Ambon (Antara Maluku) - Pemerintah Kabupaten Buru harus lebih proaktif melakukan koordinasi dengan Pemprov Maluku untuk mendapatkan izin penambangan emas secara resmi dari pemerintah pusat, kata seorang anggota DPRD Maluku.
"Selama ini yang dilakukan masyarakat hanyalah kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti) dan retribusi masuk ke lokasi tambang dibayarkan kepada warga pemilik lahan, sehingga kami sudah sampaikan ke Pemkab Buru untuk berkoordinasi dengan Pemprov," kata anggota DPRD Maluku, Sudarmo bin Yasin di Ambon, Kamis.
Dalam Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang penambangan mengatur kegiatan tambang yang dikelola baik oleh penambangan rakyat lewat izin resmi yang biasa disebut Izin Penambangan Rakyat (IPR).
Sedangkan aktivitas pendulangan emas oleh masyarakat dari berbagai daerah yang datang ke Pulau Buru selama ini tidak mengantongi IPR.
Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, untuk mendapatkan IPR maka perlu ada wilayah usaha penambangan terlebih dahulu yang biasanya dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, setelah Pemkab Buru dan Pemkab Maluku melakukan koordinasi dan mengajukan usulan ke pusat.
Pascabentrokan antara para penambang di kawasan Gunung Botak, Desa Wamsait di Kecamatan Waeapo pada 15 Mei 2012, Bupati Buru, Ramly Umasugy telah mengeluarkan instruksi untuk menutup aktivitas penambangan selama tiga bulan ke depan.
"Pemkab Buru saat ini sudah mulai berkoordinasi untuk rencana pengusulan wilayah penambangan, dan kalau luas lahannya lebih dari 50 hektar maka harus ada perusahaan atau pihak ketiga yang dilibatkan untuk mengelolanya," kata Sudarmo.
Sedangkan luas wilayah penambangan di Kabupaten Buru belum diketahui pasti tapi diinformasikan mencapai lebih dari 100 hektare lebih, tidak hanya di sekitar kawasan Gunung Botak tapi tersebar di lokasi lainnya.
"Inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah kabupaten untuk berkoordinasi dengan pemprov secara proaktif agar sama-sama berjuang mendapatkan izin dari pemerintah pusat agar ada pembagian secara jelas wilayah mana yang masuk penambangan rakyat dan mana jadi yang ditangani pihak ketiga," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2012
"Selama ini yang dilakukan masyarakat hanyalah kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti) dan retribusi masuk ke lokasi tambang dibayarkan kepada warga pemilik lahan, sehingga kami sudah sampaikan ke Pemkab Buru untuk berkoordinasi dengan Pemprov," kata anggota DPRD Maluku, Sudarmo bin Yasin di Ambon, Kamis.
Dalam Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang penambangan mengatur kegiatan tambang yang dikelola baik oleh penambangan rakyat lewat izin resmi yang biasa disebut Izin Penambangan Rakyat (IPR).
Sedangkan aktivitas pendulangan emas oleh masyarakat dari berbagai daerah yang datang ke Pulau Buru selama ini tidak mengantongi IPR.
Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, untuk mendapatkan IPR maka perlu ada wilayah usaha penambangan terlebih dahulu yang biasanya dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, setelah Pemkab Buru dan Pemkab Maluku melakukan koordinasi dan mengajukan usulan ke pusat.
Pascabentrokan antara para penambang di kawasan Gunung Botak, Desa Wamsait di Kecamatan Waeapo pada 15 Mei 2012, Bupati Buru, Ramly Umasugy telah mengeluarkan instruksi untuk menutup aktivitas penambangan selama tiga bulan ke depan.
"Pemkab Buru saat ini sudah mulai berkoordinasi untuk rencana pengusulan wilayah penambangan, dan kalau luas lahannya lebih dari 50 hektar maka harus ada perusahaan atau pihak ketiga yang dilibatkan untuk mengelolanya," kata Sudarmo.
Sedangkan luas wilayah penambangan di Kabupaten Buru belum diketahui pasti tapi diinformasikan mencapai lebih dari 100 hektare lebih, tidak hanya di sekitar kawasan Gunung Botak tapi tersebar di lokasi lainnya.
"Inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah kabupaten untuk berkoordinasi dengan pemprov secara proaktif agar sama-sama berjuang mendapatkan izin dari pemerintah pusat agar ada pembagian secara jelas wilayah mana yang masuk penambangan rakyat dan mana jadi yang ditangani pihak ketiga," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2012