Maluku Media Center (MMC), Kamis, menggelar diskusi antara wartawan dan Tim Pencari Fakta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk mengkaji penetapan Ridwan Salamun (almarhum), wartawan SUN TV (grup MMC), sebagai tersangka dalam kerusuhan warga di Kota Tual pada 21 Agustus 2010. Diskusi yang digelar di Lapangan Merdeka Ambon itu mengkaji langkah Polres Maluku Tenggara yang menetapkan Ridwan sebagai tersangka, padahal kameramen "naas" itu justru tewas dianiaya oleh salah satu kelompok warga yang bertikai, saat melakukan peliputan. "Peringatan 40 hari meninggalnya Ridwan diwarnai perkembangan terbaru dari hasil penyelidikan Polres Maluku Tenggara. Kabid Humas Polda Maluku AKBP J Huwae dalam siaran pers beberapa hari lalu menyatakan Ridwan sudah ditetapkan sebagai tersangka," kata Koordinator MMC Insany Syahbarwaty. Insany mengatakan, dalam rilis tersebut Ridwan Salamun dijadikan tersangka atas tuduhan melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan Hasan Tamnge mengalami luka berat. Tuduhan tersebut tertuang dalam laporan polisi LP/244a/VIII/2010/Maluku/Res Malra. "Menurut Kabid Humas, ada empat saksi yang menguatkan tuduhan tersebut. Dia juga mengatakan bahwa Ridwan memarangi Hasan Tamnge di bagian leher. Jadi Ridwan tidak sedang melakukan tugas jurnalistik tapi terlibat dalam konflik itu," kata Insany. Dikatakan Insany, status tersangka Ridwan itu jelas menohok para jurnalis yang sedang berjuang mengungkapkan fakta sebenarnya di lapangan. "Laporan hasil temuan tim investigasi Komnas HAM di Tual, Maluku Tenggara kepada MMC pada 6 September 2010 justru menemukan sejumlah saksi yang melihat Ridwan sedang membawa handicam dan meliput sejumlah rumah rusak di kawasan bertikai Desa Fiditan, Kecamatan Dulla Utara," ungkap Insany. Dia mengatakan, laporan Komnas HAM itu sesuai dengan pernyataan Kapolda Maluku, Brigjen Polisi Totoy Herawan Indra pada 21 Agustus 2010 bahwa Ridwan adalah korban dari bentrokan massa di Desa Fiditan, Tual. Kapolda juga menyatakan sedang mencari sejumlah alat bukti termasuk handicam milik korban. "Selain itu, sejumlah alat bukti foto dan video yang diterima MMC dari kalangan jurnalis di Tual menunjukan kondisi korban dan siapa saja yang berada di tempat kejadian perkara, termasuk polisi. Korban bahkan dibiarkan terkapar di jalan raya dalam keadaan hidup, tanpa ada pertolongan hingga satu jam lebih," katanya. Perbedaan penyidikan polisi dan temuan Komnas HAM itu, menurut Insany, menunjukan ketidaktransparan pihak Polda Maluku dalam menuntaskan kasus itu. "Di negara yang menempatkan hukum di atas segala-galanya ini mengapa selalu tidak mampu mengungkapkan fakta, menyampaikan kebenaran dan menindak yang salah adalah salah, benar adalah benar," kata Insany. Diskusi terbuka dengan judul "Polisi salah kaprah, Ridwan jadi tersangka" itu melahirkan beberapa kesimpulan yakni MMC harus dapat mematahkan hasil penyidikan polisi yang menyatakan bahwa saat pertikaian berlangsung, Ridwan tidak sedang meliput melainkan terlibat dalam konflik. Kedua, perbedaan pendapat antara Kapolda Maluku pada 21 Agustus 2010 dengan rilis Kabid Humas yang disampaikan ke media-media beberapa hari lalu menunjukan ada masalah di pihak kepolisian, karena itu MMC butuh dukungan politik. Sedangkan Istri dan orang tua korban harus dapat memulihkan harkat dan martabatnya. Ketiga, ketika seseorang itu meninggal, maka tidak ada urgensi pidana terhadapnya.

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2010