Ambon, 19/5 (Antara Maluku) - Koalisi Save Romang Island mendesak DPRD Maluku mengeluarkan sebuah rekomendasi untuk membekukan sementara pengeboran material emas PT. Gemala Borneo Utama (GBU) di Pulau Romang, Kabupaten Maluku Barat Daya.
"Kami minta dukungan politik DPRD lewat komisi B untuk ikut memperjuangkan penghentian aktivitas GBU yang sangat meresahkan warga adat setempat," kata koodinator Koalisi Save Romang, Colin Lepui di Ambon, Kamis.
Penjelasan Colin disampaikan dalam pertemuan Komisi B DPRD Maluku dengan Koalisi Save Romang Island yang merupakan gabungan berbagai LSM seperti Lembaga Kalesang Maluku, LSM Walang Aspirasi, himpunan mahasiwa dan perwakilan adat masyarakat Pulau Romang.
Menurut dia, 90 persen masyarakat adat Pulau Romang menolak kehadiran PT. GBU yang notabene merupakan anak perusahaan asal Australia, PT. Robust Resources Ltd masuk ke Pulau Romang sejak tahun 2006 dan mendapatkan izin eksplorasi selama sembilan tahun.
"Pulau Romang juga termasuk pulau kecil karena luasnya hanya sekitar 17.500 meter persegi tetapi ada spekulasi laporan dari perusahaan maupun pemerintah daerah bahwa luasnya mencapai 23.000 meter persegi sehingga kegiatan eksplorasi di sana dinilai sudah melanggar Undang-Undang 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil," katanya.
Luas wilayah Pulau Romang yang hanya 17.500 meter persegi, sementara areal eksplorasi PT. GBU dalam IUP 9.984 hektar maka tersisa 7.520 ha adalah wilayah pemukiman dan pesisir.
Lokasi pengeboran yang dilakukan PT. GBU sejak 2006 hingga kini mencapai lebih dari 500 titik bor dan wilayah itu merupakan sumber-sumber air minum bagi warga, kemudian terjadi proses penipuan dan penindasan terhadap tatanan adat .
Ketua LSM Walang Aspirasi Maluku, Christian Sea juga menuding Kadis ESDM Maluku, Martha Nanlohy sebagai penjahat lingkungan, karena telah memberikan izin bagi GBU untuk melakukan eksplorasi hingga menimbulkan kerusakan lingkungan,
Puncak perlawanan warga Romang yang menolak kehadiran GBU terjadi pada tahun 2012, ketika 418 orang masyarakat adat pergi ke Wonrel-Kisar, Ibu Kota Sementara Kabupaten MBD untuk melakukan aksi protes, namun mantan Kapolsek setempat justeru menyebut mereka Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).
Koalisi Save Romang Island juga menunding Pemkab MBD melanggar sejumlah Undang-Undang terkait pemberian izin kepada GBU dan mereka tidak berpihak pada rakyat Romang sehingga warga merasa termarginalisasi selama ini.
Kehadiran PT. Robust Recourses Ltd melalui GBU selaku anak perusahaannya juga tidak membawa manfaat positif bagi warga Romang dan hanya menguntungkan oknum-oknum tertentu.
"Perusahaan asal Australia ini pernah menghibahkan Rp8 miliar kepada Pemkab MBD untuk pematangan lahan di Tiakur saat pengangkutan 9 ton sampel material mengandung emas ke Surabaya (Jatim) untuk uji coba laboratorium, sehingga kami menduga ini sebuah gratifikasi karena hibah tersebut tidak jelas," katanya.
Ketua Komisi B DPRD Maluku, Reinhard Toumahuw mengatakan, pihaknya punya kewenangan melakukan pengawasan sehingga seluruh data yang diberikan koalisi ini akan dipelajari terlebih dahulu.
"Pertemuan hari ini belum bisa diambil keputusan apa pun, karena persoalan ini terkait langsung dengan kebijakan Kementerian ESDM, namun dokumen yang ada akan kami pelajari untuk melihat pihak-pihak mana saja yang akan dipanggil ke komisi," katanya.