Area Pasar dan Terminal Mardika Ambon seluas 6 hektare menjadi kendala tersendiri bagi Pemkot Ambon dalam menata fasilitas umum ini. Lahan untuk menunjang perekonomian dan mobilitas warga tersebut terasa sempit.

Kondisi aset Pemerintah Provinsi Maluku tersebut diperparah dengan keluhan para pedagang atas praktik pungutan liar (pungli) yang dilakukan oknum-oknum rakus dengan alasan memungut uang sampah.

Belum lagi persoalan sosial lainnya, seperti aksi pencurian dan penjambretan para penjahat kelas teri terhadap masyarakat di lokasi pasar dan terminal tersebut.

Menghadapi perkara tersebut, para pedagang beraliansi dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Ambon. Mereka menyalurkan aspirasi ke Pemkot Ambon, menuntut penataan pasar yang lebih bersih serta membubarkan Asosiasi Pedagang Mardika Ambon (APMA) yang dinilai tidak mengakomodasi kepentingan pedagang.

Mereka menuntut pemerintah kota mengambil alih pengelolaan pasar sesuai dengan fungsi dan kewenangan pemkot.

Pemkot Ambon juga diminta segera mengusut tuntas pembangunan ilegal di areal terminal Blok A1 dan A2, termasuk mengusut tuntas praktik pungli yang dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan dalih uang sampah.

Aksi demonstrasi yang dikoordinasi Sharil Muslih di halaman Balai kota Ambon ini menyatakan dukungan mereka kepada Pemerintah Kota Ambon untuk membubarkan APMA.

Selain itu, Ketua APMA juga akan dilaporkan secara resmi ke aparat kepolisian karena organisasi tersebut, selain tidak mengakomodasi kepentingan pedagang kaki lima, juga dituding sebagai dalang atas berbagai persoalan yang terjadi di Pasar dan Terminal Mardika.


Tidak membatalkan

Penjabat Wali Kota Ambon Bodewin M. Wattimena menyatakan tidak akan membatalkan kebijakan pemerintah sebelumnya karena beleid yang diambil sudah mempertimbangkan berbagai ekses yang bakal timbul.

"Banyak orang protes kepada saya, kenapa membangun lapak-lapak di atas trotoar. Saya coba mendalami masalah, dan ternyata itu kepentingan mendesak dari pemkot sebagai akibat dari pembongkaran Pasar Mardika yang disebut Gedung Putih," katanya.

Pembongkaran pasar tersebut oleh Pemerintah Provinsi Maluku untuk kepentingan revitalisasi pasar.

Para pedagang di dalam pasar terpaksa  dikeluarkan dari Gedung Putih sebagai tanggung jawab pemerintah kota untuk memastikan mereka tetap bisa berjualan dengan baik dengan cara aktivitas mereka dialihkan ke lapak-lapak di atas trotoar.

"Saya tidak mempersoalkan besaran biaya atau pun mekanisme pembuatan lapak, namun yang dipikirkan adalah pedagang yang keluar dari gedung harus tetap bisa berjualan," ujar dia.

Kalau pertanyaannya kapan dibongkar lagi semua lapak, maka pemkot membiarkan semuanya tetap seperti itu sambil menunggu revitalisasi rampung.

Dalam perjalanan memperjuangkan aspirasi, para aktivis PMII dan pedagang tahu bahwa areal seluas 6 hektare antara Jembatan Mardika hingga Jembatan Batumerah itu merupakan aset milik Pemerintah Provinsi Maluku.

Kenapa sampai hari ini pemerintah kota tidak mendirikan BUMD berupa PD Pasar Mardika, sebab lokasi itu bukan merupakan aset Pemkot Ambon sehingga pihaknya tidak punya hak penuh untuk mengelola lahan tersebut.

Pemkot Ambon hanya bisa melakukan pengelolaan sesuai dengan kewenangan yang ada, karena terminal tipe C berhak dikelola pemkot, tipe B oleh provinsi, dan tipe A dikelola Pemerintah Pusat.

Pemkot telah menyerahkan hak pengelolaan terminal B yang ada di Ruko dan Terminal Batumerah, yakni kawasan Ongkoliong, kepada pemprov, dan kewenangan pemkot hanya ada pada terminal tipe C.

Sejauh ini belum ada rencana pemkot membongkar lapak-lapak di atas trotoar karena masih menunggu revitalisasi Pasar Mardika rampung, namun ternyata hal itu sudah dilakukan pembongkaran oleh satpol PP.

"Saya setuju dibongkar karena maksud mereka ingin memperbaiki kondisi di dalam pasar dan terminal, termasuk memberikan ruang yang cukup kepada para pemilik toko, agar bisa berjualan dengan baik, kemudian dilakukan pembangunan kembali," kata Bodewin.

Saat ini Pemkot Ambon sudah menghentikan untuk sementara proses pembangunan lapak dalam terminal dan itu langkah mereka dalam pemenuhan tanggungjawab dan kewenangan di terminal tipe C.

Yang menjadi persoalan sekarang, bagaimana dengan lapak-lapak pedagang yang sudah dibongkar, dan bagaimana dengan proses pembangunan lapak dalam terminal yang dihentikan sementara.

Penghentian sementara pembangunan lapak sebagai upaya fasilitasi dan koordinasi dengan pemerintah provinsi, sebab antara pemerintah provinsi dan pemkot tidak boleh saling berbenturan.

"Untuk koordinasi tingkat pemerintah kota sudah dilakukan dan sikap saya jelas tidak setuju lapak dibangun dalam terminal," ujar Bodewin.

Pemkot Ambon juga sudah berkoordinasi dengan DPRD Provinsi Maluku dan instansi terkait untuk membahas persoalan ini karena nasib para pedagang harus dicarikan solusi segera.

Seharusnya para pedagang bisa memanfaatkan solusi yang telah disepakati bersama dengan Pemkot Ambon, yang mana pukul 18:00 WIT mereka baru boleh masuk untuk berjualan di dalam terminal.

Yang jelas, pendapatan para pedagang tidak sama dengan saat lapak mereka belum dibongkar, tetapi pihaknya masih menunggu koordinasi dengan pemerintah dan DPRD Maluku.

Terminal bukanlah area untuk membangun lapak. Kesepakatan sementara bisa berjualan di atas pukul 18:00 WIT, dan ini hanyalah kebijakan tergesa-gesa yang tidak terencana.

Pemkot Ambon punya akal sehat dalam membuat kebijakan dan itu telah dipertimbangkan, dengan mencari berbagai alternatif mengambil risiko paling kecil. Setelah itu baru diambil sebagai kebijakan publik.

Tidak mungkin pemerintah menyusahkan para pedagang. Oleh karena itu pemkot minta diberi kesempatan serta kepercayaan untuk menghasilkan solusi terbaik. Sebab, ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat pemkot juga terbatas dan dilematis dalam pengambilan keputusan, seperti rumor yang muncul kalau pemkot sudah "main mata".

"Hanya Tuhan yang tahu, silakan kalau mau mencaci-maki. Pemerintah kota memang nasibnya seperti itu, karena bikin hal betul saja salah, apalagi kalau tidak betul, tentunya lebih salah lagi," keluhnya.

Kalau ada oknum pegawai yang melakukan pungli maka pedagang diminta mengambil gambar atau video sebagai bukti untuk menjadi dasar menindak tegas mereka.

Program "Wali Kota Jumpa Rakyat" (Wajar) setiap hari Jumat memang dibuat untuk berdialog dengan siapa saja, agar publik juga percaya kepada pemerintah.

Jadi, manfaatkanlah saluran komunikasi tersebut agar tidak ada dusta di antara pejabat dan rakyat.

















 

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : Ikhwan Wahyudi


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2023