Muslimat Nahdlatul Ulama Maluku Utara menilai perlu sinergi antara organisasi yang membidangi pemberdayaan perempuan untuk memberi perhatian lebih serius guna menekan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di provinsi itu.
"Sinergi tersebut penting dilakukan agar penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak proses hukum sampai kepada pemulihan kondisi psikis korban bisa berjalan optimal," kata Ketua Muslimat NU Maluku Utara Rosita Alting dihubungi di Ternate, Rabu.
Menurut dia semua pihak harus terus memberikan kesadaran melalui edukasi yang persuasif kepada suami, ibu dan semua anggota keluarga karena kasus kekerasan ini punya imbas luar biasa mempengaruhi perkembangan psikologi para korban.
Oleh karena itu, dengan melakukan langkah-langkah pencegahan secara masif dan terstruktur maka korban maupun masyarakat bisa merasakan keseriusan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, katanya.
Selain itu yang tak kalah penting adalah bagaimana para korban yang mendapatkan kekerasan bisa menjalankan kehidupan yang jauh lebih berkualitas.
"Termasuk akses mereka terhadap perbankan, permodalan bagaimana mereka diterima kembali di masyarakat dan juga memulihkan kehidupan mereka secara ekonomi yang menjadi tanggung jawab kita semua," katanya.
Ia menyebut kasus kekerasan perempuan dan anak di Maluku Utara mengalami peningkatan dari Januari hingga Juli 2023 berdasarkan hasil penelitian dan kajian secara kasat mata yang mencapai 153 kasus.
Pengajar dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate ini mengatakan, dari ratusan kasus itu lebih didominasi persoalan KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga kekerasan dari suami terhadap istri.
Rosita mengatakan ada beberapa faktor pemicu masalah kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi, diantaranya karena faktor ekonomi dan rendahnya pemahaman terhadap nilai-nilai agama oleh pelaku kekerasan.
"Kemudian hal lain yang menjadi penyebab kasus kekerasan perempuan dan anak ini meningkat adalah faktor religius yakni rendahnya kesadaran akan keagamaan, misalnya kurangnya ibadah akhirnya kesabaran dan keikhlasan itu menjadi terkikis karena kurang mendekatkan diri kepada sang Pencipta," ujarnya.
Selanjutnya persoalan rendahnya tingkat pengetahuan akan edukasi sehingga pelaku seringkali melakukan hal tersebut dan juga budaya yang memandang kekerasan dalam rumah tangga dianggap tabu jika diungkap ke publik untuk diproses ke ranah hukum.
"Hal lain yang membuat tren ini naik karena seringkali orang menganggap persoalan rumah tangga itu persoalan pribadi, nah ini yang perlu kita ubah cara berpikir seperti itu," ujar Rosita.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2023
"Sinergi tersebut penting dilakukan agar penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak proses hukum sampai kepada pemulihan kondisi psikis korban bisa berjalan optimal," kata Ketua Muslimat NU Maluku Utara Rosita Alting dihubungi di Ternate, Rabu.
Menurut dia semua pihak harus terus memberikan kesadaran melalui edukasi yang persuasif kepada suami, ibu dan semua anggota keluarga karena kasus kekerasan ini punya imbas luar biasa mempengaruhi perkembangan psikologi para korban.
Oleh karena itu, dengan melakukan langkah-langkah pencegahan secara masif dan terstruktur maka korban maupun masyarakat bisa merasakan keseriusan upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, katanya.
Selain itu yang tak kalah penting adalah bagaimana para korban yang mendapatkan kekerasan bisa menjalankan kehidupan yang jauh lebih berkualitas.
"Termasuk akses mereka terhadap perbankan, permodalan bagaimana mereka diterima kembali di masyarakat dan juga memulihkan kehidupan mereka secara ekonomi yang menjadi tanggung jawab kita semua," katanya.
Ia menyebut kasus kekerasan perempuan dan anak di Maluku Utara mengalami peningkatan dari Januari hingga Juli 2023 berdasarkan hasil penelitian dan kajian secara kasat mata yang mencapai 153 kasus.
Pengajar dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate ini mengatakan, dari ratusan kasus itu lebih didominasi persoalan KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga kekerasan dari suami terhadap istri.
Rosita mengatakan ada beberapa faktor pemicu masalah kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi, diantaranya karena faktor ekonomi dan rendahnya pemahaman terhadap nilai-nilai agama oleh pelaku kekerasan.
"Kemudian hal lain yang menjadi penyebab kasus kekerasan perempuan dan anak ini meningkat adalah faktor religius yakni rendahnya kesadaran akan keagamaan, misalnya kurangnya ibadah akhirnya kesabaran dan keikhlasan itu menjadi terkikis karena kurang mendekatkan diri kepada sang Pencipta," ujarnya.
Selanjutnya persoalan rendahnya tingkat pengetahuan akan edukasi sehingga pelaku seringkali melakukan hal tersebut dan juga budaya yang memandang kekerasan dalam rumah tangga dianggap tabu jika diungkap ke publik untuk diproses ke ranah hukum.
"Hal lain yang membuat tren ini naik karena seringkali orang menganggap persoalan rumah tangga itu persoalan pribadi, nah ini yang perlu kita ubah cara berpikir seperti itu," ujar Rosita.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2023