Indonesia" merupakan buku pertama tentang Pulau Seram dari tinjauan perspektif sejarah, budaya dan kepurbakalaan yang diluncurkan oleh Balai Arkeologi Maluku.
Buku itu ditulis oleh 11 sejarawan, budayawan dan arkeolog, yakni Bambang Sugiyanto, Muhammad Al Mujabuddawat, Asmunandar, Syahruddin Mansyur dan Lucas Wattimena (Balai Arkeologi Maluku), Marlon Ririmasse dan Muh Fadhlan Syuaib (Pusat Arkeologi Nasional), Wuri Handoko (Balai Arkeologi Sulawesi Utara), Prof Hermien Soselisa, John Pattiasina dan Imbing Tuhuteru (Universitas Pattimura Ambon), dan Steve Garzpers (Universitas Kristen Indonesia Maluku).
Kepala Balai Arkeologi Maluku Bambang Sugiyanto mengatakan berbeda dengan jurnal-jurnal ilmiah, kajian dan data yang dimuat dalam buku "Menganyam Pengetahuan dari Tanah Seram Indonesia" ditulis dengan bahasa ilmiah populer agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Direncanakan Juli mendatang buku tersebut akan mulai dibagikan gratis ke sekolah-sekolah, perpusatakaan, desa dan instansi pemerintahan agar bisa menjadi bahan pembelajaran, referensi maupun pegangan bagi pemegang kebijakan, terutama di Kabupaten Maluku Tengah, Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur dalam mengembangkan Pulau Seram.
"Semuanya tentang Pulau Seram dari masa prasejarah, bagaimana sampai disebut sebagai nusa ina dari pandangan arkeologi seperti apa, dan bagaimana data-data arkeologi dipakai untuk pengembangan ke depan juga ada di buku itu," kata Bambang.
Antropolog dari Universitas Pattimura Ambon, Prof Hermien Soselisa mengatakan masyarakat lokal Pulau Seram menyandarkan hidupnya pada hutan, tanaman pertanian, sungai, dan sebagainya. Hubungan mereka dengan lingkungan diatur dalam kerangka berpikir kebudayaan yang holistik.
Karena itu, intervensi kebijakan atau program yang tidak berbasis konsep budaya lokal akan berakibat ketimpangan dalam gerak dan spirit kehidupan masyarakat. Masyarakat lokal atau masyarakat adat akan mengalami krisis identitas dan eksistensi.
"Pembangunan pada hakekatnya adalah aktivitas budaya. Dengan demikian, strategi, intervensi, program dan kegiatan pembangunan lingkungan dan masyarakat Seram dari berbagai stakeholders seyogyanya berbasis budaya lokal," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
Digelar secara terbatas di Hotel Swissbell Ambon, peluncuran buku "Menganyam Pengetahuan dari Tanah Seram Indonesia" dihadiri oleh sejumlah instansi terkait, seperti pakar sejarah dan budaya, akademisi, serta mahasiswa.
"Menganyam Pengetahuan dari Tanah Seram Indonesia" merupakan buku pertama tentang Pulau Seram dari tinjauan perspektif sejarah, budaya dan kepurbakalaan yang diluncurkan oleh Balai Arkeologi Maluku.
Buku itu ditulis oleh 11 sejarawan, budayawan dan arkeolog, yakni Bambang Sugiyanto, Muhammad Al Mujabuddawat, Asmunandar, Syahruddin Mansyur dan Lucas Wattimena (Balai Arkeologi Maluku), Marlon Ririmasse dan Muh Fadhlan Syuaib (Pusat Arkeologi Nasional), Wuri Handoko (Balai Arkeologi Sulawesi Utara), Prof Hermien Soselisa, John Pattiasina dan Imbing Tuhuteru (Universitas Pattimura Ambon), dan Steve Garzpers (Universitas Kristen Indonesia Maluku).
Kepala Balai Arkeologi Maluku Bambang Sugiyanto mengatakan berbeda dengan jurnal-jurnal ilmiah, kajian dan data yang dimuat dalam buku "Menganyam Pengetahuan dari Tanah Seram Indonesia" ditulis dengan bahasa ilmiah populer agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Direncanakan Juli mendatang buku tersebut akan mulai dibagikan gratis ke sekolah-sekolah, perpusatakaan, desa dan instansi pemerintahan agar bisa menjadi bahan pembelajaran, referensi maupun pegangan bagi pemegang kebijakan, terutama di Kabupaten Maluku Tengah, Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur dalam mengembangkan Pulau Seram.
"Semuanya tentang Pulau Seram dari masa prasejarah, bagaimana sampai disebut sebagai nusa ina dari pandangan arkeologi seperti apa, dan bagaimana data-data arkeologi dipakai untuk pengembangan ke depan juga ada di buku itu," kata Bambang.
Antropolog dari Universitas Pattimura Ambon, Prof Hermien Soselisa mengatakan masyarakat lokal Pulau Seram menyandarkan hidupnya pada hutan, tanaman pertanian, sungai, dan sebagainya. Hubungan mereka dengan lingkungan diatur dalam kerangka berpikir kebudayaan yang holistik.
Karena itu, intervensi kebijakan atau program yang tidak berbasis konsep budaya lokal akan berakibat ketimpangan dalam gerak dan spirit kehidupan masyarakat. Masyarakat lokal atau masyarakat adat akan mengalami krisis identitas dan eksistensi.
"Pembangunan pada hakekatnya adalah aktivitas budaya. Dengan demikian, strategi, intervensi, program dan kegiatan pembangunan lingkungan dan masyarakat Seram dari berbagai stakeholders seyogyanya berbasis budaya lokal," ucapnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021