Saksofonis jazz Nicky Manuputty kembali tampil di kota Ambon, kali ini dalam konser musik yang digelar di Teater Tertutup Taman Budaya, kawasan Karangpanjang, Selasa lalu (21/2).

Naik pentas dengan setelan celana "jeans" biru, kaos putih berbalut rompi hangat warna hitam, musisi kelahiran Belanda itu memainkan "Summerday" yang enerjik sebagai nomor pembuka, disusul Love and Praise The Day. Keduanya dibawakan dengan gaya dan hembusan nafas kuat yang menghasilkan nada-nada jazz nan indah, membuat puluhan penonton yang hadir di tempat itu berteriak panjang, "Wooouuuu!"

Di bibir panggung bagian depan, fotografer dan beberapa penonton sibuk membidik dan mengklik tombol "shoot" kamera maupun handphone mereka, berusaha merekam gaya dan ekpresi wajah paling eksotis dari saksofonis berdarah Maluku yang lahir di Belanda itu. Nicky pun terlihat tak mau jual mahal, ia selalu berusaha mendekat dan mengeluarkan seluruh daya pikatnya manakala ada yang mendekat ke bibir panggung untuk memotret.

Menutup nomor Love and Praise The Day dengan tiupan panjang, ia lalu menyapa penonton dengan hangat, "Apa kabar Ambon?" dan serentak dijawab,"Baik, Bung Nicky!"
Suasana terasa semakin akrab setelah Nicky berbicara dalam dialek Melayu Ambon, dan menyapa beberapa orang di tengah penonton yang memiliki pertalian saudara dengannya.

"Beta ini aslinya orang Ullath (sebuah desa di Saparua) ..... Tadi beta lihat ada beta pung usi (kakak perempuan) di sana. Ah itu dia, usi Lieske deng usi Sin," katanya sambil menunjuk ke arah dua perempuan di tribun bagian tengah.

Ia kemudian memperkenalkan musisi-musisi yang menemaninya, masing-masing Harry Anggoman pada kibor, pemain drumm Don Pham asal Toronto, Kanada, Ribka Rachman (synthesizer) dan Bonar Abraham (bas), sebelum memainkan lagu ciptaannya sendiri yang berjudul "My Story" disusul "Smoothy".

Saat membawakan dua nomor tersebut, saksofonis berusia 33 tahun ini beberapa kali mengajak penonton untuk bergoyang dan bertepuk tangan secara kompak pada setiap hitungan awal birama.

"Come on," katanya sambil memberi contoh, diikuti oleh para penonton.

"Nicky menjawab"

Secara umum, konser yang digagas Yayasan Ruma Beta dengan judul "Badonci Bersama Nicky Manuputty" itu tampaknya memang didisain untuk memberi ruang bagi terciptanya keakraban antara penonton dan sang penampil.

Selain gratis, para pemburu foto diperbolehkan memotret selama pertunjukan berlangsung, tidak dibatasi hanya pada tiga lagu pertama seperti biasa berlaku pada konser-konser lainnya.

Lebih dari itu, saat jeda pertunjukan (interval), pembawa acara juga memberi kesempatan kepada penonton untuk bertanya kepada Nicky tentang apa saja menyangkut kehidupan dan karirnya.

"Nicky, kapan ale kaweng? (Nicky, kapan anda menikah?)", "Apakah Bung Nicky mau ajar katong (kami) bermain saksofon?", dan "Bung Nicky, apakah empat lagu pertama tadi adalah ciptaan sendiri? Sebab beta baru pernah dengar?" demikian tiga pertanyaan yang terlontar.

Dalam responnya, Nicky mengakui dirinya masih bujangan dan lagu-lagu yang dibawakan dalam konsernya ini hampir semua ciptaan sendiri. Ia juga bersedia memberi pelajaran kepada kaula muda Maluku yang ingin belajar meniup saksofon.

"Boleh, mungkin satu kali nanti katong adakan klinik saksofon, kerja sama lagi dengan Ruma Beta," katanya, disambut tepuk tangan meriah penonton.

Usai jeda, Nicky pun memanggil Harry Anggoman, Bonar, Ribka dan Don Pham untuk kembali ke pentas dan mengisi pos masing-masing, lalu membawakan dua lagu berturut-turut, masing-masing "If You Are Not The One" (Daniel Bedingfield) dan "So Sick" (Ne-Yo).

Saat membawakan dua lagu tersebut, Nicky banyak membuat gerakan jenaka, berjalan dengan kedua kaki dibuka lebar, sesekali meliukkan badan dan bermain dengan satu tangan. Aksinya ini tak pelak membuat penonton bertepuk tangan sambil berteriak riuh.

Suasana semakin heboh ketika Nicky dan kawan-kawan membawakan lagu Do You Want It sebagai nomor pamugkas, dimana masing-masing pemain menunjukkan kepiawawain dalam permainan solo.

Tepuk tangan paling meriah terjadi ketika Bonar, yang mengaku diberi marga (family name) Manusama oleh Glenn Fredly, memainkan nada-nada tinggi dan cepat pada dawai basnya selama kurang lebih 10 menit. Bahkan Nicky sempat menepuk-nepuk bahunya tanda salut melihat permainan "bassist" berdarah asli Betawi ini.

Usai lagu tersebut, Nicky dan kawan-kawan beranjak meninggalkan panggung. Namun atas permintaan sejumlah penonton, mereka akhirnya memainkan nomor hits "Mama Bakar Sagu" ciptaan Minggus Tahitoe, kali ini bersama tiga penonton yang ditantang naik ke atas panggung dan menyanyikan liriknya.

"Sambil mama bakar sagu, mama manyanyi (menyanyi) buju-buju (nina bobo), Sio Tete Manise (Ya Tuhan) jaga beta pung mama e (jagalah ibunda saya)," demikian lirik penutup (coda akhir) lagu tersebut melantun di tengah suara riuh saksofon Nicky.

"Oke, terima kasih, sampai baku dapa lai (bertemu kembali)"," kata Nicky, sebelum sejenak kemudian ia kembali meraih mikrofon dan berseru, "E   jangan pulang dulu, foto-foto dulu!" Ajakannya itu kontan membuat sejumlah penonton turun dari tribun dan menghampiri para musisi untuk foto bersama.

Siap Luncurkan Album

Bagi Nicky Manuputty, konsernya di Taman Budaya Karangpanjang Ambon ini memiliki arti khusus. Selain sebagai pemanasan menjelang penampilan di ajang Java Jazz Festival 2012, Maret mendatang, ia juga berkepentingan memperkenalkan karya-karya dalam album perdananya yang akan diluncurkan saat pesta musik buatan Peter Gontha itu digelar.

Album yang diberi judul "My Story" itu sendiri berisi 10 lagu, masing-masing "My Story", "Summerday", "Love And Praise The Day", "Smoothy", "Do You Want It", "Straight To The Skyline", "My Only Love", "Setia", "Napasku", dan "Inginku".

Digarap selama empat tahun, album tersebut merupakan cerita Nicky tentang peristiwa musikal dalam kehidupannya ketika memutuskan meninggalkan Belanda untuk berkarir di Jakarta, dimana ia kemudian berkenalan, main musik dan masuk dapur rekaman bersama musisi-musisi kenamaan seperti Glenn Fredly, Andre Hehanusa, Tompi, Barry Likumahuwa dan Idang Rasjidi.

Untuk menambah warna pada albumnya, ia juga berkolaborasi dengan sejumlah musisi termasuk penyanyi Matthew Sayers pada lagu "Napasku", band Soulmate untuk lagu "Setia", dan OLP dalam "Inginku".

Lahir di Vaught, Belanda tahun 1978, putra bungsu pasangan Dicky Manuputty dan Hanna Kiriweno ini mulai mengenal saksofon saat menginjak usia delapan tahun. Darah musik dala tubuhnyaa kemungkinan besar mengalir dari sang ayah, yang juga peniup saksofon sebuah band.

Setelah belajar lebih dari lima tahun di sebuah sekolah musik,ia pindah ke Amsterdam dan memulai karirnya sebagai musisi dan banyak tampil dengan disc-jockey terkenal semacam DJ Denniz, DJ Roog, DJ Robert Feelgood. Namun, hal paling membanggakan bagi Nicky terjadi pada 1998, ketika ia tampil di hadapan lebih dari 100.000 penonton yang menghadiri acara tahunan "Fast Forward Dance Parade".

Empat tahun kemudian, tepatnya pada 2002, ia bergabung dengan kelompok penyanyi wanita, Do (Dominique Verhulst) yang terkenal dengan lagu "Heaven", dan selama tiga tahun ikut konser keliling mereka.

'Tahun 2005 baru saya memutuskan pindah ke Jakarta, Jadi sampai saat ini sudah enam tahun," demikian Nicky Manuputty, yang sejauh ini sudah empat kali tampil di Ambon, dua kali di ajang Ambon Jazz Plus dan dua kali dalam konser yang digagas yayasan Ruma Beta.

Selain di Teater Tertutup Taman Budaya Karang Panjang, Nicky Manuputty tahun lalu juga tampil dalam pertunjukan musik ala lesehan di Hotel Tirta, Amahusu, Nusaniwe.

Lalu, akankah nada-nada cantik dan suasana akrab bersama Nicky kembali bisa dinikmati oleh para pencinta musik di kota Ambon? Semua itu tentu tergantung pada kesediaan pengelola Ruma Beta mendukung janji sang saksofonis untuk membuka klinik musik di kota ini.

Pewarta: ANTARA

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2012