Jakarta (ANTARA) - Hari itu Selasa malam pukul 20.45 waktu Italia, tepatnya tanggal 14 November 2017. Peluit panjang tanda pertandingan berakhir dibunyikan, dan seketika itu pula pemain-pemain Italia lunglai bersimpuh di atas lapangan rumput sambil menahan pedih. Beberapa di antaranya terlihat menangis penuh haru, termasuk Daniele de Rossi, Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini.
Menjamu Swedia di Milan dalam laga kedua playoff Piala Dunia 2018, mereka tidak bisa menjebol gawang tim tamu yang menang 1-0 pada leg pertama. Swedia pun lolos ke putaran final Piala Dunia 2018 di Rusia.
Hari itu adalah salah satu hati paling kelam dalam sepak bola Italia. Untuk pertama kalinya sejak 1958, Italia harus absen dalam putaran final Piala Dunia.
Tak lama setelah pertandingan playoff kedua itu selesai, kiper Gianluigi Buffon menyatakan waktunya bersama Azzurri pun sudah selesai, bersamaan dengan mundurnya pelatih Gian Piero Ventura. Gelandang Daniele de Rossi tak ketinggalan, dia pun tak lagi mau mengenakan kostum paling dihormati oleh pesepakbola Italia mana pun itu.
Empat tahun kemudian, pada Minggu malam 11 Juli 2021, de Rossi kembali menangis. Tapi kali ini dia menangis karena bahagia yang saking bahagianya dia membuat selebrasi menghebohkan dengan meluncur di meja panjang di ruang ganti pemain tak lama setelah Italia membungkam Inggris dalam adu penalti pada final Euro 2020 di Wembley.
Baca juga: Bravo, Italia juara Euro 2020 tundukkan Inggris lewat adu penalti. Begini jalannya pertandingan
De Rossi tak bermain, tetapi dia adalah bagian dari tim pelatih yang diajak Roberto Mancini menjadi salah satu staf pelatihnya empat bulan sebelum Azzurri menjuarai Euro 2020.
Kebahagiaan luar biasa de Rossi adalah juga kebahagiaan Italia yang tak saja masih terbayang oleh derita pandemi di mana nyawa puluhan ribu orang direnggut oleh COVID-19, namun juga empat tahun lalu mengalami disorientasi dan merasa terhina karena tak bisa mengikuti turnamen terbesar sepakbola sejagat, sampai Mancini datang menata ulang timnas pada 2018 dan kemudian perlahan membangun sebuah tim yang solid serta sulit sekali dikalahkan lawan.
Tim itu tidak dibangun dari pemain-pemain mahal dan para bintang seperti dimiliki Spanyol, Portugal, Belgia, Inggris, Jerman atau Belanda.
Tim ini dibangun oleh kolektivitas yang bahkan merasuk ke luar lapangan, persis dengan saat-saat manakala Mancini masih aktif menyepak bola sebagai pemain, khususnya saat bersama Sampdoria.
Sebelum de Rossi ditarik menjadi asisten pelatih Maret 2021, sejak ditunjuk sebagai pelatih Italia pada Mei 2018, Mancini sudah didampingi sejumlah asisten pelatih. Mereka adalah Alberico Evani, Angelo Adamo Gregucci, Giulio Nuciari, Fausto Salsano dan pelatih penjaga gawang Massimo Battara. Yang terakhir ini selalu ikut ke mana pun Mancini pergi, termasuk saat Mancini melatih Manchester City dan Zenit Saint Petersburg.
Baca juga: Daftar Juara Euro: Italia kembali juara setelah penantian setengah abad
Setahun kemudian, Mancini mengajak Attilio Lombardo dan Gianluca Vialli melibatkan diri, dan terakhir Maret tahun ini mengajak Danielle de Rossi.
Ternyata, hampir semua staf pelatih Mancini ini adalah alumni Sampdoria atau kalau tidak sahabat dia.
Mancini yang disebut banyak kalangan mempercayai tahayul, membangun timnas di atas fondasi tim seperti tim Sampdoria sewaktu dia bermain di mana generasi emasnya mengantarkan klub itu menembus jajaran elite sepakbola Italia untuk akhirnya bertemu Barcelona dalam final Liga Champions 1992 di Stadion Wembley.
Dan fondasi itu adalah kebersamaan di dalam dan di luar lapangan yang menciptakan permainan kolektif yang maut di lapangan hijau, persis dengan Azzurri saat ini.
Kebersamaan yang kemudian menjadi persahabatan antara Mancini, Vialli, Lombardo, dan banyak pemain Sampdoria saat itu, membuat mereka mengubah Sampdoria yang bukan apa-apa menjadi juara Serie A. Kebersamaan mereka lebih merupakan persahabatan antar manusia, bukan semata rekan satu tim.
Dan inilah yang kemudian ditularkan oleh Mancini cs kepada skuad Azzurri saat ini.
Skuad Azzurri saat ini kebanyakan bukan pemain bintang, tetapi mereka telah membuktikan diri bisa mengalahkan tim-tim bertabur bintang.
Kebersamaan dan persaudaraan di antara membentuk permainan kolektif yang eksplosif, solid, sekaligus pantang menyerah dan lapar kemenangan.
Baca juga: Lupakan Catenaccio, Mancini ingin Italia juarai Euro 2020 dengan sepak bola menyerang
Mancini yin, Vialli yang
Di antara yang disebut sangat mempengaruhi dan dipercaya Mancini adalah Gianluca Vialli. Yang satu ini tak masuk jajaran asisten pelatih, melainkan kepala delegasi tim.
Ini jabatan baru, tapi sebenarnya adalah cara lain Mancini dalam mendapatkan masukan dari sahabatnya yang sewaktu sama-sama bermain di Sampdoria dahulu dikenal sebagai I gemelli del goal atau "Kembar Gol" karena kolaborasi mereka di ujung serangan menjadi jaminan untuk produktivitas gol bagi timnya.
Seperti dengan staf pelatih lainnya, hubungan Mancini dengan Vialli lebih merupakan sahabat, ketimbang rekan kerja. Namun, perjalanan hidup mereka berbeda. Kalau Mancini terus berkarir sebagai pelatih, Vialli tidak begitu.
Empat tahun menjadi manajer Chelsea dan Watford dari 1998 sampai 2002, Vialli yang beristrikan model Inggris itu, harus melupakan karir sepak bolanya karena digerogoti kanker. Dia hanya bisa menjadi komentator sepak bola untuk Sky Italia.
Tetapi perjuangannya dalam melawan kanker seperti dia lukiskan dalam bukunya "The Italian Job: A Journey to the Heart of Two Great Footballing Cultures", malah menginspirasi Mancini dan skuad Italia.
Baca juga: Mampukah Italia jadi tuan rumah Euro 2028 atau Piala Dunia 2030?
Mancini yang konon meyakini hal-hal irasional, sepertinya ingin menularkan spirit hidup Gianluca Vialli sang sahabat yang jatuh bangun melawan kanker tetapi juga merupakan pribadi berkemauan kuat di lapangan hijau, ke dalam timnas.
Mancini juga menyadari ada hal yang kurang dari dirinya tetapi bisa ditutupi oleh Vialli, sehingga memimpin timnas bisa sempurna. Kebutuhan Mancini kepada Vialli sudah seperti yin dan yang dalam filosofi China, yakni tentang hidup seimbang.
Mancini yang introvert disempurnakan oleh Vialli yang ekstrovert. Mancin “yin”, Vialli “yang”. Mancini air, Vially api. Mancini malam, Vially siang. Dan kesalingmelengkapi di antara mereka ini sudah menjadi pengetahuan umum bagi anggota skuad Azzurri yang baru saja menjuarai Euro 2020 itu.
Mereka tak saja dilatih mengenai strategi dan teknik sepak bola, namun juga dianugerahi teladan kebersamaan, persahabatan dan bagaimana menghadapi situasi apa pun termasuk keadaan yang paling membuat frustrasi seperti luka karena tak bisa bermain pada Piala Dunia 2018 dan derita bangsa akibat pandemi yang merenggut 128.000 nyawa di Italia.
"Dia akan membenci saya karena mengatakan ini, tetapi biarlah," kata bek kanan Alessandro Florenzi tak lama setelah final melawan Inggris itu. "Orang mesti tahu ini. Kami mendapatkan teladan yang mengajari kami bagaimana harusnya menjalani hidup, dalam momen apa pun, dalam situasi apa pun.”
“Dan saya lagi membicarakan Gianluca Vialli. Bagi kami, dia spesial. Tanpa dia, dan tanpa Mancini dan pelatih-pelatih lain, kemenangan ini tak ada artinya. Dia teladan hidup. Saya tahu dia akan marah, tapi saya harus bilang soal ini."
Kemenangan Azzurri lebih dari sekadar trofi, tetapi juga mengenai bagaimana menghadapi situasi tersulit dalam hidup dan persahabatan menjadi bagian penting di dalamnya, yang dialami Mancini, Vialli dan sahabat-sahabatnya.
Mereka berhasil menularkan semangat itu kepada junior-juniornya sampai mereka berubah menjadi orang-orang yang membentuk sebuah tim tak terkalahkan dalam 34 pertandingan.
Bukan tak mungkin mereka memecahkan rekor 35 pertandingan tak terkalahkan sepanjang masa yang dipegang Spanyol dan Brazil. Dan tak mustahil pula sukses Euro 2020 menjadi awal untuk sukses besar dalam Piala Dunia 2022 di Qatar, meskipun tantangannya lebih berat dari pada Euro 2020.
Baca juga: Inggris dan media lokalnya dikritik habis mantan bek timnas Italia, kok bisa?
Baca juga: Setelah tampil gemilang di Euro 2020, Donnarumma ucapkan selamat tinggal ke AC Milan