Pembelajaran jarak jauh tampaknya kini menjadi pilihan terbaik bagi dunia pendidikan di berbagai negara. Hal itu untuk menyiasati keterpurukan proses belajar-mengajar akibat wabah virus corona selama hampir dua tahun ini.

Metodenya mengandalkan jaringan internet atau sederhananya pembelajaran secara daring atau dalam jaringan (online). Ada keunggulannya dari penggunaan teknologi informasi untuk dunia pendidikan pada pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Keunggulan yang nyata dirasakan adalah pembelajaran tetap bisa dilakukan meski di tengah wabah. Namun, kelemahannya juga ada antara lain jaringan atau sinyal, juga biaya untuk pembelian kuota data serta perangkat telepon yang sangat tergantung kemampuan orang tua murid.

Baca juga: Belajar dari "Beli Bali", Kolaborasi Jabar dan Bali untuk pulihkan UMKM

Hingga kini telah dua tahun ajaran baru dan dua kali kelulusan siswa pendidikan dasar dan menengah yang harus dilakukan secara daring yakni Tahun Ajaran 2020/2021 dan 2021/2022. Bagi siswa kelas dua, mereka umumnya belum mengenal temannya secara langsung. Mereka baru saling kenal secara daring.

Mereka baru kenal secara langsung bila sekolahnya telah diizinkan melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM). Itu pun masih dalam suasana pembatasan dan uji coba. Wabah virus corona (COVID-19) di Indonesia cenderung landai dalam dua bulan terakhir sehingga sekolah pun mulai diizinkan kembali menyelenggarakan PTM.

Meski masih uji coba yang belum diikuti seluruh sekolah, namun semakin banyak sekolah yang diizinkan melaksanakan PTM. Instansi penyelenggara pendidikan terlebih dahulu melakukan penilaian (asesmen) terhadap sekolah yang akan melaksanakan PTM.

Baca juga: Melek digital gara-gara pandemi COVID-19

Seiring dengan tren penurunan penularan wabah, semakin banyak sekolah dibuka lagi hingga semua bakal normal seperti sebelum ada wabah. Karena itu, dunia pendidikan sedang menuju ke arah pemulihan. Sebagian siswa atau murid beserta orang menyambut gembira dan antusias dengan PTM. Namun sebagian masih meragukan dan memilih menunggu keadaan benar-benar normal. Solusi bagi siswa yang belum mengikuti PTM adalah tetap belajar secara daring. Ini karena pada dasarnya PTM belum merupakan kewajiban, tetapi pilihan (opsi).
 
Siswa kelas 1 SD Muhammadiyah 28 Jakarta mengikuti kegiatan pembelajaran jarak jaruh (PJJ) atau daring dirumahnya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (9/8/2021). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa


Asesmen
Di DKI Jakarta, uji coba PTM terbatas dimulai sejak 30 Agustus 2021 dengan total peserta sebanyak 610 sekolah pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Sejauh ini, berdasarkan evaluasi Dinas Pendidikan, PTM berjalan baik. Kendati demikian, ada temuan di SDN 05 Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Di sekolah ini, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta menghentikan sementara PTM terbatas tahap satu karena dinilai melanggar aturan dan ketentuan yakni pelanggaran terhadap protokol kesehatan (prokes) terkait penggunaan masker.

Namun, temuan itu tidak menghentikan uji coba PTM di DKI Jakarta karena pelanggarannya memang tidak masif di banyak sekolah. Karena itu, PTM tetap dilanjutkan, bahkan jumlah sekolahnya ditingkatkan.

Dinas Pendidikan DKI Jakarta bersama pihak terkait sedang melakukan asesmen ke sekolah-sekolah di luar 610. Direncanakan sebanyak 1.500 sekolah menggelar PTM terbatas pada 27 September mendatang.

Saat ini, menurut Kasubag Hubungan Masyarakat Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taga Radja Gah, Dinas Pendidikan (Disdik) DKI melakukan finalisasi pelatihan bagi 2.125 sekolah di luar 610 sekolah yang sedang menjalani PTM terbatas. Sebanyak 2.125 sekolah itu kemudian diseleksi dan diambil 890 sekolah yang akan mengikuti PTM terbatas atau tiga hari per pekan.

Karena sejumlah sekolah mulai menggelar PTM terbatas, maka berbagai pihak meminta vaksinasi untuk seluruh siswa. Namun, vaksinasi bagi siswa tidak menjadi prasyarat untuk siswa mengikuti kegiatan PTM, tapi lebih menekankan pada izin orang tua.

Akan tetapi Disdik dan para guru tetap mengimbau pada para siswa berusia 12-17 tahun yang belum divaksin agar segera divaksin. Artinya bukan berarti yang belum divaksin tidak boleh ikut PTM atau yang sudah vaksin wajib ikut, tapi menekankan agar divaksin dan izin orang tua.

Baca juga: Mengungkap kebijakan pemerintah menekan angka positif COVID-19

Untuk vaksinasi, saat ini lebih 90 persen pelajar berusia 12-17 tahun di DKI sudah mendapatkan vaksin. Mereka yang belum divaksin dipacu agar segera mendatangi gerai atau fasilitas kesehatan guna memperoleh vaksinasi untuk mencegah COVID-19.

Begitu juga guru dan tenaga pendukung di sekolah-sekolah telah dikerahkan untuk mengikuti vaksinasi. Percepatan vaksinasi untuk siswa, guru dan tenaga pendukung pendidikan kini sedang dipacu di berbagai daerah.

Percepatan
Percepatan vaksinasi bagi ekosistem pendidikan adalah solusi saat ini untuk memperluas PTM. Hal itu didasarkan pada persoalan serius yang harus harus dihadapi jika terus-menerus belajar secara daring. Persoalan serius perlu diantisipasi dari PJJ terlalu lama menyangkut gangguan mental anak dan akses pendidikan yang tidak merata sehingga dikhawatirkan berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan secara umum.

Karena itu, percepatan pembukaan kembali sekolah-sekolah sedang gencar dilakukan di berbagai daerah. Juga di beberapa negara.

Hal itu seiring dengan desakan Badan PBB untuk Anak-Anak (Unicef) agar negara-negara segera membuka kembali sekolah-sekolah. Jutaan siswa kini masih harus menunggu kepastian untuk belajar secara normal. Pekan lalu, Unicef mendesak otoritas pendidikan agar sesegera mungkin membuka kembali sekolah-sekolah di negara pandemi COVID-19. Jutaan siswa tidak diizinkan bersekolah selama 18 bulan terakhir.

Baca juga: Skenario kedua menuju kekebalan kelompok guna akhiri pandemi

Menurut laporan Unicef, sekolah di sekitar 17 negara masih ditutup. Selain itu, sekolah di 39 negara sebagian sudah melakukan tatap muka.

Di antara sekolah "yang hampir ditutup total" adalah sekolah yang biasanya dihadiri hampir 77 juta siswa di Filipina, Bangladesh, Venezuela, Arab Saudi, Panama dan Kuwait. Hampir sepertiga dari angka ini dilaporkan oleh Filipina, yang kini memerangi salah satu wabah COVID-19 terparah di Asia. Tahun ajaran baru Filipina dimulai pekan lalu.

Siswa dari enam negara tersebut mewakili lebih dari 131 juta siswa di seluruh dunia yang melewatkan tiga perempat lebih pembelajaran tatap muka. Krisis pendidikan masih ada di sini dan setiap harinya ruang kelas masih terlihat gelap. "Kehancuran kian parah," kata Direktur Eksekutif Unicef Henrietta Fore.

Laporan itu menyebutkan bahwa para pengajar harus menjadi prioritas vaksinasi COVID-19 setelah tenaga kesehatan dan kelompok yang paling rentan agar terlindung dari penularan virus corona. Para siswa mungkin lebih aman berada di rumah, namun ketersediaan komputer, telepon seluler dan internet serta kualitas pendidikan yang tidak merata menjadi sederet tantangan yang mesti mereka hadapi.

Di Filipina sejumlah anak terpaksa naik ke atap untuk mendapatkan sinyal internet. Pada Juni lalu, Presiden Rodrigo Duterte menolak usulan untuk melanjutkan kelas tatap muka di sejumlah daerah.

Baca juga: Korupsi yang tak mengenal pandemi, terlalu..

Dia berkata "Saya tidak bisa mempertaruhkan kesehatan anak-anak".

Unicef dan mitranya menutup saluran digital mereka selama 18 jam pada Kamis pekan lalu guna menarik perhatian terhadap krisis dan "pembelajaran yang hilang selama 18 bulan."

"Ini adalah krisis dan kami tidak akan biarkan dunia mengabaikannya," kata Fore.

Ia pun menambahkan, "saluran kami bungkam, tetapi pesan kami kuat: Semua komunitas, dimana pun sesegera mungkin harus membuka kembali sekolah". Pesan yang jelas dan tegas.

Baca juga: Tak ada cerita oksigen dan obat langka di masa pandemi

Pewarta: Sri Muryono

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021