Ambon (Antara Maluku) - Pengembangbiakan kerbau moa di Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, terancam karena hewan plasma nutfah itu kekurangan padang rumput akibat pembangunan lapangan terbang.
"Padang pergembalaan kerbau moa di sekitar Gunung Kerbau semakin sempit dengan dibangunnya Bandara Moa. Karena itu perlu ada program pemerintah daerah untuk menangani kelestarian kerbau moa," kata salah seorang tokoh masyarakat setempat Adolof Unawekly melalui telepon genggam, Rabu.
Dia menegaskan dirinya tidak bermaksud menghambat pembangunan Bandara Moa yang dijadwalkan pengoperasiannya dalam waktu dekat ini. Namun, kehadiran fasilitas perhubungan udara itu berdampak kurang baik kepada kerbau plasma nutfah di sana.
"Kami sangat mendambakan kehadiran Bandara Moa karena mengatasi keterisolasian wilayah di Selatan Maluku saat kondisi cuaca ekstrem sehingga transportasi laut dilarang beroperasi dengan harapan perkembangbiakan kerbau juga tidak diabaikan," ujar Adolof.
Ia juga khawatir dengan populasi kerbau moa yang saat ini semakin berkurang sehubungan dibeli pedagang pengumpul dari Sulawesi Selatan.
"Biasanya saat kondisi laut tenang (September-November) ratusan kerbau diantarpulaukan ke Sulawesi Selatan sehingga populasinya semakin berkurang karena perkembangbiakan juga kurang optimal," kata Adolof.
Dia bersyukur karena para peterbak tidak lagi tergiur dengan praktik barter hewan tersebut dengan kenderaan bermotor oleh oknum pedagang antarpulau yang mengaku berasal dari Jeneponto, Sulawesi Selatan.
"Awalnya para peternak tergiur tawaran mendapatkan sepeda motor atau truk sehingga memberikan kerbaunya puluhan ekor untuk diantarpulaukan ke Jeneponto. Namun, dengan pengawasan dari dinas teknis, maka aktivitas tersebut tidak lagi dipraktikkan," ujar Adolf.
Kerbau moa termasuk dalam bangsa kerbau lumpur (swamp buffalo).
Binatang tersebut adalah jenis kerbau yang sudah lama terpisah dari habitat aslinya (yang berair) namun memiliki kemampuan beradaptasi tinggi sehingga penyebarannya tidak hanya di daerah yang berawa seperti Kalimantan dan Sumatera, tapi juga di wilayah beriklim kering seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kabupaten MBD, Maluku.
Di lingkungan barunya, kerbau itu beradaptasi dan diberi nama oleh masyarakat setempat sesuai nama daerah itu, misalnya Kerbau Pampangan (Pampangan, Sumatera Selatan), Kerbau Binanga (Tapanuli, Sumatera Utara), Kerbau rawa (di Sumatera dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Sumbawa (NTB) dan Kerbau Moa (MBD, Maluku).
Di MBD yang kering, kerbau tersebut beradaptasi dengan cara hidup berkelompok, memakan pakan yang kering dan tidur dalam kandang batu.
Populasinya kini mulai berkurang karena banyak disembelih untuk keperluan tertentu dan dijual antarpulau, bahkan sampai ke negara Timor Leste yang berbatasan langsung dengan MBD.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014
"Padang pergembalaan kerbau moa di sekitar Gunung Kerbau semakin sempit dengan dibangunnya Bandara Moa. Karena itu perlu ada program pemerintah daerah untuk menangani kelestarian kerbau moa," kata salah seorang tokoh masyarakat setempat Adolof Unawekly melalui telepon genggam, Rabu.
Dia menegaskan dirinya tidak bermaksud menghambat pembangunan Bandara Moa yang dijadwalkan pengoperasiannya dalam waktu dekat ini. Namun, kehadiran fasilitas perhubungan udara itu berdampak kurang baik kepada kerbau plasma nutfah di sana.
"Kami sangat mendambakan kehadiran Bandara Moa karena mengatasi keterisolasian wilayah di Selatan Maluku saat kondisi cuaca ekstrem sehingga transportasi laut dilarang beroperasi dengan harapan perkembangbiakan kerbau juga tidak diabaikan," ujar Adolof.
Ia juga khawatir dengan populasi kerbau moa yang saat ini semakin berkurang sehubungan dibeli pedagang pengumpul dari Sulawesi Selatan.
"Biasanya saat kondisi laut tenang (September-November) ratusan kerbau diantarpulaukan ke Sulawesi Selatan sehingga populasinya semakin berkurang karena perkembangbiakan juga kurang optimal," kata Adolof.
Dia bersyukur karena para peterbak tidak lagi tergiur dengan praktik barter hewan tersebut dengan kenderaan bermotor oleh oknum pedagang antarpulau yang mengaku berasal dari Jeneponto, Sulawesi Selatan.
"Awalnya para peternak tergiur tawaran mendapatkan sepeda motor atau truk sehingga memberikan kerbaunya puluhan ekor untuk diantarpulaukan ke Jeneponto. Namun, dengan pengawasan dari dinas teknis, maka aktivitas tersebut tidak lagi dipraktikkan," ujar Adolf.
Kerbau moa termasuk dalam bangsa kerbau lumpur (swamp buffalo).
Binatang tersebut adalah jenis kerbau yang sudah lama terpisah dari habitat aslinya (yang berair) namun memiliki kemampuan beradaptasi tinggi sehingga penyebarannya tidak hanya di daerah yang berawa seperti Kalimantan dan Sumatera, tapi juga di wilayah beriklim kering seperti Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Kabupaten MBD, Maluku.
Di lingkungan barunya, kerbau itu beradaptasi dan diberi nama oleh masyarakat setempat sesuai nama daerah itu, misalnya Kerbau Pampangan (Pampangan, Sumatera Selatan), Kerbau Binanga (Tapanuli, Sumatera Utara), Kerbau rawa (di Sumatera dan Kalimantan), Kerbau Benuang (Bengkulu), Kerbau Sumbawa (NTB) dan Kerbau Moa (MBD, Maluku).
Di MBD yang kering, kerbau tersebut beradaptasi dengan cara hidup berkelompok, memakan pakan yang kering dan tidur dalam kandang batu.
Populasinya kini mulai berkurang karena banyak disembelih untuk keperluan tertentu dan dijual antarpulau, bahkan sampai ke negara Timor Leste yang berbatasan langsung dengan MBD.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014