Ambon (ANTARA) - Dinas Perikanan Kota Ambon, Maluku, mendata jumlah nelayan pengguna kapal jaring jenis purse seine yang kini kesulitan berlayar karena terdampak kebijakan pembatasan pembelian minyak tanah di Ibu Kota Provinsi Maluku itu.
Penyuluh Perikanan Ahli Pertama Dinas Perikanan Kota Ambon Apidatul Hasanah di Ambon, Senin, mengatakan hingga kini baik pemerintah daerah maupun Pertamina baru mengetahui bahwa nelayan kapal jaring mengandalkan minyak tanah untuk bahan bakar melaut. Padahal, sejak Agustus 2022, Pemkot Ambon menerapkan pembatasan pembelian minyak tanah maksimal 10 liter per keluarga guna mengatasi kelangkaan bahan bakar itu.
Disebutkan, pangkalan minyak tanah dilarang menyalurkan minyak tanah kepada pelaku usaha dalam bentuk dan jenis apapun, dan hanya boleh menjual untuk keperluan rumah tangga seperti memasak. Apabila pangkalan ada yang melanggar, maka akan dikenakan sanksi pencabutan izin.
Baca juga: Puluhan kapal nelayan "sailing pass" meriahkan HUT ke-77 TNI di Teluk Ambon
"Padahal minyak tanah itu sangat diperlukan oleh para nelayan. Jadi setiap mereka menuju daerah penangkapan yang jaraknya kurang lebih 20 mil laut diperlukan minyak tanah sekitar 140 hingga 150 liter per kapal," kata Apidatul saat ditemui Antara di lokasi pendaratan ikan di Dusun Eri, Desa Nusaniwe, Ambon.
Menurut dia, Dinas Perikanan Kota Ambon masih dalam mendata keperluan BBM untuk nelayan, yang sekarang dalam proses validasi data untuk memastikan identitas nelayan dan status kepemilikan untuk mengetahui dengan pasti keperluan BBM baik itu minyak tanah maupun pertalite.
"Jadi sekarang masih dalam kegiatan validasi dan tindak lanjut pemerintah bagaimana karena kalau mereka para nelayan tidak melaut, maka ikan juga tidak masuk pasar Ambon," ujar Apidatul.
Baca juga: Pemkot bangun sentra usaha tani nelayan di Pulau Obi Halmahera Selatan, semoga tepat sasaran
Ia menjelaskan, hasil pendataan di Kecamatan Nusaniwe menunjukkan bahwa kapal penangkap ikan jenis purse seine (kapal jaring) yang oleh nelayan disebut Bodi maupun perahu Tonda, menggunakan kapal ukuran 7GT dengan mesin kekuatan 40 PK yang berbahan bakar minyak tanah.
Mereka juga menggunakan Pertalite tapi dalam jumlah kecil untuk memancing pengapian saat awal menyalakan mesin. Untuk Kecamatan Nusaniwe, lanjutnya, jumlah kapal (bodi) ada 35 unit yang tersebar di Negeri Amahusu, Eri, Silale, Latuhalat, dan Dusun Seri.
"Karena sudah dua bulan susah untuk mendapatkan minyak tanah, maka kapal-kapal purse seine itu yang biasanya 12 hingga 13 kapal yang mendarat di lokasi pelelangan ikan di kawasan ini, sekarang hanya lima sampai enam bodi saja," ujarnya.
Pieter Tehupuring, nelayan asal Desa Silale, mengatakan sejak dua bulan terakhir tidak bisa lagi melaut setiap hari karena kesulitan membeli minyak tanah untuk bahan bakar dua bodi purse seine miliknya. Ia harus berkeliling beberapa hari untuk membeli minyak tanah ke pangkalan untuk memenuhi kebutuhan sekali melaut sebanyak 140 liter.
Baca juga: Bank Maluku-Malut jajaki penyaluran KUR bagi nelayan Tulehu
Harga minyak tanah mencapai Rp3.500 per liter sehingga biaya sekali melaut mencapai sekitar Rp150.000. Ia mengatakan tidak sanggup untuk beralih ke bahan bakar Pertalite untuk kapalnya karena biaya melaut bisa membengkak jadi Rp1.820.000 karena nelayan untuk membeli Pertalite hingga 140 liter juga harus lewat pengecer dengan harga Rp13.000 per liter.
"Sekarang ini dalam seminggu hanya bisa dua kali melaut. Kami sangat berharap ada kepedulian dari Pemerintah Kota Ambon maupun provinsi untuk melihat hal ini karena ikan yang masuk ke pasar Ambon sebagian besar hasil tangkapan dengan kapal purse seine," ujarnya.
Menurut dia, pada pekan lalu nelayan daerah Kecamatan Nusaniwe sudah melakukan pertemuan dengan petugas penyuluh perikanan dari Kota Ambon guna membicarakan masalah tersebut dan berharap ada perhatian khusus untuk mencari solusinya.
Baca juga: DKP gelar bimtek kembangkan kualitas nelayan Kepsul Maluku Utara