Demam berdarah dengue di Indonesia masih menjadi ancaman kesehatan serius yang perlu ditangani, dengan kasus rata-rata 74.000 hingga 140 ribu per tahun.
Kementerian Kesehatan RI melaporkan insiden kematian akibat dengue terbanyak menyasar kelompok umur pada rentang usia 5--14 tahun dengan laju kasus rata-rata per tahun berkisar 50--60 persen. Selain itu, masih banyak kejadian luar biasa (KLB) yang dilaporkan oleh berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Barat.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kemenkes RI melaporkan laju kasus DBD pada Januari hingga November 2023 mencapai 76.449 pasien dengan 571 kasus kematian.
Angka tersebut sebetulnya berhasil ditekan hingga separuh dari capaian kasus di 2022 sebanyak 143.300 pasien dengan 1.236 kematian, berkat intervensi yang kini berjalan seperti pengasapan, larvasida, pemakaian kelambu, 3M plus, hingga Gerakan Satu Rumah Satu Jumatik.
Namun metode konvensional tersebut belum optimal menekan laju kasus yang disebabkan gigitan nyamuk Aedes aegypti. Salah satunya metode pengasapan yang cenderung memicu kekebalan nyamuk jika dilakukan dalam dosis yang berlebihan.
Untuk itu, masih diperlukan alternatif inovasi guna mencegah dan mengendalikan dengue hingga level kasus terendah di Indonesia, sekaligus mempercepat target eliminasi DBD pada tahun 2030.
Salah satu bentuk inovasi terbaru yang kini hadir Indonesia berupa bakteri Wolbachia yang disuntikkan ke dalam sel di tubuh nyamuk Aedes aegypti. Inovasi itu terbukti efektif menekan laju kasus dengue di 14 negara, di antaranya Brazil, Australia, dan Singapura.
Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM Adi Utarini menyebut bakteri Wolbachia kali pertama ditemukan pada jaringan reproduksi nyamuk Culex pipens oleh Hertig dan Wolbach pada tahun 1924 dan spesies tersebut kemudian diberi nama Wolbachia Pipientis.
Inovasi nyamuk ber-Wolbachia telah melalui proses penelitian panjang di Indonesia, yakni sejak 2011, mulai dari uji perangkap nyamuk di rumah warga hingga memperoleh rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Wolbachia terdapat dalam tubuh enam dari 10 jenis serangga di dunia, termasuk kupu-kupu, lalat buah, dan lebah. Penelitian di Yogyakarta pada 2012 di lima dusun, meliputi area residensi dan area agrikultur di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa Wolbachia Pipientis ditemukan pada 44,9 persen serangga seperti kupu-kupu, ngengat, nyamuk, dan lalat.
Penelitian itu juga membuktikan bahwa bakteri Wolbachia tidak menginfeksi manusia atau vertebrata yang lain dan tidak menyebabkan manusia atau hewan menjadi sakit, sebab Wolbachia merupakan endosimbion obligat yang hanya bisa hidup di dalam sel organisme hidup serangga.
Wolbachia juga terbukti secara penelitian mampu menurunkan replikasi virus dengue di nyamuk Aedes aegypti, sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk tersebut sebagai vektor dengue. Mekanisme kerja yang utama adalah melalui kompetisi makanan antara virus dan bakteri, dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, maka virus dengue tidak dapat berkembang biak.
Cara kerja
Penelitian Wolbachia yang dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Monash University Australia melalui pendanaan Yayasan Tahija membuktikan penurunan 77,1 persen kasus dengue dan penurunan 86,2 persen rawat inap di Yogyakarta.
Lantas, bagaimana nyamuk ber-Wolbachia digunakan untuk mengendalikan dengue?
Adi Utarini mengungkap hasil penelitian bahwa bakteri Wolbachia di dalam sel Aedes aegypti akan menyebabkan virus dengue pada nyamuk tidak berkembang sehingga tidak mampu menularkan penyakit demam berdarah ke manusia yang terkena gigitan.
Terdapat tiga transmisi Wolbachia pada nyamuk Aedes aegypti. Pertama, terjadi saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-Wolbachia sehingga penetasan telur menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia.
Kedua, nyamuk jantan tak ber-Wolbachia kawin dengan betina ber-Wolbachia sehingga tetasan telur menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia. Ketiga, terjadi saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan betina tidak ber-Wolbachia sehingga telur tidak akan menetas.
Wolbachia dianggap mampu membendung penularan virus dengue karena memiliki kemampuan berkompetisi makanan antara virus dan bakteri di dalam sel nyamuk, dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, maka virus dengue tidak dapat berkembang biak.
Metode pelepasan nyamuk ber-Wolbachia dilakukan menggunakan ember berisi air bersih yang tersimpan 250 hingga 300 telur nyamuk dengan angka penetasan telur sekitar 90 persen. Setiap ember diletakkan pada jarak 75 meter per segi.
Jumlah ember berisi telur nyamuk minimal harus mencapai 10 persen dari populasi Aedes aegypti di daerah tersebut dan penyebarannya dilakukan sebanyak 12 kali. Satu kali penyebaran diasumsikan hanya 1 persen dari populasi nyamuk.
Di Kota Yogyakarta, penerapan nyamuk ber-Wolbachia sudah berlangsung lebih dari 10 tahun dan lebih dari 1,5 juta orang hidup di wilayah yang sudah mendapatkan persebaran nyamuk ber-Wolbachia. Sampai saat ini tidak ada bukti ilmiah berbahaya bagi lingkungan, manusia, atau kesehatan hewan.
Evaluasi dan kajian risiko juga sudah dilakukan, hasilnya metode dan manfaat Wolbachia dapat diperluas guna membantu melindungi jutaan orang di Indonesia dari demam berdarah.
Keamanan
Atas dasar penelitian ilmiah dan hasil yang menjanjikan itu, Kemenkes kemudian menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1341 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue melalui Wolbachia, sebagai salah satu inovasi strategi pengendalian yang telah masuk dalam strategi nasional (stranas) sebagai inovasi penanggulanganan dengue yang dilaksanakan di lima kota yaitu Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang dan Bontang.
Teknologi ini pada prinsipnya memanfaatkan bakteri alami Wolbachia yang banyak ditemukan pada 60 persen serangga. Bakteri itu selanjutnya dimasukkan dalam nyamuk Aedes aegypti, hingga menetas dan menghasilkan nyamuk aedes ber-wolbachia. Dengan demikian, perlahan populasi Aedes aegypti berkurang dan berganti menjadi nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia.
Bila menggigit, nyamuk tersebut tidak akan menularkan virus demam berdarah kepada manusia. Sebab, perkembangan virus dengue tersebut berhasil dihambat oleh bakteri Wolbachia.
Aspek keamanan
Kemenkes bersama 25 peneliti Indonesia telah memastikan inovasi Wolbachia terbukti aman berdasarkan kajian analisis risiko serta hasil efektivitas dari uji coba. Hasil analisis tersebut kemudian dilaporkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) hingga akhirnya pada tahun 2021 nyamuk ber-Wolbachia direkomendasikan oleh WHO.
Peneliti nyamuk dengan bakteri Wolbachia di Pusat Kedokteran Tropis Universitas UGM Riris Andono Ahmad membantah kabar inovasi Wolbachia merupakan hasil rekayasa genetik yang berpotensi memicu penyakit baru bagi lingkungan, hewan, dan manusia.
Inovasi tersebut diyakini Riris tidak akan memicu perubahan genetik dari bakteri Wolbachia di sel serangga, maupun pada nyamuknya, sebab bakteri yang dimasukkan hingga ke dalam sel di tubuh Aedes aegypti identik dengan Wolbachia.
"Analoginya, bakteri Wolbachia ada di banyak serangga kemudian dimasukkan ke dalam nyamuk Aedes aegypti. Itu mirip kita konsumsi bakteri seperti susu probiotik. Begitu bakteri diminum masuk dalam tubuh kita, tidak jadi manusia rekayasa genetik," katanya.
Bakteri tersebut hanya bisa hidup di dalam sel serangga sehingga bila dia keluar dari inangnya, dipastikan mati.
Mempertimbangkan hasil yang baik tersebut, Kementerian Kesehatan selanjutnya memutuskan untuk memperluas area penyebaran nyamuk Wolbachia di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang.
Kendati telah menunjukkan hasil yang baik, pelaksanaan nyamuk ber-Wolbachia tetap memerlukan monitoring dan evaluasi secara berkala guna mengetahui perkembangan dari penyebaran nyamuk tersebut.
Kemenkes telah mengeluarkan Buku Pedoman Penanggulangan Dengue dengan metode nyamuk ber-Wolbachia di lima kota tersebut untuk memastikan implementasi Wolbachia berjalan baik sesuai dengan penelitian di Yogyakarta.
Merujuk pada data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2023, kasus demam berdarah tercatat hanya di angka 67 kasus. Jumlah ini merupakan yang terendah selama 30 tahun terakhir.
Selain menurunkan angka kejadian dengue, penyebaran nyamuk ber-Wolbachia disebut juga berhasil menekan anggaran penanganan dengue Kota Yogyakarta.
Salah satu anggaran yang dapat ditekan adalah pembiayaan untuk pengasapan. Pada 2022 pengasapan mencapai 200 kali, namun pada tahun 2023 (Oktober) baru sembilan kali.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Efektivitas nyamuk ber-Wolbachia menekan dengue
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2023
Kementerian Kesehatan RI melaporkan insiden kematian akibat dengue terbanyak menyasar kelompok umur pada rentang usia 5--14 tahun dengan laju kasus rata-rata per tahun berkisar 50--60 persen. Selain itu, masih banyak kejadian luar biasa (KLB) yang dilaporkan oleh berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Barat.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kemenkes RI melaporkan laju kasus DBD pada Januari hingga November 2023 mencapai 76.449 pasien dengan 571 kasus kematian.
Angka tersebut sebetulnya berhasil ditekan hingga separuh dari capaian kasus di 2022 sebanyak 143.300 pasien dengan 1.236 kematian, berkat intervensi yang kini berjalan seperti pengasapan, larvasida, pemakaian kelambu, 3M plus, hingga Gerakan Satu Rumah Satu Jumatik.
Namun metode konvensional tersebut belum optimal menekan laju kasus yang disebabkan gigitan nyamuk Aedes aegypti. Salah satunya metode pengasapan yang cenderung memicu kekebalan nyamuk jika dilakukan dalam dosis yang berlebihan.
Untuk itu, masih diperlukan alternatif inovasi guna mencegah dan mengendalikan dengue hingga level kasus terendah di Indonesia, sekaligus mempercepat target eliminasi DBD pada tahun 2030.
Salah satu bentuk inovasi terbaru yang kini hadir Indonesia berupa bakteri Wolbachia yang disuntikkan ke dalam sel di tubuh nyamuk Aedes aegypti. Inovasi itu terbukti efektif menekan laju kasus dengue di 14 negara, di antaranya Brazil, Australia, dan Singapura.
Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM Adi Utarini menyebut bakteri Wolbachia kali pertama ditemukan pada jaringan reproduksi nyamuk Culex pipens oleh Hertig dan Wolbach pada tahun 1924 dan spesies tersebut kemudian diberi nama Wolbachia Pipientis.
Inovasi nyamuk ber-Wolbachia telah melalui proses penelitian panjang di Indonesia, yakni sejak 2011, mulai dari uji perangkap nyamuk di rumah warga hingga memperoleh rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Wolbachia terdapat dalam tubuh enam dari 10 jenis serangga di dunia, termasuk kupu-kupu, lalat buah, dan lebah. Penelitian di Yogyakarta pada 2012 di lima dusun, meliputi area residensi dan area agrikultur di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa Wolbachia Pipientis ditemukan pada 44,9 persen serangga seperti kupu-kupu, ngengat, nyamuk, dan lalat.
Penelitian itu juga membuktikan bahwa bakteri Wolbachia tidak menginfeksi manusia atau vertebrata yang lain dan tidak menyebabkan manusia atau hewan menjadi sakit, sebab Wolbachia merupakan endosimbion obligat yang hanya bisa hidup di dalam sel organisme hidup serangga.
Wolbachia juga terbukti secara penelitian mampu menurunkan replikasi virus dengue di nyamuk Aedes aegypti, sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk tersebut sebagai vektor dengue. Mekanisme kerja yang utama adalah melalui kompetisi makanan antara virus dan bakteri, dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, maka virus dengue tidak dapat berkembang biak.
Cara kerja
Penelitian Wolbachia yang dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Monash University Australia melalui pendanaan Yayasan Tahija membuktikan penurunan 77,1 persen kasus dengue dan penurunan 86,2 persen rawat inap di Yogyakarta.
Lantas, bagaimana nyamuk ber-Wolbachia digunakan untuk mengendalikan dengue?
Adi Utarini mengungkap hasil penelitian bahwa bakteri Wolbachia di dalam sel Aedes aegypti akan menyebabkan virus dengue pada nyamuk tidak berkembang sehingga tidak mampu menularkan penyakit demam berdarah ke manusia yang terkena gigitan.
Terdapat tiga transmisi Wolbachia pada nyamuk Aedes aegypti. Pertama, terjadi saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan nyamuk betina ber-Wolbachia sehingga penetasan telur menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia.
Kedua, nyamuk jantan tak ber-Wolbachia kawin dengan betina ber-Wolbachia sehingga tetasan telur menghasilkan nyamuk ber-Wolbachia. Ketiga, terjadi saat nyamuk jantan ber-Wolbachia kawin dengan betina tidak ber-Wolbachia sehingga telur tidak akan menetas.
Wolbachia dianggap mampu membendung penularan virus dengue karena memiliki kemampuan berkompetisi makanan antara virus dan bakteri di dalam sel nyamuk, dengan sedikitnya makanan yang bisa menghidupi virus, maka virus dengue tidak dapat berkembang biak.
Metode pelepasan nyamuk ber-Wolbachia dilakukan menggunakan ember berisi air bersih yang tersimpan 250 hingga 300 telur nyamuk dengan angka penetasan telur sekitar 90 persen. Setiap ember diletakkan pada jarak 75 meter per segi.
Jumlah ember berisi telur nyamuk minimal harus mencapai 10 persen dari populasi Aedes aegypti di daerah tersebut dan penyebarannya dilakukan sebanyak 12 kali. Satu kali penyebaran diasumsikan hanya 1 persen dari populasi nyamuk.
Di Kota Yogyakarta, penerapan nyamuk ber-Wolbachia sudah berlangsung lebih dari 10 tahun dan lebih dari 1,5 juta orang hidup di wilayah yang sudah mendapatkan persebaran nyamuk ber-Wolbachia. Sampai saat ini tidak ada bukti ilmiah berbahaya bagi lingkungan, manusia, atau kesehatan hewan.
Evaluasi dan kajian risiko juga sudah dilakukan, hasilnya metode dan manfaat Wolbachia dapat diperluas guna membantu melindungi jutaan orang di Indonesia dari demam berdarah.
Keamanan
Atas dasar penelitian ilmiah dan hasil yang menjanjikan itu, Kemenkes kemudian menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1341 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Penanggulangan Dengue melalui Wolbachia, sebagai salah satu inovasi strategi pengendalian yang telah masuk dalam strategi nasional (stranas) sebagai inovasi penanggulanganan dengue yang dilaksanakan di lima kota yaitu Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang dan Bontang.
Teknologi ini pada prinsipnya memanfaatkan bakteri alami Wolbachia yang banyak ditemukan pada 60 persen serangga. Bakteri itu selanjutnya dimasukkan dalam nyamuk Aedes aegypti, hingga menetas dan menghasilkan nyamuk aedes ber-wolbachia. Dengan demikian, perlahan populasi Aedes aegypti berkurang dan berganti menjadi nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia.
Bila menggigit, nyamuk tersebut tidak akan menularkan virus demam berdarah kepada manusia. Sebab, perkembangan virus dengue tersebut berhasil dihambat oleh bakteri Wolbachia.
Aspek keamanan
Kemenkes bersama 25 peneliti Indonesia telah memastikan inovasi Wolbachia terbukti aman berdasarkan kajian analisis risiko serta hasil efektivitas dari uji coba. Hasil analisis tersebut kemudian dilaporkan ke Badan Kesehatan Dunia (WHO) hingga akhirnya pada tahun 2021 nyamuk ber-Wolbachia direkomendasikan oleh WHO.
Peneliti nyamuk dengan bakteri Wolbachia di Pusat Kedokteran Tropis Universitas UGM Riris Andono Ahmad membantah kabar inovasi Wolbachia merupakan hasil rekayasa genetik yang berpotensi memicu penyakit baru bagi lingkungan, hewan, dan manusia.
Inovasi tersebut diyakini Riris tidak akan memicu perubahan genetik dari bakteri Wolbachia di sel serangga, maupun pada nyamuknya, sebab bakteri yang dimasukkan hingga ke dalam sel di tubuh Aedes aegypti identik dengan Wolbachia.
"Analoginya, bakteri Wolbachia ada di banyak serangga kemudian dimasukkan ke dalam nyamuk Aedes aegypti. Itu mirip kita konsumsi bakteri seperti susu probiotik. Begitu bakteri diminum masuk dalam tubuh kita, tidak jadi manusia rekayasa genetik," katanya.
Bakteri tersebut hanya bisa hidup di dalam sel serangga sehingga bila dia keluar dari inangnya, dipastikan mati.
Mempertimbangkan hasil yang baik tersebut, Kementerian Kesehatan selanjutnya memutuskan untuk memperluas area penyebaran nyamuk Wolbachia di Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Bontang, dan Kupang.
Kendati telah menunjukkan hasil yang baik, pelaksanaan nyamuk ber-Wolbachia tetap memerlukan monitoring dan evaluasi secara berkala guna mengetahui perkembangan dari penyebaran nyamuk tersebut.
Kemenkes telah mengeluarkan Buku Pedoman Penanggulangan Dengue dengan metode nyamuk ber-Wolbachia di lima kota tersebut untuk memastikan implementasi Wolbachia berjalan baik sesuai dengan penelitian di Yogyakarta.
Merujuk pada data Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta tahun 2023, kasus demam berdarah tercatat hanya di angka 67 kasus. Jumlah ini merupakan yang terendah selama 30 tahun terakhir.
Selain menurunkan angka kejadian dengue, penyebaran nyamuk ber-Wolbachia disebut juga berhasil menekan anggaran penanganan dengue Kota Yogyakarta.
Salah satu anggaran yang dapat ditekan adalah pembiayaan untuk pengasapan. Pada 2022 pengasapan mencapai 200 kali, namun pada tahun 2023 (Oktober) baru sembilan kali.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Efektivitas nyamuk ber-Wolbachia menekan dengue
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2023