Warga di sentra tanaman sagu di Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, masih mempertahankan cara tradisional untuk mengolah komoditas bahan pangan tersebut.
"Rata-rata yang membuat sagu adalah anak-anak muda dan caranya masih sama (tradisional, red.) tidak berubah," kata warga Desa Tulehu, Deki (42), kepada ANTARA di Ambon, Senin.
Ia mengatakan Tulehu sentra tanaman sagu di Maluku, di mana tempat tersebut terdapat empat jenis pohon sagu yang sudah ditanam secara turun-temurun oleh warga setempat. Pengolahan sagu di Tulehu juga masih mempertahankan cara tradisional, membutuhkan tenaga dan waktu yang cukup lama untuk membuatnya.
Fadli, seorang pengolah sagu di daerah itu, mengatakan permintaan sagu di daerah tersebut paling banyak untuk memenuhi kebutuhan di Kota Ambon, Ibu Kota Provinsi Maluku.
Ia mengatakan harga satu sagu tumang di tingkat pengumpul di Kota Ambon Rp35.000. Sagu tumang hasil pengolahan secara tradisional komoditas tersebut, berupa sagu yang dibungkus daun. Sagu tumang dijadikan tepung sagu dan papeda, makanan khas Maluku berupa sagu yang disiram air panas sehingga seperti bubur dengan tekstur yang kenyal.
"Satu sagu tumang di pengumpul Rp35.000 tapi kalau sudah harga eceran bisa dua kali lipatnya," ujarnya.
Ia menjelaskan perbedaan mengolah sagu yang menggunakan alat mekanik hanyalah mesin pemarut dan gergaji mesin. Mesin tersebut menggantikan proses lama yakni memukul sagu untuk mendapatkan serat dari mot (batang pecahan).
Selebihnya masih tradisional. Begitu batang pohon sagu ditebang dari hutan dan dipotong menjadi mot, langsung dialirkan ke sungai menuju tempat pemarutan di bagian hilir. Tempat itu bernama Walang Goti yang biasanya ada 4-5 pekerja. Di tempat itu mot dipecah lebih kecil sehingga mudah untuk diparut, kemudian melalui proses penyaringan yang disebut Sahani.
Sahani dilakukan secara manual yakni menyaring serbuk sagu dengan kain di air mengalir. Hasilnya sagu berwarna putih akan mengendap di dasar wadah penampung yang didesain seperti cetakan berukuran panjang. Hasil penyaringan itu disebut sagu tumang.
Menurut dia, permintaan sagu dari Desa Tulehu masih tetap stabil dan tidak terpengaruh Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang saat ini masih berlangsung di sebagian besar wilayah Provinsi Maluku.
"Tidak terpengaruh PPKM, pesanan sagu tetap saja ada karena sagu sudah jadi seperti makanan utama bagi sebagian besar warga," kata Fadli.
Baca juga: Puluhan ribu sagu bakar dikirim dari Ambon ke Jabodetabek untuk bantu warga terdampak COVID-19
Baca juga: Walang Tahusa Kamal lestarikan pangan lokal Maluku bahan dasar sagu
Baca juga: Warga lokal Maluku mulai tinggalkan sagu
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
"Rata-rata yang membuat sagu adalah anak-anak muda dan caranya masih sama (tradisional, red.) tidak berubah," kata warga Desa Tulehu, Deki (42), kepada ANTARA di Ambon, Senin.
Ia mengatakan Tulehu sentra tanaman sagu di Maluku, di mana tempat tersebut terdapat empat jenis pohon sagu yang sudah ditanam secara turun-temurun oleh warga setempat. Pengolahan sagu di Tulehu juga masih mempertahankan cara tradisional, membutuhkan tenaga dan waktu yang cukup lama untuk membuatnya.
Fadli, seorang pengolah sagu di daerah itu, mengatakan permintaan sagu di daerah tersebut paling banyak untuk memenuhi kebutuhan di Kota Ambon, Ibu Kota Provinsi Maluku.
Ia mengatakan harga satu sagu tumang di tingkat pengumpul di Kota Ambon Rp35.000. Sagu tumang hasil pengolahan secara tradisional komoditas tersebut, berupa sagu yang dibungkus daun. Sagu tumang dijadikan tepung sagu dan papeda, makanan khas Maluku berupa sagu yang disiram air panas sehingga seperti bubur dengan tekstur yang kenyal.
"Satu sagu tumang di pengumpul Rp35.000 tapi kalau sudah harga eceran bisa dua kali lipatnya," ujarnya.
Ia menjelaskan perbedaan mengolah sagu yang menggunakan alat mekanik hanyalah mesin pemarut dan gergaji mesin. Mesin tersebut menggantikan proses lama yakni memukul sagu untuk mendapatkan serat dari mot (batang pecahan).
Selebihnya masih tradisional. Begitu batang pohon sagu ditebang dari hutan dan dipotong menjadi mot, langsung dialirkan ke sungai menuju tempat pemarutan di bagian hilir. Tempat itu bernama Walang Goti yang biasanya ada 4-5 pekerja. Di tempat itu mot dipecah lebih kecil sehingga mudah untuk diparut, kemudian melalui proses penyaringan yang disebut Sahani.
Sahani dilakukan secara manual yakni menyaring serbuk sagu dengan kain di air mengalir. Hasilnya sagu berwarna putih akan mengendap di dasar wadah penampung yang didesain seperti cetakan berukuran panjang. Hasil penyaringan itu disebut sagu tumang.
Menurut dia, permintaan sagu dari Desa Tulehu masih tetap stabil dan tidak terpengaruh Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang saat ini masih berlangsung di sebagian besar wilayah Provinsi Maluku.
"Tidak terpengaruh PPKM, pesanan sagu tetap saja ada karena sagu sudah jadi seperti makanan utama bagi sebagian besar warga," kata Fadli.
Baca juga: Puluhan ribu sagu bakar dikirim dari Ambon ke Jabodetabek untuk bantu warga terdampak COVID-19
Baca juga: Walang Tahusa Kamal lestarikan pangan lokal Maluku bahan dasar sagu
Baca juga: Warga lokal Maluku mulai tinggalkan sagu
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021