Ambon, 18/3 (Antaranews Maluku) - Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo menegaskan, penanganan kasus penambangan emas liar di kawasan Gunung Botak, Pulau Buru, provinsi Maluku yang berdampak menimbulkan pencemaran lingkungan menjadi "domain" pemerintah pusat.

"Masalah tambang emas ilegal di Pulau Buru yang dilaporkan pemanfaatannya menggunakan bahan beracun dan berbahaya, menjadi domain pemerintah Pusat dan segera ditangani hingga tuntas," kata Bambang Soesatyo saat berbicara pada press gathering Koordinatoriat Wartawan Parlemen dan Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR, di Ambon, Sabtu.

Saat menjawab pertanyaan wartawan, Bambang menegaskan, masalah pencemaran lingkungan akibat penggunaan merkuri dan sianida sudah tidak bisa lagi ditangani oleh Pemerintah Provinsi Maluku maupun pemerintah kabupaten Buru.

"Soal dilema Pulau Buru ini sudah menjadi bahan pertimbangan untuk dibahas lintas Kementerian. Ini domain pemerintah Pusat. Tidak bisa lagi dibebankan kepada pemerintah daerah," katanya.

Bambang yang akrab disapa "Bamsoet" menegaskan, masalah pencemaran lingkungan yang terjadi di Pulau bekas pembuangan eks tahanan politik (Tapol) dan narapidana politik (Napol) G30S/ PKI sejak 1968 menjadi tanggung jawab besar pemerintah pusat untuk diselesaikan, sehingga tidak menimbulkan preseden buruk di masa mendatang.

"Sekembalinya saya dari Ambon akan segera menggelar rapat terbatas lintas kementerian untuk membahas masalah ini, sehingga tidak berkembang seperti kasus `Minamata" di Jepang pada 1958," katanya.

Semumlah Kementerian terkait, ujarnya, akan diundang untuk membicarakan sekaligus membahas dan mencari solusi penanganan masalah pencemaran lingkungan akibat penambangan ilegal di Pulau Buru tersebut.

Dia menegaskan, terjadinya kasus pencemaran lingkungan yang dilaporkan berbagai pihak tersebut disebabkan kurang tegasnya aparat pemerintah pelakukan penindakan di lapangan dan terkesan melakukan pembiaran.

Bamsoet juga menegaskan, akan menugaskan Komisi IV dan Komisi II DPR-RI untuk me ngawal penyelesaian masalah pencemaran lingkungan akibat penggunaan mercuri dan sianida dalam kasus penambangan ilegal di Pulau bekas tempat pembuangan novelis Pramoedya Ananta Toer pada 1965.

"Masalah pencemaran lingkungan di Pulau Buru yang penuh dengan sejarah perjuangan bangsa dan negara ini akan disikapi dan ditangani hingga tuntas, sehingga tidak menimbulkan masalah baru yang lebih burku dan merugikan masyarakat di masa mendatang," tandasnya.


Tim Terpadu

Sebelumnya Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Maluku, Zeth Sahuburua menyatakan, penanganan aktivitas penambangan emas liar di kawasan Gunung Botak, kabupaten Buru menunggu rekomendasi tim terpadu yang telah melakukan pengkajian pada 2 Maret 2018.

"Tim terpadu yang dikoordinir Menko Polhukham, Wiranto nantinya yang memutuskan waktu untuk menyepakati langkah penanganan penambangan emas liar di Jakarta setelah hasil kajian rampung," katanya, dikonfirmasi, Jumat.

Rekomendasi tim terpadu yang menjadi dasar bagi penambangan emas liar di kawasan Gunung Botak sebenarnya telah diinstruksikan Presiden, Joko Widodo ditutup sejak 24 Februari 2017.

"Kami membutuhkan payung hukum untuk penanganan dengan memperhatikan berbagai pertimbangan dari sejumlah lembaga berkompeten terkait masalah lingkungan lainnya," ujar Zeth.

Dia mengakui, sejumlah komponen pemuda asal kabupaten Buru menemuinya di Ambon pada 8 Maret 2018 yang mendesak aktivitas penambangan emas liar di kawasan Gunung Botak harus ditutup karena pemanfaatan sianida dan merkuri mengancam ekosistem lingkungan maupun kesehatan masyarakat.

"Saya sudah menjelaskan langkah - langkah ditempuh pemerintah, baik pusat maupun daerah dengan melibatkan TNI/Polri dikoordinir Menko Polhukham," kata Zeth.

Dia memprihatinkan pengolahan emas di Gunung Botak melalui sistem rendaman itu memanfaatkan bahan kimia asam sianida, merkuri, castik dan cairan H02 di sungai Anahoni dengan para penambang dari luar Maluku.

"Saya dilaporkan Bupati Buru, Ramly Umasugi melaporkan saat ini lebih dari 13.000 penambang ilegal dari luar Maluku kembali melakukan aktivitas penambangan dengan sistem rendaman, dumping dan tambak larut menggunakan merkuri maupun sianida," tandas Zeth.

Sebelumnya, Kadis ESDM Maluku, Martha Nanlohy mengemukakan, transaksi bahan sianida maupun merkuri di lokasi penambangan emas Gunung Botak semakin marak.

"Bayangkan saja harga sianida saat ini dijual Rp3,5 juta/liter, menyusul sebelumnya hanya Rp1 juta/liter,"katanya.

Padahal, aktivitas penambangan tersebut telah ditutup personil Polisi maupun TNI-AD dibantu Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab Buru pada 15 Februari 2018.

"Susah untuk menutup aktivitas penambangan maupun penjualan sianida dan merkuri di kawasan Gunung Botak karena masih ada penambang di sana," ujar Martha.

Data yang dihimpun sebanyak 13.000 lebih penambang yang bekerja di kawasan Gunung Botak dan saat penyisiran yang sudah dilakukan sebanyak 25 kali dilanjutkan dengan penutupan, ternyata masih banyak penambang yang beroperasi di kawasan tersebut.

Pewarta: Jimmi Ayal

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018