Kantor wilayah Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia(Kemenhukham) Maluku mengakui terdapat 106 produk peraturan daerah (Perda) di seluruh wilayah provins ini yang dinilai bermasalah dan kuat dugaan kalau sumbernya adalah tidak mencantumkan muatan lokal suatu daerah.

"Kemenkumham khususnya wilayah kerja di Maluku masih mencari sumber masalahya di mana," kata Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kemenkumham setempat, M.J Mataheru di Ambon, Senin.

Penjelasan tersebut disampaikan Mataheru saat menerima kunjungan kerja pimpinan dan anggota Komisi A DPRD Maluku di Kanwil Kemenkumham Maluku.

Kanwil Kemenkumham menyesalkan setiap pembuatan Perda oleh Pemerintah Daerah tidak mencantumkan tentang kearifan lokal kabupaten/kota setempat ataupun terkait masalah HAM.

Menurut dia, beberapa tahun yang lalu ada sekitar 4.000 produk Perda yang bermasalah di seluruh Indoensia dan Maluku sendiri terdapat 106 Perda.

Memang belum dketahui pasti permasalahannya di mana, namun pihaknyanya mencurigai Perda tersebut bermasalah karena tidak memiliki muatan kearifan lokal dan HAM.

"Judul sebuah Perda boleh sama, tetapi kearifan lokal budaya setempat itu harus diperhatikan sebab Perda dibuat itu manfaatnya untuk masyarakat, jadi bagaimana mau bermanfaat kalau kearifan lokalnya tidak ada," ujarnya.

Tugas kantor Kemenkumham Provinsi Maluku adalah melakukan kajian sekitar 30 Perda yang bermasalah, karena di sini terdapat 22 perancang yang berfungsi untuk melihat lagi 106 buah Perda itu.

Wakil Ketua Komisi A DPRD Provinsi Maluku, Constansius Kolatfeka menilai Perda-Perda berbasis kearifan lokal wilayah setempat adalah upaya sinergisitas dalam rangka membangun dan menata kelola pemerintahan yang baik.

"Ini adalah upaya sinergisitas dalam rangka membangun dan menata pemerintahan yang baik dalam rangka pelayanan publik sehingga komisi mengapresiasi Kemenkum HAM dalam rangka menawarkan ide dan gagasan serta program kerja yang sangat maksimal," katanya.

Dikatakan, ada sejumlah alasan kenapa kurang lebih 100 lebih perda di Maluku ditolak oleh kementerian.

Yang pertama, bukan saja menyangkut konsultasi pasal, anggaran dan sebagainya, tetapi juga soal kearifan lokal dan hak asasi manusia tidak memberikan satu bentuk intisari dalam muatan perda.

Padahal, hal ini sangat penting sekali bagaimana melindungi hak asasi manusia bagi setiap warga negara yang ada.

"Kedua, bagaimana pembanguan sebuah wilayah dalam bentuk regulasi harus menjunjung tinggi kearifan lokal sehingga perlu didorong sinergisitas, koordinasi kemitraan dengan Kementerian Hukum dan Ham ke depan," tandasnya.

Langkah ini sangat strategis dalam rangka menggolkan berbagai raperda yang diusulkan agar bisa ditetapkan menjadi perda.

Dalam melakukan konsultasi perda di kementerian bukan saja di Kemendagri tetapi juga Kemenkum HAM jadi sebelumnya perlu ditelaah bersama Kemenkum HAM provinsi.


 

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : Lexy Sariwating


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019