Ambon (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maluku Tenggara (Malra) akan mencari lahan untuk membangun rumah dinas jabatan Bupati dan Wakil Bupati yang baru sehingga aset yang belum diserahkan ke Pemkot Tual ini secara bertahap direalisasikan.
"Bupati Malra, Thaher Hanubun sudah mempunyai itikad baik mencari lahan dan selama ini mereka masih menempati rumah dinas jabatan yang belum diserahkan setelah pemekaran Kota Tual sebagai daerah otonom baru," kata anggotaKkomisi I DPRD Maluku, Benhur Watubun di Ambon, Senin.
Tekad DPRD Maluku untuk mengfasilitasi persoalan aset di Pemkab Malra dan Pemkot Tual ini muncul saat Komisi I DPRD Provinsi Maluku melakukan agenda pengawasan di dua wilayah tersebut.
Menurut dia, pasal 6 ayat (2) Undang-Undang RI nomor 31 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Tual mengatakan bahwa proses penyerahan aset itu berlangsung paling lambat lima tahun sejak dilantiknya penjabat Wali Kota Tual dan penyerahannya harus dilakukan oleh Pemkab Malra.
Tetapi pada pasal 13 ayat (7) dari UU tersebut mengatakan kalau yang diserahkan itu sebagian aset bergerak maupun tidak bergerak.
"Kata sebagian itu yang kemudian menimbulkan multi tafsir, sehingga sampai hari ini ada tiga aset yang belum diserahkan antara lain rumah dinas jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta gedung SKB," ujar Benhur.
Pemkab Malra tetap berpendapat bahwa sebagian aset yang belum mereka serahkan itu untuk sementara karena belum ada lahan untuk membangun rumah dinas jabatan.
Kemudian rumah jabatan itu bukan suatu kewajiban untuk diserahkan, karena dalam pasal 13 ayat (7) point A UU itu menjelaskan kalau yang diserahkan aset di Kota Tual itu hanya sebagian.
"Karena masing-masing pihak mempertahankan pendapatnya maka sampai hari ini masalah aset masih menjadi persoalan," kata Benhur.
Jadi masalah ini sebenarnya sudah cukup lama yakni 14 tahun setelah pemekaran Kota Tual sebagai daerah otonom baru. Namun, mereka selalu berpendapat bahwa hukum adalah panglima untuk menyelesaikan proses ini.
"DPRD berpikir di atas hukum masih ada etika sehingga persoalan ini bisa dibicarakan secara baik dan menggunakan pendekatan kekeluargaan, sebab masyarakat pada dua daerah ini sebenarnya adalah orang Kei yang hanya berbeda daerah administratif," tandas Benhur.
Selain satu bahasa, masyarakat dua wilayah itu juga memiliki hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Jadi mestinya falsafah hukum adat leluhur 'Larvul Ngabal' dan pedoman hidup 'Ain ni ain' menjadi landasan bagi pemerintah daerah setempat untuk menyelesaikan masalah ini.
"Kita tindaklanjuti hasil pengawasan yang ditemukan Komsi I, dan permintaan Bupati Malra adalah mereka menempati rumah dinas jabatan karena saat ini belum ada rumah dinas baik untuk Bupati maupun Wakil Bupati," kata Benhur.
Salah satu solusinya adalah tidak bisa lagi masuk ke ranah hukum dan dibicarakan secara baik-baik.
Apalagi, Bupati Malra sudah mempunyai itikad baik mencari lahan dan tinggal dilakukan sharing dana sehingga nantinya tanggungjawab Pemeritah Provinsi (Pemprov) Maluku juga ada sesuai pasal 13 ayat (8) UU nomor 31 tahun 2007.