Keberadaan minuman keras baik yang proses penyulingannya dibuat secara tradisional hingga yang berlabel dari hasil olahan pabrik dan bermerek di wilayah mana pun tidak sulit didapat.

Secara ekonomis, harga minuman keras (miras) bermerek di pasaran jauh lebih mahal dan penjualannya pada tempat-tempat tertentu berdasarkan regulasi pemerintah.

Namun di sisi lainnya, minuman keras tradisional Maluku yakni Sopi, yang berkembang lebih awal dan tua usianya ketimbang minuman keras pabrikan justru tidak mendapat tempat dalam regulasi pemerintah secara memadai.

"Banyak daerah di Maluku yang sudah sejak dulu dikenal sebagai penghasil miras tradisional jenis Sopi, tetapi sejauh ini belum ada regulasi yang mengaturnya," kata Ketua Komisi C DPRD Maluku, Anos Yermias.

Karena itu, DPRD berkeinginan untuk membuat regulasi berupa peraturan daerah yang khusus mengatur masalah produksi, peredaran, hingga masalah pajak bagi daerah sebagai sebuah payung hukum.

Dengan standar harga penjualan yang murah meriah dan terjangkau meski pun oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah, minuman keras tradisional lebih mudah didapatkan, meski penjualnya selalu "kucing-kucingan" dengan aparat keamanan.

Ironisnya lagi, persoalan konflik sosial seperti masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkelahian antarpemuda hingga antarkampung, karena mabuk justru yang dicap negatif adalah akibat konsumsi minuman keras tradisional.

Sementara minuman keras pabrikan yang berkadar alkahol rendah hingga minuman bermerek lainnya luput dari image buruk sebagai pemicu bencana.

"Kita baru melakukan uji publik dan tahapannya masih berlanjut sebab untuk sampai menjadi sebuah Perda itu prosesnya masih panjang," kata Anos.

Proses membuat perda miras tradisional memang mengalami kendala. Pada 2008 silam ada perda yang melarang peredarannya, tetapi kali ini DPRD mencoba membuat perda ini untuk memberikan kepastian sekaligus menjamin masyarakat yang memproduksi sopi.

Karena setelah melalui berbagai pertimbangan dan kajian, ternyata kalau sopi dibiarkan seperti ini juga pasti menjadi sumber pertikaian yang mengganggu ketertiban umum dan ketidaknyamanan.

Sebab berdasarkan laporan kamtibmas dari Kapolres Pulau Ambon dan PP Lease, angka kriminalitas tertinggi di Kota Ambon dan sekitarnya itu dipicu oleh orang yang mengonsumsi sopi.

"Kita perlu mencari ruang untuk mengatur sehingga sopi tidak bisa sporadis ada di mana-mana, dan kalau bisa diubah menjadi minuman khas Maluku yang berlabel maka perlu diatur secara baik, misalnya mengundang investor yang bisa mengolahnya menjadi komoditas lain," jelas Anos.

Dengan demikian, secara otomatis pemerintah bisa mengatur peredarannya dan tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kota Ambon tanpa batas seperti sekarang ini.



Produsen Sopi

Maluku Tengah misalnya, ada tiga wilayah produsen sopi pada tiga kecamatan berbeda sesuai laporan Polres Maluku Tengah pada saat komisi bersama-sama dengan Kantor Bea cukai kelas III A Ambon melakukan semacam sarasehan dan dilaporkan seperti itu.

Kemudian kalau perda yang sementara digodok ini pada waktunya ditetapkan maka akan diatur juga masalah peredarannya, misalnya untuk masyarakat dari Kabupaten Maluku Barat Daya tidak bisa lagi membawa sopi mereka di Pulau Ambon dan ini harus dikontrol.

Bila posisinya jelas beredar di wilayah tertentu maka investor yang mau mengelola miras ini menjadi komoditas minuman bermerek dengan kadar alkahol lebih kecil dan hanya bisa dibeli dari masyarakat pada tempat tertentu karena tidak bisa lagi membuka ruang dijual ke Ambon.

"Kita melakukan sesuatu dengan mempertimbangkan banyak hal agar tidak menimbulkan masalah baru karena bagaimana pun diakui atau tidak, penjualan sopi itu ada di mana-mana lalu mudah didapatkan serta terjangkau harganya dengan sistem penjualan selama 24 jam lalu ketika terjadi masalah, yang dipersoalkan adalah warga yang memproduksi sopi," jelas Anos.

Padahal yang jual sopi ini bukan orang yang datang dari luar tetapi juga orang di Ambon sendiri dan ada penadahnya.

"Jadi kami di Komisi C kenapa ikut memperjuangkannya, memang cukup berat karena terjadi pertentangan pendapat di mana-mana tetapi saya dalam tanggung jawab ini mencari gagasan baru sehingga sopi ini tidak sporadis menyebar di mana-mana dan perlu dikendalikan, karena yang namanya konflik selalu akan ada," katanya.

Maka niat Komisi C cuma satu, bagaimana melakukan sesuatu untuk mengatasi peredaran ini dengan membuat perda, sudah diuji publik tanggal 28 Oktober 2017 dan sampai saat ini masih meminta pendapat banyak pihak karena memang tidak gampang

Sopi ini, katanya, bukan sesuatu yang tabu, tetapi kenapa tidak bisa diperjuangkan menjadi sesuatu yang baik, maka otomatis akan berkontribusi bagi masyarakat dan daerah.

Kalau sudah berlabel, cukainya besar dan orang yang membelinya juga sama dengan miras lain yang dipajang pada tempat tertentu, contoh Arak Bali atau Cap Tikus dari Manado tidak dijual bebas.

"Sesuatu yang mahal itu tidak mudah dijangkau dan kita lagi mengupayakan supaya tidak ada korban seperti kasus miras oplosan di Jawa yang menewaskan banyak orang," ungkapnya.

Kalau sopi dikelola lebih profesional, lanjut dia, maka kualitasnya pasti lebih baik dari minuman keras lain.

Selanjutnya bila sopi sudah berlabel maka peredarannya bisa dibatasi sama seperti minuman beralkohol lain yang tidak jual bebas karena ada perda yang mengatur.

Mengenai zonasi peredarannya, secara teknis bisa diatur lewat pergub, perbub atau peraturan wali kota, tentang sopi tersebut.



Cari Masukan

Meski pun Polda Maluku dan jajarannya di bawah pimpinan Kapolda Irjen Pol Andap Budhi Revianto gencar melakukan razia dan menyita ribuan miras sopi, namun Polda juga menyetujui upaya melegalkan miras tradisional khas rakyat daerah ini.

"Sekarang ada ada produk dan masyarakat juga tidak rugi, kita siapkan dahulu dan rancangan ini akan dipaparkan kepada semua pihak untuk mendengar apa masukan dan solusinya akan kita paparkan ke pemda," tandas Kapolda.

Jenderal polisi berbintang dua ini menyatakan legalitas peredaran sopi secara terbatas dan akan diolah menjadi minuman berlabel nanti akan dibicarakan dan sekarang masih pada tataran implementatif di mana Polda berkoordinasi dengan pihak terkait.

"Memang untuk saat ini belum ada peraturannya sehingga saya tugaskan staf untuk koordinasi dengan Pengadilan Tinggi Ambon dan mencari yurisprudensi di beberapa tempat lain agar bisa digunakan," jelas Kapolda.

Sebut saja UU yang mengatur tentang pangan misalnya bisa digunakan untuk penanganan terhadap sopi ini, dan polisi tetap akan bertindak tegas untuk melaksanakan penegakan hukum.

Sementara Direktur Resnarkoba Polda Maluku, Kombes Pol Thein Tabero mengatakan, masalah kriminalitas yang terjadi seperti perkelahian antarpemuda hingga konflik antardesa itu gara-gara minuman keras jenis sopi yang bebas edar dan harga terjangkau.

Namun Ditresnarkoba memiliki ide sejak beberapa tahun lalu guna melegalkan miras sopi agar bisa dikendalilkan sistem penjualan dan penetapan harganya, namun belum ada dukungan dari berbagai pihak.

"Sopi memang berbahaya, tetapi kami sudah ada ide bagaimana lewat produk ini bisa membuka lapangan pekerjaan dan menambah PAD untuk daerah, di mana sopi akan diproduksi dan dikemas lebih baik," ungkapnya.

Daerah lain seperti Bali atau Manado bisa mengemas minuman keras tradisional mereka menjadi minuman berlabel yang diekspor dan tidak dijual bebas di pasaran wilayah tersebut.

Hanya kemauan pemerintah bersama masyarakat yang bisa membuat sopi menjadi minuman berlabel yang diproduksi dan dijual ke luar negeri maupun yang dipakai untuk acara adat warga lokal.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018