Nama Gamma hydroxybutyrate atau GHB belakangan mencuat seiring kasus klub malam Burning Sun di Korea Selatan yang menyeret mantan personel BIGBANG, Seungri.
Peter Sheath, dari the drugs charity Addaction di Inggris, seperti dilansir the Guardian menyebut GHB marak digunakan dalam pesta seks untuk meningkatkan pengalaman seksual dan membantu orang bersuka ria tanpa merasa terhambat.
Padahal, zat yang tergolong obat terlarang itu punya reputasi buruk yang jauh lebih dahsyat ketimbang manfaatnya. Awalnya, mereka yang menyalahgunakan GHB biasanya mengalami gemetar dan gelisah.
Lalu, paranoia hingga delirium (atau menurunnya kemampuan memusatkan perhatian, liglung, mengalami disorientasi hingga tidak mampu berpikir secara jernih). Kondisi delirium bisa terjadi dalam waktu enam jam setelah pemakaian GHB.
Penelitian dalam European College of Neuropsychopharmacology (ECNP) tahun 2018, menunjukkan penyalahgunaan GHB bisa merusak memori jangka panjang dan fungsi kognitif.
Pada tingkat neurologis, cara kerja GHB mirip dengan depresan seperti alkohol dan obat-obatan dari kelompok benzodiazepine, seperti diazepam dan lorazepam. Dalam jangka pendek zat ini membuat pengguna merasa tak terkalahkan. Tetapi dalam jangka panjang GHB meningkatkan kecemasan dan depresi.
Tingkat overdosis GHB juga tinggi. Hasil temuan Global Drug Survey tahun 2018 yang melibatkan 1000 pengguna GHB, menunjukkan satu dari empat wanita (dan satu dari enam pria) mengalami overdosis dalam 12 bulan terakhir.
Psikiater yang terlibat dalam survei, Adam Winstock menyebut tingkat overdosis ini luar biasa ketimbang zat lainnya.
"Mereka (pengguna) mungkin berhenti bernapas sama sekali," kata dia.
GHB bahkan bisa merenggut nyawa penggunanya, seperti yang dialami Putra Graham Bloor, Paddy Bloor yang meninggal dalam usia 21 tahun. Padahal dia bukan pengguna reguler GHB.
“Kami tidak tahu berapa banyak GHB yang dimilikinya, tetapi ia pingsan dan orang-orang yang ada di sana membuatnya tertidur. Sulit untuk menentukan batas waktu yang pasti, tetapi pada titik tertentu mereka pasti mengira dia begitu tidak berdaya sehingga dia membutuhkan perhatian medis dan mereka memanggil ambulans," papar Bloor.
Ambulans tiba saat Paddy sudah mengalami serangan jantung. Para paramedis mampu memulihkan jantungnya, tetapi otaknya sudah terlalu lama kekurangan oksigen dan dia tidak pernah pulih. Dia meninggal di rumah sakit dua hari kemudian.
“Tes menunjukkan dia meninggal karena toksisitas GHB, yang menyebabkan dia terkena serangan jantung," kata Bloor.
GHB sebenarnya produk alami metabolisme manusia, artinya disintesis ketika makanan dipecah dan diubah menjadi energi untuk sel-sel kita. Ketika disintesis secara artifisial, GHB dapat berbentuk bubuk putih, seperti garam atau cairan bening.
Zat ini pertama kali disintesis sebagai obat bius pada tahun 1960-an. Sejak saat itu, GHB juga digunakan untuk mengobati narkolepsi dan, lalu pada tahun 1980-an, sebagai pembakar lemak dan pembangun otot. Pada awal tahun 2000-an, zat ini lebih sering dikenal sebagai "ekstasi cair".
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019
Peter Sheath, dari the drugs charity Addaction di Inggris, seperti dilansir the Guardian menyebut GHB marak digunakan dalam pesta seks untuk meningkatkan pengalaman seksual dan membantu orang bersuka ria tanpa merasa terhambat.
Padahal, zat yang tergolong obat terlarang itu punya reputasi buruk yang jauh lebih dahsyat ketimbang manfaatnya. Awalnya, mereka yang menyalahgunakan GHB biasanya mengalami gemetar dan gelisah.
Lalu, paranoia hingga delirium (atau menurunnya kemampuan memusatkan perhatian, liglung, mengalami disorientasi hingga tidak mampu berpikir secara jernih). Kondisi delirium bisa terjadi dalam waktu enam jam setelah pemakaian GHB.
Penelitian dalam European College of Neuropsychopharmacology (ECNP) tahun 2018, menunjukkan penyalahgunaan GHB bisa merusak memori jangka panjang dan fungsi kognitif.
Pada tingkat neurologis, cara kerja GHB mirip dengan depresan seperti alkohol dan obat-obatan dari kelompok benzodiazepine, seperti diazepam dan lorazepam. Dalam jangka pendek zat ini membuat pengguna merasa tak terkalahkan. Tetapi dalam jangka panjang GHB meningkatkan kecemasan dan depresi.
Tingkat overdosis GHB juga tinggi. Hasil temuan Global Drug Survey tahun 2018 yang melibatkan 1000 pengguna GHB, menunjukkan satu dari empat wanita (dan satu dari enam pria) mengalami overdosis dalam 12 bulan terakhir.
Psikiater yang terlibat dalam survei, Adam Winstock menyebut tingkat overdosis ini luar biasa ketimbang zat lainnya.
"Mereka (pengguna) mungkin berhenti bernapas sama sekali," kata dia.
GHB bahkan bisa merenggut nyawa penggunanya, seperti yang dialami Putra Graham Bloor, Paddy Bloor yang meninggal dalam usia 21 tahun. Padahal dia bukan pengguna reguler GHB.
“Kami tidak tahu berapa banyak GHB yang dimilikinya, tetapi ia pingsan dan orang-orang yang ada di sana membuatnya tertidur. Sulit untuk menentukan batas waktu yang pasti, tetapi pada titik tertentu mereka pasti mengira dia begitu tidak berdaya sehingga dia membutuhkan perhatian medis dan mereka memanggil ambulans," papar Bloor.
Ambulans tiba saat Paddy sudah mengalami serangan jantung. Para paramedis mampu memulihkan jantungnya, tetapi otaknya sudah terlalu lama kekurangan oksigen dan dia tidak pernah pulih. Dia meninggal di rumah sakit dua hari kemudian.
“Tes menunjukkan dia meninggal karena toksisitas GHB, yang menyebabkan dia terkena serangan jantung," kata Bloor.
GHB sebenarnya produk alami metabolisme manusia, artinya disintesis ketika makanan dipecah dan diubah menjadi energi untuk sel-sel kita. Ketika disintesis secara artifisial, GHB dapat berbentuk bubuk putih, seperti garam atau cairan bening.
Zat ini pertama kali disintesis sebagai obat bius pada tahun 1960-an. Sejak saat itu, GHB juga digunakan untuk mengobati narkolepsi dan, lalu pada tahun 1980-an, sebagai pembakar lemak dan pembangun otot. Pada awal tahun 2000-an, zat ini lebih sering dikenal sebagai "ekstasi cair".
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2019