Ambon, 8/11 (Antara) - Majelis hakim Pengadilan Negeri Ambon mengingatkan saksi Rasela Leiwakabessy bahwa pemalsuan identitas diri seseorang secara sengaja untuk kepentingan pembuatan kartu tanda penduduk atau urusan lainnya terancam enam hingga delapan tahun penjara.

"Harusnya setiap data identitas seseorang seperti tujuh korban kasus perdagangan manusia dan dijadikan PSK ini diteliti secara baik dan cermat karena ada ancaman hukumannya," kata ketua majelis hakim PN setempat, S. Pujiono didamping Hamzah Khailul dan Leo Sukarno di Ambon, Rabu.

Pernyataan majelis hakim disampaikan dalam persidangan kasus perdagangan manusia dengan terdakwa Siti Aisyah dan Debi Sirajudin yang agendanya berupa pemeriksaan saksi Rasela Leiwakabessy, pegawai Kantor Kecamatan Sirimau (Kota Ambon).

Dalam persidangan tersebut, saksi Rasela mengaku awalnya menerima berkas data identitas tujuh saksi korban dari seorang Satpam di lokalisasi Tanjung Batumerah bernama Jack untuk pengurusan KTP Elektronik.

"Saya hanya sekali bertemu dengan terdakwa Deby, sedangkan berkas enam korban yang ingin mengurus KTP Elektronik tetapi menggunakan satu daftar KK ini diserahkan oleh Satpam," katanya.

Usai pengambilan data pribadi dan foto, berkasnya diserahkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Ambon guna proses pembuatan KTP Elektronik.

Dalam persidangan itu, JPU Kejati Maluku Ester Wattimury juga menghadirkan saksi lainnya atas nama Feisal yang merupakan teman dekat seorang saksi korban bernama Dinda.

"Saya kenal saksi korban sejak tahun 2015 lalu yang saat itu baru berusia 15 tahun dan yang bersangkutan mengaku ingin keluar dari lokalisasi namun terjerat hutang kepada terdakwa Deby," jelas Feisal.

Mereka juga merasa ditipu terdakwa Siti Aisyah karena dijanjikan pekerjaan berupa menyiram minuman ke gelas tamu dan setiap bulan akan menerima gaji Rp5 juta, tetapi faktanya dipekerjakan sebagai PSK.

Anak-anak yang masih di bawah umur ini direkrut terdakwa Siti ketika pulang ke Makassar (Sulsel) dengan iming-iming akan bekerja menyiram minuman bagi tamu dan mendapatkan gaji Rp5 juta per bulan atau sekitar Rp1 juta setiap hari.

Terbongkarnya kasus ini berawal dari saksi Sasuhuhe, anggota Polda Maluku mendapat informasi adanya sejumlah anak di bawah umur yang dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial pada salah satu wisma di lokalisasi Batu Merah Tanjung.

Siti Aisha yang bekerja dengan terdakwa Deby awalnya pulang ke kampung halamannya di Makassar dan merekrut AA, ANN, serta NHS yang masih berumur 13 tahun lalu menghubungi terdakwa Deby untuk mengirimkan kode boking tiket pesawat untuk membawa korban ke Ambon.

Setibanya di Kota Ambon, terdakwa Siti membawa para korban ke tempat terdawak Deby dan menempatkan mereka pda kamar sewa untuk dipekerjakan sebagai pramuria dan PSK.

Kemudian antara Januari hingga Maret 2016, terdakwa Deby mendatangkan lagi saksi korban AR, PWR, NNS, serta SR dari Makassar ke Ambon dengan cara mengirimkan kode boking tiket pesawat lalu dipekerjakan sebagai pramuria dan melayani tamu laki-laki layaknya hubungan suami isteri.

Selanjutnya para korban diwajibkan menyetor uang kepda terdawa Deby dari hasil melayani para tamu sebesar Rp20.000 ditambah satu botol bir yang diminum tamu sebesar Rp65.000, dan korban jga harus menggantikan uang tiket pesawat rata-rata Rp1,5 juta dengan cara mencicil.

Perbuatan mereka diancam melanggar pasal 2 ayat (2) Undang-Undang nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

JPU juga menjerat terdakwa telah melanggar pasal 88 juncto pasal 76 Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang perlindungan anak.

Pewarta: Daniel Leonard

Editor : John Nikita S


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2017