Yoke Mattruti berjalan cepat sambil pandangannya menyapu pinggiran kali kecil di Desa Tawiri, Kota Ambon, Provinsi Maluku, pada akhir November 2021. Perempuan berusia 59 tahun itu mencari tanaman khusus untuk pembuatan tenun ikat Tanimbar.

Dengan cekatan ia turun ke kali yang dangkal untuk memetik daun-daun kecil dari sebuah pohon yang tingginya sekira setengah meter.

"Di sini sebutannya pohon Taro, daunnya untuk warna biru benang tenun," kata Yoke kepada ANTARA.

Yoke salah satu penenun senior yang bernaung di kelompok penenun Ralsasam Kota Ambon. Pusat aktivitas kelompok tersebut di sebuah rumah mungil di Desa Tawiri. Tempat itu terlihat ramai dengan anak muda dan orang tua yang sibuk menenun dengan alat tradisional. Mereka masih menggunakan lesung untuk menumbuk daun, alat pintal benang dari kayu, dan alat gedogan untuk membuat kain tenun dengan cara dipangku.

Yoke belajar menenun sejak kecil di kampung halamannya di Desa Namtabung, Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Daerah terluar di bagian selatan Maluku itu asal dari kerajinan tenun ikat Tanimbar, wastra tradisional yang kini dipopulerkan dengan nama tenun Maluku.

Yoke mengisahkan orang-orang tua dahulu kala di Tanimbar membuat pakaian dengan kapas dari pohon kapuk. Maklum saja, saat itu belum ada benang dan pewarnaan kain mengandalkan rendaman kulit kayu tongke, sebutan warga setempat untuk mangrove.

"Anak perempuan kalau belum bisa tenun, belum boleh nikah," katanya sambil tersenyum.

Baca juga: BI Maluku gelar pelatihan bagi pengrajin tenun di MBD, majukan dan lestarikan tradisi

Adagium yang diucap Yoke sebenarnya mengandung filosofi yang menunjukkan tenun ikat Tanimbar menjadi bagian dari identitas mereka. Inti pesannya adalah generasi muda Namtabung harus bisa mandiri, bekerja keras seperti orang-orang tua mereka, dan tidak melupakan asal-usulnya. Karenanya, tradisi menenun sampai sekarang masih dipertahankan di Namtabung, diajarkan kepada anak perempuan dan laki-laki, diwariskan dari generasi ke generasi.

"Ralsasam dalam bahasa Tanimbar berarti satu hati. Semua penenun harus satu hati. Nama ini diambil ayah saya dari nama Baileo (rumah adat) di Desa Namtabung," kata Mikel Watumlawar, generasi kedua kelompok tenun Ralsasam.

Ayah Mikel, Niko Watumlawar yang sudah wafat, merintis Ralsasam di Kota Ambon dengan modal Rp250 ribu pada awal 1990-an. Mikel menjelaskan, perkembangan Ralsasam mengalami pasang surut, namun selalu bisa bangkit kembali.

Setelah sempat tidak ada pesanan sama sekali pada awal masa pandemi COVID-19 pada 2020, Mikel mengatakan tahun ini bisa meraup omzet rata-rata Rp10 juta hingga Rp15 juta per bulan. Sebelum pandemi, permintaan tenun ikat Tanimbar rutin datang dari Belanda dan Amerika Serikat.

"Pada akhir tahun ini omzet bulanan meningkat karena ada banyak permintaan, bisa mencapai Rp30 juta sampai Rp40 juta," katanya.

Kelompok Ralsasam menaungi sedikitnya 10 penenun tradisional di Ambon dan banyak lainnya di Desa Namtabung. Selain di Desa Tawiri, penenun ikat Tanimbar juga ada di daerah Skip dan Kuda Mati. Meski beda kelompok, mereka tidak sepenuhnya saling bersaing, bahkan saling bantu apabila ada pesanan kain yang jumlahnya besar.

"Teknologi sekarang sudah canggih, saya tinggal kirim foto contoh kain lewat WhatsApp ke kampung. Saudara-saudara di Tanimbar langsung bikin dan seminggu kemudian sudah sampai di Ambon," katanya.
 
Sejumlah penenun kelompok Ralsasam memproduksi tenun ikat tanimbar di Desa Tawiri, Kota Ambon, Provinsi Maluku (ANTARA/FB Anggoro)


Baca juga: Semangat Oma Min lestarikan tenun Kepulauan Tanimbar di usia senja

Terus Berkembang

Mikel menjelaskan, tenun tradisional Maluku terus berkembang di bentuk motif dan warnanya. Contohnya untuk pasar di Kota Ambon, warna kain cenderung lebih cerah serta motifnya pala dan cengkih. Padahal, kain tenun ikat Tanimbar sejatinya banyak gunakan benang berwarna gelap dengan motif bunga anggrek maupun anak panah.

Meski begitu, Mikel mengatakan keunikan kelompok Ralsasam memopulerkan lagi pewarna alami untuk benang tenun sejak 2019, selain memakai benang pewarna kimia buatan pabrik. Mereka menggunakan lagi kulit pohon tongke dari Tanimbar untuk warna cokelat, dan terus berinovasi mencari warna baru menggunakan tumbuhan di Ambon. Kelompok Ralsasam kini juga menggunakan daun taro untuk warna biru indigo, warna kuning dari kunyit, jambu biji (giawas) untuk warna merah, hingga campuran beberapa daun untuk mendapatkan warna ungu.

"Tenun warna alam sekarang diminati karena warna alam dipandang mata bagus, warna tradisional ciri khas orang Maluku. Cium bau kainnya enak meski dari daun yang dibusukin, dan di badan lebih adem. Pakai benang warna yang toko kalau dicuci bisa luntur, tapi warna alam tetap bertahan. Bahkan, kain yang umurnya 80 tahun warna tetap begitu saja," katanya.

Pembuatan tenun dengan warna alam prosesnya memang lebih lama, mulai dari mencari daun, pembusukan daun dan menumbuknya untuk mendapatkan sari warna. Kemudian ada proses penyelupan benang, penyucian, penjemuran, dan pemintalan benang. Pembuatan tenun dengan pewarna alami bisa memakan waktu sampai dua minggu. Jika semakin banyak warna digunakan, maka semakin banyak orang yang bekerja.

Karena itu, harga tenun warna alam juga dua kali lipat dari tenun dengan benang pewarna pabrik. Namun tenun tersebut lebih awet, dan yang terpenting adalah proses pembuatannya lebih ramah lingkungan. Penenun Ralsasam tidak perlu khawatir saat mencuci benang pewarna alami di sungai karena tidak akan mencemari air.

"Prosesnya (tenun) alam lebih lama, harus hati-hati supaya tepat warnanya. Kalau rendam benang terlalu cepat atau terlalu lama, bisa berubah. Karenanya harganya lebih tinggi, untuk harga tenun benang pabrik Rp450 paling rendah untuk satu lembar, sedangkan untuk warna alam bisa sampai Rp700 ribu satu lembar," katanya.

Helen Watumlawar, adik kandung Mikel yang juga generasi kedua kelompok tenun Ralsasam, mengatakan sangat termotivasi untuk terus mengembangkan usaha tenun Ralsasam.

"Karena saya dari kecil sampai bisa kuliah juga karena hasil usaha tenun," katanya yang mengaku sejak Sekolah Dasar sudah mahir menenun.

Ia mengatakan ke depan akan mengembangkan kualitas tenun dan penjualan dengan platform digital lewat media sosial dan lokapasar, seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada.

"Saya ada motivasi paling besar, karena papa memang pernah kasih pesan beta (saya) yang harus teruskan kalau papa sudah tak kuat lagi," ujar gadis berusia 20 tahun ini.

Baca juga: Perajin tenun ikat khas Maluku manfaatkan OSS jangkau pasar ekspor, gairahkan UMKM

Ekosistem 

Perkembangan tenun di Maluku selama dua tahun terakhir menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan. Produk akhir tenun sekarang lebih beragam, salah satunya lewat industri kecil Kabeta Craft yang mendesain produk sehari-hari, di antaranya tas dan dompet yang dikombinasikan dengan tenun Maluku. Hal ini membuat simbiosis mutualisme, saling mendukung pengembangan wastra nusantara dan industri kecil menengah (IKM) khas Maluku lainnya.

Ekosistem baru itulah yang disoroti melalui Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), yang pada November 2021 mengusung tema "Aroma Maluku". Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Gernas BBI mendorong perkembangan usaha-usaha lokal di Maluku berkolaborasi dengan Sekolah Menengah Kejuruan, sehingga berperan dalam membangkitkan dan memulihkan ekonomi nasional dari pandemi.

"Gernas BBI ini momen penting di lokal (Maluku, red.) yang aromanya nasional. Kesempatan untuk komunitas dan IKM di regional Maluku untuk sama-sama tampil, semangatnya jadi beda dan saling mengisi karena kita secara rasa sudah kuat. Ini kesempatan kita belajar tampil dengan standar nasional, belajar kolaborasi dengan siswa, libatkan banyak institusi pendidikan. Itu jadi semangat, ternyata kita bisa regenerasi dan kolaborasi dengan siswa," kata pemilik Kabeta Craft, Berkah Novita.

Kabeta mulai memakai tenun sejak 2019 karena ingin mencari keunikan untuk produknya.

Ia menilai tantangan waktu itu sebagian besar kain tenun belum bisa dipakai untuk aktivitas kasual sehari-hari, seperti batik, karena bahannya panas dan harganya juga cukup mahal.

"Respons pasar justru bagus, permintaan banyak. Apalagi karena sebagai IKM bimbingan dari Bank Indonesia, kita terus diperbaiki kapasitas, kualitas dan kuantitas. Tantangannya lagi, ketika dapat pesanan banyak, bukan berarti turunkan derajat si tenun, tapi tas tenun dipakai sebagai promosi, sebagai kebanggaan, dan membiasakan kita di Maluku bahwa kita punya tenun," ujar Novi.

Baca juga: Nadiem harap Gernas BBI Aroma Maluku tercium sampai lintas benua
 
Proses marketing secara digital produk dompet dan tas tenun ikat Maluku di studio Kabeta Craft, Kota Ambon. (ANTARA FOTO/FB Anggoro)



Menurut dia, ekosistem yang terbentuk bersifat simbiosis mutualisme yang tidak harus modal besar, tidak selalu padat karya, namun bisa jangkau pasar lebih luas. Produk Kabeta Craft jadi bisa lebih beragam dengan produk yang dibuat secara massal maupun produk premium hingga eksklusif. Produk eksklusif harganya bisa mahal karena mengombinasikan kulit, tenun, cangkang kerang, dan mutiara.

Produk Kabeta Craft mulai merambah pasar internasional karena dua tahun berturut-turut terpilih untuk mengikuti ISEF (Indonesia Sharia Economic Festival), acara tahunan terbesar di Indonesia yang menjadi wadah integrasi berbagai kegiatan di sektor ekonomi dan keuangan syariah (eksyar). ISEF dalam perjalanannya telah berevolusi dari kegiatan yang berskala nasional menjadi internasional, karena sejak 2019 telah diperhitungkan dalam kalender acara eksyar dunia.

"Sebenarnya kita ini adalah sebuah komunitas di ekosistem yang kita harapkan tidak hanya (kolaborasi) satu kali saja. Tenun ini jadi besar, ada banyak kelompok yang mendukungnya. Dengan begitu, harapannya produk kita jadi produk massal, beragam dengan desain dari kita dan kanal distribusi dari kita," ujarnya.

Baca juga: Kemendikbudristek dorong eksplorasi rempah untuk kesehatan, momentum untuk Maluku & Malut

Puncak acara Gernas BBI di Kota Ambon pada 29 November lalu menampilkan peragaan busana "Pesona Tenun Maluku", yang merupakan bentuk kolaborasi antara UMKM lokal, siswa SMK dan desainer nasional Wignyo Rahadi. Peragaan busana tersebut menampilkan 16 style look, enam di antaranya busana hasil pelatihan kegiatan Gernas BBI dan 10 karya Wignyo Rahadi.

Wignyo mengaku terkejut melihat bagusnya busana yang dihasilkan dari proses pelatihan di Maluku.

"Inilah program yang untuk mengangkat dan mempercepat penggunaan kain tenun di daerah. Jadi kain tenun jangan cuma dilipat, dijual dalam bentuk kain, karena tenun bisa diolah jadi busana siap pakai sehingga orang beli bisa langsung pakai," ujarnya.

Setelah program Gernas BBI, Wignyo berharap ada keberlanjutan program pelatihan dari Bank Indonesia (BI) Maluku, pemerintah daerah dan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) untuk meningkatkan kualitas tenun Maluku dan keberlanjutan diversifikasi produk tenun.

"Tenun Maluku untuk peningkatan kualitas perlu karena kainnya masih tebal. Ada di Saumlaki (tenun ikat Tanimbar) sudah bagus karena binaan Bank Indonesia Maluku, tapi kendalanya di stok sudah kosong karena setelah produksi sudah langsung dibeli," katanya.

Peningkatan kualitas kain tenun, menurut Wignyo, juga memerlukan perubahan penggunaan alat agar perajin menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan mesin) untuk menggantikan alat tenun gedogan supaya ikatan tenun lebih kuat dan pengerjaan bisa lebih cepat.

Selain itu, pemerintah daerah juga perlu mencari solusi untuk mendekatkan penenun dengan produsen benang untuk mendapatkan harga yang bahan baku lebih murah.

"Mungkin belum dapat sumber benang yang benar. Kalau beli dari tangan kesepuluh harga pasti mahal. Itu bisa banget, tugas dari pemerintah daerah, tugas daerah Dekranasda untuk cari bahan baku supaya perajin dapat bahan baku yang bagus, dan tentu akan pengaruhi kualitas juga lebih bagus, harga lebih bagus, dan bisa menekan biaya produksi," katanya.

Dan yang terpenting lagi, agar perputaran penggunaan kain tenun di Maluku bisa lebih cepat, pemerintah daerah dan instansi lainnya harus melibatkan perajin yang sudah mengikuti pelatihan Gernas BBI membuat busana tenun untuk seragam dinas maupun untuk pribadi.

"Pejabat yang biasa bikinnya di Jakarta atau Surabaya, sekarang mendingan bikin di Ambon saja deh," kata Wignyo.

Saatnya katong (kita) bangga gunakan tenun Maluku.

Baca juga: Mencetak talenta digital Maluku, dimulai dari sekolah
Baca juga: Gotong royong, angkat marwah usaha mikro ke kancah nasional, semangat Gernas BBI di Maluku

Pewarta: FB Anggoro

Editor : Febrianto Budi Anggoro


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021