Ternate (ANTARA) - Pusat Studi Gender dan Anak Institut Agama Islam Negeri (PSGA IAIN) Ternate meminta penegak hukum untuk memberikan hukuman mati kepada pelaku perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang wanita di Kabupaten Halmahera Utara(Halut), Maluku Utara (Malut).
"Perbuatan pelaku sangat biadab, bayangkan setelah merampok ia memperkosa dan membunuh korbannya, jadi hukuman yang pantas kepadanya adalah hukuman mati," kata Ketua PSGA IAIN Ternate Nuraini Kamaruddin di Ternate, Rabu.
Seorang gadis asal Kecamatan Malifu, Halmahera Utara bernama Gamaria W. Kumala (18) dibunuh setelah sebelumnya dirampok dan diperkosa pekan lalu oleh seorang supir berinsial R yang kini telah diamankan oleh pihak Kepolisian saat korban menjadi penumpangnya dalam perjalanan dari Malifut ke Sofifi untuk melanjutkan kuliah di Ternate.
Menurut dia, pemberian hukuman mati tidak hanya untuk memenuhi rasa keadilan khususnya bagi keluarga korban, tetapi juga sebagai upaya memberi perlindungan kepada kaum perempuan dari tindakan kekerasan seperti yang dialami Gamaria W. Kumala.
Adanya hukuman berat seperti itu diharapkan akan menjadi pelajaran bagi siapapun untuk tidak melakukan tindakan kekerasan kepada perempuan, termasuk anak-anak, terutama kekerasan dalam bentuk pemerkosaan dan pembunuhan pada masa mendatang.
Kasus yang dialami Gamaria W. Kumala tersebut menurut Nuraini Kamaruddin, diharapkan pula menjadi pelajaran bagi masyarakat khususnya para orang tua untuk selalu memberikan perlindungan dan pengawasan kepada anak-anaknya terutama anak perempuan saat berada di luar rumah atau ketika akan melakukan perjalanan.
Ketika seorang anak perempuan akan melakukan perjalan, misalnya melanjutkan kuliah ke kota lain dan menggunakan sarana transportasi dinilai kurang aman, sebaiknya orang atau anggota keluarga mengantarnya sampai ke tujuan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Ia juga mengimbau kepada pemerintah kabupaten/kota di Malut, khususnya di Kota Ternate untuk mengeluarkan regulasi dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang mengharuskan penghuni kos-kosan tidak dicampur pria dan wanita.
Relugasi seperti itu telah diberlakukan di sejumlah daerah, seperti di Kabupaten Malang, Jawa Timur, sehingga perempuan yang tinggal di kos, terutama para mahasiswi merasa aman dan terlindungi dari kemungkinan mendapatkan kekerasan dari laki-laki.