Jakarta (ANTARA) - Let’s kill all the lawyers atau "ayo bunuh semua pengacara" adalah kutipan yang diambil dari salah satu karya William Shakespeare (1564–1616), seorang dramawan, penyair, dan aktor asal Inggris yang dianggap sebagai salah satu penulis terbesar dalam sejarah sastra dunia.
Sering kali kutipan ini ditangkap di luar konteksnya, yang menyebabkan banyak orang salah mengartikan maknanya. Bagi sebagian orang, kalimat ini mungkin terdengar seperti seruan kekerasan terhadap profesi hukum, dalam hal ini pengacara.
Tetapi, jika kita menelusuri asal usulnya, kita akan menemukan bahwa kalimat yang diucapkan oleh Dick the Butcher dalam drama Henry VI, Part 2 karya William Shakespeare itu, bukanlah ajakan untuk menghilangkan para advokat atau pengacara.
Sebaliknya, ungkapan ini adalah sindiran yang menyoroti betapa pentingnya peran para penasihat hukum ini dalam menjaga keadilan dan keteraturan dalam masyarakat.
Dalam konteks drama tersebut, Dick the Butcher, yang berusaha merusak tatanan hukum demi kepentingan pribadi, menganggap bahwa membunuh para advokat sebagai simbol peradilan akan mempermudah pencapaian tujuannya.
Meskipun kata-kata ini tampak mengerikan, pesan yang disampaikan adalah bahwa tanpa advokat atau pengacara, sistem hukum akan runtuh dan keadilan akan hilang.
Peristiwa ini menggarisbawahi betapa vitalnya peran pengacara dalam melindungi hak asasi manusia, menegakkan demokrasi, dan menjaga tatanan sosial yang adil.
Pengawal proses hukum
Penegakan hukum di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran krusial advokat karena mereka lebih dari sekadar pelaksana hukum. Advokat adalah penjaga keadilan yang memiliki peranan strategis dalam menjaga keseimbangan sistem peradilan.
Dalam hal ini, penguatan legitimasi profesi ini dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) sangat diperlukan, agar mereka dapat menjalankan tugasnya dengan penuh integritas, tanpa rasa takut atau tekanan.
RUU KUHAP yang saat ini tengah dibahas di DPR, memberi harapan besar untuk memberikan jaminan perlindungan, kebebasan, dan hak yang setara bagi penasihat hukum, sehingga dapat berfungsi dengan baik, seperti halnya aparat penegak hukum lainnya.
Profesi advokat jauh dari sekadar urusan perkara di pengadilan, bahkan urusan Mahkamah Konstitusi. Ia selalu menjadi penjaga keadilan yang memastikan hak-hak klien mereka dihormati.
Sebagai penghubung antara sistem hukum dan individu yang terlibat dalam proses hukum, advokat berperan vital dalam memastikan bahwa hukum diterapkan secara adil dan transparan. Ia adalah penjaga integritas dalam sistem peradilan itu sendiri.
Karena itu, dalam RUU KUHAP yang baru, posisi penasihat hukum harus semakin diperkuat agar mereka dapat bertugas dengan efektif dan tanpa hambatan. RUU KUHAP yang baru harus memberikan perlindungan hukum yang tegas bagi profesi tersebut.
Keberadaan advokat yang dilindungi saat menjalankan tugasnya menjadi elemen penting dalam menjamin keadilan dalam proses peradilan. Tanpa perlindungan yang jelas, keadilan yang selama ini diharapkan dalam proses hukum dapat dengan mudah terganggu.
Imunitas advokat
Advokat, yang dikenal sebagai officium nobile, adalah profesi yang mulia dan menjunjung tinggi moralitas dalam memperjuangkan keadilan.
Salah satu hak fundamental dalam mekanisme beracara bagi advokat adalah hak imunitas. Imunitas ini memberi kebebasan kepada mereka untuk menjalankan tugas pembelaan, tanpa rasa takut terhadap ancaman pidana atau perdata yang bisa saja muncul sebagai akibat dari pekerjaannya.
RUU KUHAP perlu memastikan bahwa hak imunitas ini terjamin, memungkinkan para pejuang keadilan ini untuk menjalankan profesinya secara independen, tanpa tekanan eksternal, dan mampu memberikan pembelaan dengan penuh rasa aman.
Hak imunitas ini bukan berarti memberikan kebebasan tanpa batas atau kekebalan terhadap tindakan melanggar hukum, melainkan lebih untuk melindunginya dari tuntutan yang tidak sah terkait dengan pendapat, pembelaan, atau tindakan hukum yang dilakukan dalam kapasitas profesional mereka.
Ingat, ada kesetaraan di hadapan hukum, prinsip yang menyatakan bahwa setiap individu, tanpa memandang status sosial, ekonomi, ras, jenis kelamin, agama, atau latar belakang lainnya, harus diperlakukan sama oleh hukum.
Prinsip ini mengharuskan semua orang memiliki hak yang sama di depan pengadilan dan dalam penerapan hukum, serta tidak ada yang boleh mendapat perlakuan istimewa atau diskriminasi dalam proses hukum.
Tanpa imunitas semacam ini, advokat akan kesulitan menjalankan peran penting mereka dalam sistem peradilan, apalagi jika mereka harus berhadapan dengan pihak-pihak yang berkuasa atau berpengaruh.
Selain sebagai pembela di pengadilan, advokat juga memegang peran besar dalam menyelesaikan sengketa di luar ruang sidang.
Dalam RUU KUHAP, sangat penting untuk mengakui bahwa advokat juga berperan sebagai mediator dan resiliator yang aktif dalam penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice—, pendekatan yang menekankan pemulihan kerugian korban, bukan hanya sekadar menghukum pelaku.
Dengan memperkuat peran dalam proses ini, mereka dapat membantu menciptakan solusi yang lebih manusiawi dan berbasis pada rekonsiliasi.
Oleh karena itu, RUU KUHAP perlu mengatur secara rinci peran advokat dalam mediasi dan penyelesaian sengketa melalui mekanisme restorative justice, agar mereka dapat terlibat aktif dalam memperbaiki hubungan antarpihak yang bersengketa.
Pelecehan dan kekerasan
Dari berbagai pemberitaan, advokat atau penasihat hukum seringkali menjadi korban pelecehan, ancaman, bahkan kekerasan saat menjalankan tugas mereka.
Kejadian itu bukan hanya melanggar hak pribadi, tapi juga merusak integritas sistem peradilan itu sendiri. Maka dari itu, harus ada aturan hukum yang mencantumkan sanksi pidana yang tegas terhadap segala bentuk pelecehan, ancaman, atau kekerasan terhadap advokat.
Perlindungan ini sangat penting agar mereka dapat bekerja dengan aman, tanpa khawatir tentang keselamatan diri atau keluarga mereka. Hukum harus mengatur bahwa segala bentuk pelecehan terhadap advokat dianggap sebagai tindak pidana berat, yang harus diproses hukum dengan penuh ketegasan.
Sebagai profesi yang mulia, advokat tentu saja harus tunduk pada kode etik yang mengatur cara bertindak.
Tanpa mengurangi norma pada delik hukum pidana, sudah seharusnya advokat hanya dapat dihukum berdasarkan mekanisme kode etik yang diatur oleh Dewan Kehormatan Advokat Nasional.
Mekanisme ini perlu diatur dalam aturan hukum dengan jelas, agar mereka yang melanggar kode etik dapat diproses secara profesional, tanpa melibatkan mekanisme hukum pidana yang tidak sesuai dengan karakter profesinya.
Penegakan kode etik oleh Dewan Kehormatan Advokat Nasional harus dilakukan secara transparan dan independen, memastikan bahwa advokat yang melanggar etika profesi dikenakan sanksi yang adil, tanpa merusak integritas profesi itu sendiri.
Penguatan kedudukan advokat dalam mekanisme beracara di RUU KUHAP sangat penting untuk menciptakan sistem peradilan yang adil dan transparan.
Advokat bukan hanya penegak hukum, tapi juga penegak keadilan yang menjalankan tugas dengan imunitas yang sah, perlindungan yang memadai, dan hak untuk membela kepentingan kliennya, tanpa tekanan eksternal.
Ini semua bertujuan untuk menjaga sistem hukum yang adil dan dapat diakses oleh semua orang.
RUU KUHAP harus memberikan ruang bagi advokat untuk berperan maksimal dalam proses peradilan, baik sebagai pembela hukum, mediator, advokasi maupun agen perubahan yang mendukung tercapainya keadilan bagi semua pihak.
Sudah saatnya sebagai bangsa besar kita memberi kehormatan bagi profesi mulia ini, melalui “singgasana” di RUU KUHAP.
*) Rioberto Sidauruk adalah Ketua Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (DPP HAPI)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: RUU KUHAP: melindungi pengacara sebagai kunci penegakan keadilan