Ketika memberikan sambutan utama pada wisuda secara daring Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Banking School (STIE-IBS) Jakarta pada Sabtu (20/11) 2021, Menteri Perencanaan Pembangungan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Dr (HC) Ir H Suharso Monoarfa mencuatkan isu mengenai tingkat produktivitas yang masih rendah dan menjadi suatu isu dalam 30 tahun di Indonesia.
"Dan kita tidak pernah loncat dalam tingkat produktivitas itu," katanya
Penyebab rendahnya produktivitas itu disebutnya karena jarang sekali mahasiswa diajarkan total factor productivity (TFP).
Padahal hal ini penting untuk mendorong kapital dalam pertumbuhan ekonomi dan regulasi yang masih tertinggal.
Ekonomi dunia disebutnya sudah berubah dipimpin oleh disrupsi teknologi, sehingga model bisnis sudah berubah, begitu juga dengan model keuangan juga telah berubah.
Ini berimbas pada permintaan sumber daya manusia (SDM) yang juga berubah.
"Sehingga membutuh upscaling SDM untuk menghasilkan tenaga kerja yang terampil," kata Kepala Bappenas itu.
Pada 12 tahun terakhir perekonomian Indonesia cenderung tumbuh di bawah potensialnya, di mana banyak alasan yang menjadi penyebabnya.
Ia memberi satu catatan mengenai mengapa di Indonesia masih lower midle income, salah satunya adalah tingkat produktivitas yang masih rendah itu.
Kemajuan sebuah negara ditentukan oleh tingkat kompleksitas ekonominya, yakni kian tinggi tingkat kompleksitas ekonominya, maka negara itu makin baik.
Hanya saja, disayangkan Indonesia memiliki tingkat kompleksitas ekonomi yang sangat rendah. Bahkan, di Asia saja sangat rendah.
Kompleksitas itu didorong oleh inovasi. Sayangnya, inovasi yang ada masih rendah. sehingga perlu perhatian pada soal ini.
Baca juga: Mencetak talenta digital Maluku, dimulai dari sekolah
Fokus HCI
Suharso Monoarfa menekankan pentingnya untuk fokus pada Human Capital Index (HCI) atau indeks modal manusia dan bukan lagi Human Development Index (HDI).
Mengenai HCI, menurut Kementerian Keuangan (https://www.kemenkeu.go.id) HCI merupakan salah satu program Bank Dunia guna menghitung komponen utama modal SDM terhadap benchmark untuk seluruh negara di dunia.
HCI dirancang untuk menjelaskan bagaimana perkembangan kondisi kesehatan dan pendidikan untuk dapat mendukung produktivitas generasi yang akan datang.
HCI mengkombinasikan komponen-komponen probabilitas hidup hingga usia 5 tahun (survival), kualitas dan kuantitas pendidikan, dan kesehatan termasuk isu stunting (kekerdilan anak).
Komponen tersebut merupakan bagian utama dari pengukuran produktivitas tenaga kerja di masa depan dari anak yang dilahirkan saat ini.
Laporan Bank Dunia pada 16 September 2020 menyebutkan HCI Indonesia berada di peringkat keenam dari 11 negara di Asia Tenggara.
Pada 2020, Indonesia di bawah Singapura, yang berada paling atas yang secara global dengan 0,88 poin.
Sedangkan Indonesia menghasilkan 0,54 atau naik sedikit atau naik dibandingkan dengan tahun 2018 yakni 0,53.
Namun, posisinya berada di bawah Vietnam (0,69 poin), Brunei Darussalam (0,63 poin), Malaysia (0,61 poin), dan Thailand (0,61 poin).
Dalam laman https://www.kemenkeu.go.id Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menyatakan kenaikan HCI itu membuktikan bahwa hasil belanja negara untuk SDM sudah mulai terlihat.
Secara rinci komponen disampaikan kelangsungan hidup meningkat menjadi 0,98 dari sebelumnya 0,97, sedangkan kualitas pendidikan menjadi 395.
Sebaliknya, lama sekolah anak Indonesia berada pada 7,8, turun dari sebelumnya 7,9.
Untuk komponen kesehatan terjadi peningkatan yang cukup signifikan dari 0,66 menjadi 0,72.
Angka ini menggambarkan peningkatan jumlah anak yang tidak kerdil dan mengalami keterbatasan kognitif dan fisik.
Baca juga: Manfaat nyata program PEN dan reformasi struktural untuk masyarakat
Prioritas
Presiden Joko Widodo saat pidato kenegaraan peringatan HUT ke-76 RI di rapat paripurna MPR/DPR/DPD (16/8) 2021 menyatakan bahwa pandemi COVID-19 yang melanda seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, seperti kawah candradimuka yang menguji, mengajarkan, dan sekaligus mengasah untuk menjadi bangsa yang tahan banting.
Kepala Negara menegaskan keberanian untuk berubah dan mengubah tatanan serta menerobos ketidakmungkinan tersebut merupakan fondasi membangun Indonesia maju.
"Di tengah dunia yang penuh disrupsi sekarang ini, karakter berani untuk berubah, mengubah, dan mengkreasi hal-hal baru, merupakan fondasi untuk membangun Indonesia maju," katanya.
Karenanya, pengembangan SDM berkualitas tetap menjadi prioritas.
Presiden juga menyampaikan untuk peningkatan produktivitas dan kualitas SDM, pemerintah menyiapkan anggaran pendidikan sebesar Rp541,7 triliun.
Pembangunan SDM tetap menjadi agenda prioritas. Indonesia harus bisa memanfaatkan bonus demografi dan siap menghadapi disrupsi teknologi.
"Kita harus menyiapkan SDM yang produktif, inovatif, dan berdaya saing global dengan tetap mengamalkan nilai- nilai Pancasila, berakhlak mulia, dan menjaga jati diri budaya bangsa," katanya.
Baca juga: Upaya tiada henti untuk memperkuat UMKM lewat pendampingan dan pembiayaan
Berkenaan dengan hal tersebut, kebijakan diarahkan untuk melanjutkan reformasi pendidikan dengan penekanan pada tiga hal, yakni (1) peningkatan kualitas SDM melalui penguatan PAUD dan sekolah penggerak, (2) pemerataan sarana prasarana pendidikan.
Kemudian, (3) menyelesaikan mismatch pendidikan dengan penguatan pendidikan vokasi, pengembangan riset terapan dan inovasi yang tersambung dengan industri dan masyarakat, program magang dan teaching industry, serta pelaksanaan program Merdeka Belajar.
Dalam upaya meningkatkan SDM unggul, pemerintah berkomitmen untuk memperkuat investasi pemerintah di bidang pendidikan, antara lain mendukung perluasan program beasiswa, adopsi teknologi informasi dan komunikasi, pemajuan kebudayaan, penguatan perguruan tinggi kelas dunia, serta pengembangan riset dan inovasi.
Tantangan SDM ke depan bagi Indonesia dalam persaingan global adalah fakta di depan mata.
Melalui upaya yang sudah dan akan terus dilakukan, serta melihat kondisi faktual tentang kondisi SDM di Tanah Air, maka kebutuhan untuk peningkatan kapasitas dan pemberdayaan adalah keniscayaan yang harus terus dibangun.*
Baca juga: Tips bisnis, peluang usaha dari hobi memasak di masa pandemi
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
"Dan kita tidak pernah loncat dalam tingkat produktivitas itu," katanya
Penyebab rendahnya produktivitas itu disebutnya karena jarang sekali mahasiswa diajarkan total factor productivity (TFP).
Padahal hal ini penting untuk mendorong kapital dalam pertumbuhan ekonomi dan regulasi yang masih tertinggal.
Ekonomi dunia disebutnya sudah berubah dipimpin oleh disrupsi teknologi, sehingga model bisnis sudah berubah, begitu juga dengan model keuangan juga telah berubah.
Ini berimbas pada permintaan sumber daya manusia (SDM) yang juga berubah.
"Sehingga membutuh upscaling SDM untuk menghasilkan tenaga kerja yang terampil," kata Kepala Bappenas itu.
Pada 12 tahun terakhir perekonomian Indonesia cenderung tumbuh di bawah potensialnya, di mana banyak alasan yang menjadi penyebabnya.
Ia memberi satu catatan mengenai mengapa di Indonesia masih lower midle income, salah satunya adalah tingkat produktivitas yang masih rendah itu.
Kemajuan sebuah negara ditentukan oleh tingkat kompleksitas ekonominya, yakni kian tinggi tingkat kompleksitas ekonominya, maka negara itu makin baik.
Hanya saja, disayangkan Indonesia memiliki tingkat kompleksitas ekonomi yang sangat rendah. Bahkan, di Asia saja sangat rendah.
Kompleksitas itu didorong oleh inovasi. Sayangnya, inovasi yang ada masih rendah. sehingga perlu perhatian pada soal ini.
Baca juga: Mencetak talenta digital Maluku, dimulai dari sekolah
Fokus HCI
Suharso Monoarfa menekankan pentingnya untuk fokus pada Human Capital Index (HCI) atau indeks modal manusia dan bukan lagi Human Development Index (HDI).
Mengenai HCI, menurut Kementerian Keuangan (https://www.kemenkeu.go.id) HCI merupakan salah satu program Bank Dunia guna menghitung komponen utama modal SDM terhadap benchmark untuk seluruh negara di dunia.
HCI dirancang untuk menjelaskan bagaimana perkembangan kondisi kesehatan dan pendidikan untuk dapat mendukung produktivitas generasi yang akan datang.
HCI mengkombinasikan komponen-komponen probabilitas hidup hingga usia 5 tahun (survival), kualitas dan kuantitas pendidikan, dan kesehatan termasuk isu stunting (kekerdilan anak).
Komponen tersebut merupakan bagian utama dari pengukuran produktivitas tenaga kerja di masa depan dari anak yang dilahirkan saat ini.
Laporan Bank Dunia pada 16 September 2020 menyebutkan HCI Indonesia berada di peringkat keenam dari 11 negara di Asia Tenggara.
Pada 2020, Indonesia di bawah Singapura, yang berada paling atas yang secara global dengan 0,88 poin.
Sedangkan Indonesia menghasilkan 0,54 atau naik sedikit atau naik dibandingkan dengan tahun 2018 yakni 0,53.
Namun, posisinya berada di bawah Vietnam (0,69 poin), Brunei Darussalam (0,63 poin), Malaysia (0,61 poin), dan Thailand (0,61 poin).
Dalam laman https://www.kemenkeu.go.id Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menyatakan kenaikan HCI itu membuktikan bahwa hasil belanja negara untuk SDM sudah mulai terlihat.
Secara rinci komponen disampaikan kelangsungan hidup meningkat menjadi 0,98 dari sebelumnya 0,97, sedangkan kualitas pendidikan menjadi 395.
Sebaliknya, lama sekolah anak Indonesia berada pada 7,8, turun dari sebelumnya 7,9.
Untuk komponen kesehatan terjadi peningkatan yang cukup signifikan dari 0,66 menjadi 0,72.
Angka ini menggambarkan peningkatan jumlah anak yang tidak kerdil dan mengalami keterbatasan kognitif dan fisik.
Baca juga: Manfaat nyata program PEN dan reformasi struktural untuk masyarakat
Prioritas
Presiden Joko Widodo saat pidato kenegaraan peringatan HUT ke-76 RI di rapat paripurna MPR/DPR/DPD (16/8) 2021 menyatakan bahwa pandemi COVID-19 yang melanda seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, seperti kawah candradimuka yang menguji, mengajarkan, dan sekaligus mengasah untuk menjadi bangsa yang tahan banting.
Kepala Negara menegaskan keberanian untuk berubah dan mengubah tatanan serta menerobos ketidakmungkinan tersebut merupakan fondasi membangun Indonesia maju.
"Di tengah dunia yang penuh disrupsi sekarang ini, karakter berani untuk berubah, mengubah, dan mengkreasi hal-hal baru, merupakan fondasi untuk membangun Indonesia maju," katanya.
Karenanya, pengembangan SDM berkualitas tetap menjadi prioritas.
Presiden juga menyampaikan untuk peningkatan produktivitas dan kualitas SDM, pemerintah menyiapkan anggaran pendidikan sebesar Rp541,7 triliun.
Pembangunan SDM tetap menjadi agenda prioritas. Indonesia harus bisa memanfaatkan bonus demografi dan siap menghadapi disrupsi teknologi.
"Kita harus menyiapkan SDM yang produktif, inovatif, dan berdaya saing global dengan tetap mengamalkan nilai- nilai Pancasila, berakhlak mulia, dan menjaga jati diri budaya bangsa," katanya.
Baca juga: Upaya tiada henti untuk memperkuat UMKM lewat pendampingan dan pembiayaan
Berkenaan dengan hal tersebut, kebijakan diarahkan untuk melanjutkan reformasi pendidikan dengan penekanan pada tiga hal, yakni (1) peningkatan kualitas SDM melalui penguatan PAUD dan sekolah penggerak, (2) pemerataan sarana prasarana pendidikan.
Kemudian, (3) menyelesaikan mismatch pendidikan dengan penguatan pendidikan vokasi, pengembangan riset terapan dan inovasi yang tersambung dengan industri dan masyarakat, program magang dan teaching industry, serta pelaksanaan program Merdeka Belajar.
Dalam upaya meningkatkan SDM unggul, pemerintah berkomitmen untuk memperkuat investasi pemerintah di bidang pendidikan, antara lain mendukung perluasan program beasiswa, adopsi teknologi informasi dan komunikasi, pemajuan kebudayaan, penguatan perguruan tinggi kelas dunia, serta pengembangan riset dan inovasi.
Tantangan SDM ke depan bagi Indonesia dalam persaingan global adalah fakta di depan mata.
Melalui upaya yang sudah dan akan terus dilakukan, serta melihat kondisi faktual tentang kondisi SDM di Tanah Air, maka kebutuhan untuk peningkatan kapasitas dan pemberdayaan adalah keniscayaan yang harus terus dibangun.*
Baca juga: Tips bisnis, peluang usaha dari hobi memasak di masa pandemi
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021