Ambon, 24/10 (Antaranews Maluku) - Majelis hakim adhoc Perikanan Ambon menghukum La Wanci alias Labahama dan Erlin, dua terdakwa pengeboman ikan di Pantai Wayasel masing-masing selama sepuluh dan delapan bulan penjara.
"Kedua terdakwa juga dihukum membayar denda sebesar Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan dan menyatakan terdakwa tetap berada dalam ruang tahanan," kata ketua majelis hakim, Pasti Tarigan didampingi hakim adhoc perikanan, Muhammad Sakti dan Anda Ariansyah selaku hakim anggota di Ambon, Selasa.
Para terdakwa dihukum penjara dan membayar denda karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 84 junto pasal 8 ayat (1) Undang-Undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, Junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Yang memberatkan kedua terdakwa dihukum karena perbuatannya bisa mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan biota laut, sedangkan yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan serta belum pernah dihukum.
Labahama dan rekannya Erlin masing-masing dituntut hukuman penjara selama satu tahun dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh JPU Kejaksaan Tinggi Maluku, Rita Akollo.
Atas putusan tersebut, kedua terdakwa maupun jaksa penuntut umum menyatakan menerimanya.
Terdakwa Labahama dan rekannya Erlin ditangkap anggota Polri dari Dit Polair Polda Maluku pada tanggal 25 Agustus 2018 lalu di perairan Wayasel pada koordinat 03 derajat 32`215`S - 127 derajat 54`143`E.
Labahama yang menjadi terdakwa kasus pengeboman ikan di pantai Wayasel, Kecamatan Leihitu (Pulau Ambon) Kabupaten Maluku Tengah ini mengaku meracik bom ikan menggunakan bahan dasar pupuk urea yang digoreng.
Sedangkan bahan dasar pupuk urea dibeli dari seseorang di Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu (Pulau Ambon) Kabupaten Maluku Tengah bernama Rano dimana satu Kg urea bisa dihasilkan empat buah bom rakitan untuk mencari ikan.
Awalnya pupuk ini digoreng kemudian dicampur bahan bakar minyak lalu dimasukkan dalam botol kaca dan dipasangi sumbu pemicu.
Terdakwa malahan mengaku tidak tahu kalau perbuatannya dilarang Undang-Undang, kemudian penggunaan jaring tidak efektif seperti bahan peledak karena tidak merusak terumbu karang karena ledakannya hanya di permukaan air dan bukannya sampai ke dasar laut.
"Ikan hasil tangkapan dengan bahan peledak ini hanya untuk dikonsumsi dan tidak dijual bila hasil yang didapatkan hanya sedikit," kata terdakwa.
Dia juga mengaku baru sekali ini menangkap ikan dengan bahan peledak, padahal saksi Denny dari Dit Polair Polda Maluku mengakui kalau terdakwa sudah pernah masuk DPO polisi tahun 2017 lalu karena perbuatan yang sama.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018
"Kedua terdakwa juga dihukum membayar denda sebesar Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan dan menyatakan terdakwa tetap berada dalam ruang tahanan," kata ketua majelis hakim, Pasti Tarigan didampingi hakim adhoc perikanan, Muhammad Sakti dan Anda Ariansyah selaku hakim anggota di Ambon, Selasa.
Para terdakwa dihukum penjara dan membayar denda karena terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 84 junto pasal 8 ayat (1) Undang-Undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan, Junto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.
Yang memberatkan kedua terdakwa dihukum karena perbuatannya bisa mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan biota laut, sedangkan yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan serta belum pernah dihukum.
Labahama dan rekannya Erlin masing-masing dituntut hukuman penjara selama satu tahun dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh JPU Kejaksaan Tinggi Maluku, Rita Akollo.
Atas putusan tersebut, kedua terdakwa maupun jaksa penuntut umum menyatakan menerimanya.
Terdakwa Labahama dan rekannya Erlin ditangkap anggota Polri dari Dit Polair Polda Maluku pada tanggal 25 Agustus 2018 lalu di perairan Wayasel pada koordinat 03 derajat 32`215`S - 127 derajat 54`143`E.
Labahama yang menjadi terdakwa kasus pengeboman ikan di pantai Wayasel, Kecamatan Leihitu (Pulau Ambon) Kabupaten Maluku Tengah ini mengaku meracik bom ikan menggunakan bahan dasar pupuk urea yang digoreng.
Sedangkan bahan dasar pupuk urea dibeli dari seseorang di Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu (Pulau Ambon) Kabupaten Maluku Tengah bernama Rano dimana satu Kg urea bisa dihasilkan empat buah bom rakitan untuk mencari ikan.
Awalnya pupuk ini digoreng kemudian dicampur bahan bakar minyak lalu dimasukkan dalam botol kaca dan dipasangi sumbu pemicu.
Terdakwa malahan mengaku tidak tahu kalau perbuatannya dilarang Undang-Undang, kemudian penggunaan jaring tidak efektif seperti bahan peledak karena tidak merusak terumbu karang karena ledakannya hanya di permukaan air dan bukannya sampai ke dasar laut.
"Ikan hasil tangkapan dengan bahan peledak ini hanya untuk dikonsumsi dan tidak dijual bila hasil yang didapatkan hanya sedikit," kata terdakwa.
Dia juga mengaku baru sekali ini menangkap ikan dengan bahan peledak, padahal saksi Denny dari Dit Polair Polda Maluku mengakui kalau terdakwa sudah pernah masuk DPO polisi tahun 2017 lalu karena perbuatan yang sama.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2018