Ternate (ANTARA) - Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum (Kemenkum) Maluku Utara (Malut), melalui Divisi Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum (PerUU) mengikuti Webinar Uji Publik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP), secara daring Jumat (31/10/2025).
Kegiatan ini dibuka langsung oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Dhahana Putra, dan menghadirkan tiga pakar hukum pidana sebagai narasumber, yakni Marcus Priyo Gunarto, Supriyadi, dan Muhammad Fatahillah.
Dalam sambutannya, Dhahana Putra menjelaskan bahwa penyusunan RUU tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati merupakan amanat Pasal 102 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
"RUU ini menjadi salah satu program prioritas dalam Prolegnas Tahun 2025, berdasarkan hasil sidang Paripurna DPRD Republik Indonesia pada 23 Desember 2025, ujarnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pasal tersebut mengamanatkan lahirnya regulasi tersendiri yang mengatur secara rinci tata cara pelaksanaan pidana mati. Paradigma baru yang diusung dalam RUU ini menekankan adanya unsur pembinaan melalui masa percobaan, bukan semata hukuman final.
Kakanwil Kemenkum Malut, Budi Argap Situngkir yang hadir secara virtual menerangkan uji publik RUU tentang Tata Pelaksanaan Pidana Mati merupakan wadah yang baik untuk memberikan ruang kepada publik dan ahli untuk memberikan pandangan dan masukan terkait implementasinya.
“Melalui partisipasi aktif dalam uji publik ini, Kanwil Kemenkum Malut berkomitmen untuk terus mengawal dan memberikan kontribusi pemikiran demi terwujudnya sistem hukum pidana yang lebih beradab, humanis, dan berkeadilan,” pungkas Argap.
Kegiatan kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dan pemaparan oleh para pakar hukum pidana. Narasumber Supriyadi menyampaikan catatan kritis terhadap beberapa substansi RUU, di antaranya belum diaturnya secara jelas mekanisme masa percobaan bagi terpidana mati serta pelaksanaan pidana mati di lingkungan militer.
Kemudian, Muhammad Fatahillah Akbar, mengulas arah kebijakan pidana mati dalam konteks abolisionisme de facto, yaitu pergeseran menuju sistem yang lebih humanis dengan memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki diri.
Selanjutnya, Prof Marcus Priyo Gunarto menilai bahwa model hukuman mati dengan masa percobaan dapat menjadi jalan tengah antara kelompok yang mendukung dan menolak hukuman mati. Ia menekankan pentingnya kejelasan mekanisme hukum agar pelaksanaan pidana mati berjalan adil dan tidak multitafsir.
