Ambon, 12/5 (Antara) - Pencairan dana Bantuan Tak Terduga (BTT) Kabupaten Seram Bagian Barat tahun anggaran 2013 sebanyak dua kali hingga mencapai Rp1 miliar lebih dilakukan atas perintah Bupati Yacobus Puttileihalat secara paksa, kata terdakwa kasus dugaan korupsi dana tersebut.
"Saat itu saya dipanggil bupati dan diperintahkan mencairkan dana BTT tapi saya tolak karena syaratnya harus ada bencana alam dan perlu ada proposal baru dapat dicairkan," kata terdakwa Rony Rumaratu di Ambon, Jumat.
Penjelasan Rony disampaikan dalam persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim Tipikor pada Kantor Pengadilan Negeri Ambon, R.A Didi Ismiatun, didampingi Jimmy Wally dan Hery Leliantono selaku hakim anggota dengan agenda pemeriksaan terdakwa.
Rony adalah Plt Kepala Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Kabupaten SBB sekaligus ketua tim anggaran Bendahara Daerah dan KPA yang dijadikan terdakwa kasus dugaan korupsi dana BTT tahun anggaran 2013 senilai Rp1 miliar lebih.
"Meski pun saya menolak tetapi bupati marah-marah dan perintahkan dicairkan saja anggarannya karena beliau akan berangkat ke Jakarta," jelas terdakwa menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum Kejati Maluku, Rolly Manampiring dan Irkham Ohoiulun.
Bahkan dirinya nyaris dilempari oleh bupati saat itu dengan menggunakan asbak rokok akibat tidak bersedia mencairkan dana BTT yang diperintahkan Yacobis Puttileihalat.
Kemudian dalam pencarian dana BTT tahap kedua senilai Rp500 juta, terdakwa mengaku kembali dipaksa Bupati untuk segera menerbitkan SP2D dan dokumen pendukung lainnya seperti SPP dan SPM untuk dicairkan bendahara.
Sebelum anggarannya dicairkan, dokumen pencairan ini harus diverifikasi tetapi bisa diloloskan karena sudah ada tanda khusus yang berarti diperintahkan bupati agar dananya bisa diambil di PT. Bank Maluku-Malut Cabang Piru.
"Saya bersama Kepala PT. BM-Malut Cabang Piru mencairkan dana tersebut dan Rp300 juta diserahkan ke bupati melalui ajudannya saat itu, Wody Timisela, kemudian kepala bank juga sempat mengambil jatahnya dari uang dimaksud," ujar terdakwa.
Hingga akhir tahun anggaran, BPK RI Perwakilan Provinsi Maluku melakukan audit dan menemukan adanya unsur kerugian keuangan negara akibat penggunaan dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp900 juta dari anggaran BTT dimaksud.
BPK juga mengeluarkan rekomendasi yang meminta bupati atas kewenangannya memberikan sanksi administrasi kepada terdakwa dan harus mengembalikan dana Rp990 juta, tetapi sampai saat ini belum dilakukan.
Tidak semua dana BTT yang cair diserahkan kepada bupati, karena ada Rp50 juta yang diserahkan kepada Camat Elaputih untuk menyelesaikan bentrokan warga Sepa dan Latu, dan Rp50 juta lainnya membiayai aparat keamanan terkait aksi demo warga di Kabupaten SBB.
Majelis hakim menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda pembacaan tuntutan jaksa penuntut umum.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017
"Saat itu saya dipanggil bupati dan diperintahkan mencairkan dana BTT tapi saya tolak karena syaratnya harus ada bencana alam dan perlu ada proposal baru dapat dicairkan," kata terdakwa Rony Rumaratu di Ambon, Jumat.
Penjelasan Rony disampaikan dalam persidangan dipimpin Ketua Majelis Hakim Tipikor pada Kantor Pengadilan Negeri Ambon, R.A Didi Ismiatun, didampingi Jimmy Wally dan Hery Leliantono selaku hakim anggota dengan agenda pemeriksaan terdakwa.
Rony adalah Plt Kepala Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Kabupaten SBB sekaligus ketua tim anggaran Bendahara Daerah dan KPA yang dijadikan terdakwa kasus dugaan korupsi dana BTT tahun anggaran 2013 senilai Rp1 miliar lebih.
"Meski pun saya menolak tetapi bupati marah-marah dan perintahkan dicairkan saja anggarannya karena beliau akan berangkat ke Jakarta," jelas terdakwa menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum Kejati Maluku, Rolly Manampiring dan Irkham Ohoiulun.
Bahkan dirinya nyaris dilempari oleh bupati saat itu dengan menggunakan asbak rokok akibat tidak bersedia mencairkan dana BTT yang diperintahkan Yacobis Puttileihalat.
Kemudian dalam pencarian dana BTT tahap kedua senilai Rp500 juta, terdakwa mengaku kembali dipaksa Bupati untuk segera menerbitkan SP2D dan dokumen pendukung lainnya seperti SPP dan SPM untuk dicairkan bendahara.
Sebelum anggarannya dicairkan, dokumen pencairan ini harus diverifikasi tetapi bisa diloloskan karena sudah ada tanda khusus yang berarti diperintahkan bupati agar dananya bisa diambil di PT. Bank Maluku-Malut Cabang Piru.
"Saya bersama Kepala PT. BM-Malut Cabang Piru mencairkan dana tersebut dan Rp300 juta diserahkan ke bupati melalui ajudannya saat itu, Wody Timisela, kemudian kepala bank juga sempat mengambil jatahnya dari uang dimaksud," ujar terdakwa.
Hingga akhir tahun anggaran, BPK RI Perwakilan Provinsi Maluku melakukan audit dan menemukan adanya unsur kerugian keuangan negara akibat penggunaan dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp900 juta dari anggaran BTT dimaksud.
BPK juga mengeluarkan rekomendasi yang meminta bupati atas kewenangannya memberikan sanksi administrasi kepada terdakwa dan harus mengembalikan dana Rp990 juta, tetapi sampai saat ini belum dilakukan.
Tidak semua dana BTT yang cair diserahkan kepada bupati, karena ada Rp50 juta yang diserahkan kepada Camat Elaputih untuk menyelesaikan bentrokan warga Sepa dan Latu, dan Rp50 juta lainnya membiayai aparat keamanan terkait aksi demo warga di Kabupaten SBB.
Majelis hakim menunda persidangan hingga pekan depan dengan agenda pembacaan tuntutan jaksa penuntut umum.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017