Diakui atau tidak, belakangan ini masih muncul keraguan dan kekhawatiran sebagian orang tua murid terkait pembelajaran tatap muka (PTM) di tengah pandemi yang belum berakhir.
Keraguan dan kekhawatiran itu muncul karena PTM berlangsung saat wabah virus corona masih menjadi momok sehingga sebagian orang tua murid masih memilih metode pembelajaran jarak jauh (PJJ)
Kebetulan PTM masih bersifat uji coba. Itu pun masih terbatas sehingga antara PTM dan PJJ masih merupakan pilihan (opsi).
Selain itu, sebagian orang murid menyambut antusias PTM karena yakin telah disertai prosedur penerapan protokol kesehatan (prokes) ketat.
Terkait hal itu, PTM pun bisa berlangsung secara baik, kendati ada sejumlah temuan dan kasus positif terinfeksi virus corona (COVID-19).
Namun, ada juga temuan terkait dengan pelanggaran prokes.
Seluruh kasus dan temuan itu telah ditindaklanjuti oleh instansi terkait, antara lain dengan penutupan dan penghentian sementara PTM selama tiga hari guna penyemprotan disinfektan di ruang-ruang belajar.
Secara nasional temuan kasus positif COVID-19 maupun pelanggaran prokes terbilang kecil. Artinya, ada kasus, tetapi bukan klaster.
Hal itu bisa dicermati dari penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) pada Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) Jumeri.
Sebanyak 97,2 persen sekolah tidak memiliki kasus COVID-19 di satuan pendidikan yang menyelenggarakan uji coba PTM.
Baca juga: Ikhtiar mempercepat kembali belajar di sekolah saat pandemi
Angka 2,8 persen satuan pendidikan itu bukanlah data klaster COVID-19, tetapi data satuan pendidikan yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular COVID-19.
"Jadi, 97,2 persen sekolah tidak memiliki warga sekolah yang terinfeksi COVID-19,” ujar Jumeri di Jakarta, Jumat (24/9).
Bukan akumulasi
Artinya, belum tentu juga penularan COVID-19 terjadi di satuan pendidikan. Data tersebut didapatkan dari laporan 46.500 satuan pendidikan yang mengisi survei dari Kemendikbud-Ristek.
Satuan pendidikan tersebut ada yang sudah melaksanakan PTM terbatas dan ada juga yang belum.
Karena itu, angka 2,8 persen satuan pendidikan yang diberitakan terjadi kasus COVID-19 itu bukanlah laporan akumulasi dari kurun waktu satu bulan terakhir, tetapi 14 bulan terakhir sejak Juli 2020.
Selanjutnya, isu yang beredar mengenai 15.000 siswa dan 7.000 guru positif COVID-19 berasal dari laporan yang disampaikan oleh 46.500 satuan pendidikan yang belum diverifikasi.
Misalnya, kesalahan input data yang dilakukan satuan pendidikan seperti laporan jumlah guru dan siswa positif COVID-19 lebih besar daripada jumlah total guru dan siswa pada satuan pendidikan tersebut.
Ke depan, Kemendikbud-Ristek sedang mengembangkan sistem pelaporan yang memudahkan verifikasi data karena keterbatasan akurasi data laporan dari satuan pendidikan.
Kemendikbud-Ristek juga selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan pemantauan dinamika sekolah yang melaksanakan PTM terbatas.
Peserta didik juga bisa tetap belajar dari rumah jika orang tua belum yakin dan belum memberikan izin untuk mengikuti PTM terbatas.
Baca juga: Melek digital gara-gara pandemi COVID-19
Hingga saat ini, tidak ada proses menghukum dan diskriminasi bagi anak-anak yang belajar dari rumah.
Berlanjut
Meski ada temuan kasus dan pelanggaran prokes, Kemendikbud-Ristek bertekad melanjutkan pelaksanaan PTM terbatas.
Jika muncul kasus COVID-19 di sekolah, menurut Sekretaris Jenderal Kemendikbud-Ristek Suharti, tidak lantas menutup kembali seluruh sekolah.
Pemerintah daerah sudah memiliki prosedur dalam menangani kluster COVID-19.
Pemda sudah memiliki kebijakan khusus dalam menangani kluster COVID-19 di daerahnya.
Misalnya saja di DKI Jakarta, jika ditemukan kasus COVID-19 di sekolah itu, maka sekolah itu ditutup beberapa hari sekaligus melakukan penelusuran kasus di sekolah itu.
Karena itu, meski klaster sekolah bermunculan tidak lantas menutup kembali sekolah di Tanah Air.
Apalagi kebijakan membuka kembali sekolah bukan dilakukan dengan serta-merta, melainkan melalui banyak pertimbangan.
Sekolah juga harus memenuhi persyaratan yang cukup ketat yakni mulai dari dukungan sarana-prasarana, vaksinasi COVID-19 bagi para pendidik, siswa dan juga warga sekolah lainnya.
Selain itu, ada daftar periksa yang harus diisi sekolah. Kalau daftar belum terpenuhi maka sekolah tidak bisa melaksanakan PTM terbatas.
Baca juga: Tuntaskan pandemi secara permanen, jangan sampai tambal sulam
Sekolah-sekolah yang tidak memenuhi syarat PTM terbatas, akan dengan sendirinya tidak bisa memulai pembelajaran tatap muka dan sebaliknya, jika sekolah memang memenuhi daftar periksa, maka sekolah juga diizinkan menggelar PTM terbatas.
Daftar periksa tersebut disusun oleh banyak pihak, yakni Kemendikbud-Ritsek, Satgas COVID-19 dan Kementerian Kesehatan.
Parameter yang harus dipenuhi sudah memenuhi standar keamanan untuk menghindari penularan COVID-19 di sekolah.
Saat ini, pemerintah terus mempercepat target vaksinasi bagi guru dan tenaga kependidikan.
Kemenkes juga sudah menerbitkan surat edaran agar pemda memprioritaskan vaksinasi pada guru dan pendidik.
Sebanyak 490.217 sekolah telah melakukan PTM terbatas. Sekolah-sekolah itu ada di wilayah PPKM level satu hingga tiga, tetapi kecepatan daerah dalam melakukan PTM terbatas sangat bervariasi.
Saat ini Provinsi Aceh menduduki peringkat teratas dalam pelaksanaan PTM terbatas, yaitu sebanyak 81 persen.
Secara nasional, sekolah yang sudah melakukan PTM terbatas berjumlah 50 persen dari jumlah sekolah yang sudah diizinkan melakukan PTM terbatas.
Permanen
Kini sebagian besar komponen pemerintah daerah, pemerintah pusat, guru, peserta didik dan orang tua, sudah punya tujuan yang sama, yaitu agar sekolah segera bisa dibuka.
Pemerintah dan ekosistem pendidikan tampaknya sudah satu frekuensi untuk segera membuka sekolah.
Baca juga: Mengembangkan destinasi wisata lewat pembiayaan digital di saat pandemi
Hal itu untuk merelaksasi dan menolong anak-anak sekolah dari kejenuhan PJJ.
Soal beda waktu membuka sekolah ini hanya soal perbedaan pertimbangan daerah. Semua sepakat bahwa pendidikan tidak boleh berhenti dalam situasi apapun.
Hal itu seiring dengan keinginan Mendikbud-Ristek Nadiem Makari bahwa gerak cepat PTM terbatas untuk mengantisipasi dampak negatif permanen yang bisa menyerang anak-anak.
Dampaknya kalau tidak bergerak cepat PTM maka pertama, pelajar akan kehilangan kesempatan belajar (loss of learning) yang bisa permanen. Kedua, adalah kesehatan mental dan psikis yang juga bisa permanen di anak-anak.
PJJ yang terlalu lama juga bisa berdampak pada kurangnya interaksi anak-anak terhadap lingkungan sekitar.
Anak-anak akan merasa kesepian dan mengalami berbagai konflik di dalam rumah. Anak-anak bisa menjadi asosial.
Berbagai permasalahan itu dampaknya bisa permanen. Apalagi bagi anak yang sedang berkembang.
Risiko tersebut harus ditanggapi oleh seluruh pihak, sama pentingnya dengan risiko kesehatan.
Tidak banyak orang melihat risiko generasi berikutnya seperti apa? "Itu yang harus kami perjuangkan, hak-hak anak kita untuk melanjutkan sekolahnya yang sudah jelas tidak optimal melalui PJJ," katanya.
Karena itu, dia sangat mendukung pemerintah daerah terutama yang sudah berstatus PPKM level satu hingga tiga yang mendorong adanya PTM terbatas. Namun dengan protokol kesehatan yang dikelola dengan baik.
Baca juga: Tak ada cerita oksigen dan obat langka di masa pandemi
Minim
Mengenai risiko klaster dari satuan pendidikan, sejauh ini laporan yang masuk ke kementerian sangat minim. Apalagi sekarang angka COVID-19 per kabupaten banyak mengalami penurunan.
Banyak yang sebelumnya PPKM level empat sudah turun ke level tiga. Ini menjadi standar untuk bisa melakukan mobilitas lagi.
Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor esensial. Karena itu, jika ruang publik lain seperti mal atau restoran sudah buka maka tidak ada alasan sekolah tidak segera dibuka.
Harapannya semua was-was dengan prokes karena itulah yang memenangkan hak untuk terus PTM.
Kalau ingin melanjutkan PTM terbatas dan ingin normal lagi ke depannya, maka kuatkan dan jaga prokes selama PTM.
Orang tua harus menjalankan fungsi pemantauan di setiap sekolah.
Karena itu, selama uji coba PTM terbatas, peran orang tua dan komite sekolah sangatlah penting.
Baca juga: Belajar budaya gotong-royong saat pandemi COVID-19 dari Kota Kupang
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021
Keraguan dan kekhawatiran itu muncul karena PTM berlangsung saat wabah virus corona masih menjadi momok sehingga sebagian orang tua murid masih memilih metode pembelajaran jarak jauh (PJJ)
Kebetulan PTM masih bersifat uji coba. Itu pun masih terbatas sehingga antara PTM dan PJJ masih merupakan pilihan (opsi).
Selain itu, sebagian orang murid menyambut antusias PTM karena yakin telah disertai prosedur penerapan protokol kesehatan (prokes) ketat.
Terkait hal itu, PTM pun bisa berlangsung secara baik, kendati ada sejumlah temuan dan kasus positif terinfeksi virus corona (COVID-19).
Namun, ada juga temuan terkait dengan pelanggaran prokes.
Seluruh kasus dan temuan itu telah ditindaklanjuti oleh instansi terkait, antara lain dengan penutupan dan penghentian sementara PTM selama tiga hari guna penyemprotan disinfektan di ruang-ruang belajar.
Secara nasional temuan kasus positif COVID-19 maupun pelanggaran prokes terbilang kecil. Artinya, ada kasus, tetapi bukan klaster.
Hal itu bisa dicermati dari penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (PAUD Dikdasmen) pada Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) Jumeri.
Sebanyak 97,2 persen sekolah tidak memiliki kasus COVID-19 di satuan pendidikan yang menyelenggarakan uji coba PTM.
Baca juga: Ikhtiar mempercepat kembali belajar di sekolah saat pandemi
Angka 2,8 persen satuan pendidikan itu bukanlah data klaster COVID-19, tetapi data satuan pendidikan yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular COVID-19.
"Jadi, 97,2 persen sekolah tidak memiliki warga sekolah yang terinfeksi COVID-19,” ujar Jumeri di Jakarta, Jumat (24/9).
Bukan akumulasi
Artinya, belum tentu juga penularan COVID-19 terjadi di satuan pendidikan. Data tersebut didapatkan dari laporan 46.500 satuan pendidikan yang mengisi survei dari Kemendikbud-Ristek.
Satuan pendidikan tersebut ada yang sudah melaksanakan PTM terbatas dan ada juga yang belum.
Karena itu, angka 2,8 persen satuan pendidikan yang diberitakan terjadi kasus COVID-19 itu bukanlah laporan akumulasi dari kurun waktu satu bulan terakhir, tetapi 14 bulan terakhir sejak Juli 2020.
Selanjutnya, isu yang beredar mengenai 15.000 siswa dan 7.000 guru positif COVID-19 berasal dari laporan yang disampaikan oleh 46.500 satuan pendidikan yang belum diverifikasi.
Misalnya, kesalahan input data yang dilakukan satuan pendidikan seperti laporan jumlah guru dan siswa positif COVID-19 lebih besar daripada jumlah total guru dan siswa pada satuan pendidikan tersebut.
Ke depan, Kemendikbud-Ristek sedang mengembangkan sistem pelaporan yang memudahkan verifikasi data karena keterbatasan akurasi data laporan dari satuan pendidikan.
Kemendikbud-Ristek juga selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan dan pemantauan dinamika sekolah yang melaksanakan PTM terbatas.
Peserta didik juga bisa tetap belajar dari rumah jika orang tua belum yakin dan belum memberikan izin untuk mengikuti PTM terbatas.
Baca juga: Melek digital gara-gara pandemi COVID-19
Hingga saat ini, tidak ada proses menghukum dan diskriminasi bagi anak-anak yang belajar dari rumah.
Berlanjut
Meski ada temuan kasus dan pelanggaran prokes, Kemendikbud-Ristek bertekad melanjutkan pelaksanaan PTM terbatas.
Jika muncul kasus COVID-19 di sekolah, menurut Sekretaris Jenderal Kemendikbud-Ristek Suharti, tidak lantas menutup kembali seluruh sekolah.
Pemerintah daerah sudah memiliki prosedur dalam menangani kluster COVID-19.
Pemda sudah memiliki kebijakan khusus dalam menangani kluster COVID-19 di daerahnya.
Misalnya saja di DKI Jakarta, jika ditemukan kasus COVID-19 di sekolah itu, maka sekolah itu ditutup beberapa hari sekaligus melakukan penelusuran kasus di sekolah itu.
Karena itu, meski klaster sekolah bermunculan tidak lantas menutup kembali sekolah di Tanah Air.
Apalagi kebijakan membuka kembali sekolah bukan dilakukan dengan serta-merta, melainkan melalui banyak pertimbangan.
Sekolah juga harus memenuhi persyaratan yang cukup ketat yakni mulai dari dukungan sarana-prasarana, vaksinasi COVID-19 bagi para pendidik, siswa dan juga warga sekolah lainnya.
Selain itu, ada daftar periksa yang harus diisi sekolah. Kalau daftar belum terpenuhi maka sekolah tidak bisa melaksanakan PTM terbatas.
Baca juga: Tuntaskan pandemi secara permanen, jangan sampai tambal sulam
Sekolah-sekolah yang tidak memenuhi syarat PTM terbatas, akan dengan sendirinya tidak bisa memulai pembelajaran tatap muka dan sebaliknya, jika sekolah memang memenuhi daftar periksa, maka sekolah juga diizinkan menggelar PTM terbatas.
Daftar periksa tersebut disusun oleh banyak pihak, yakni Kemendikbud-Ritsek, Satgas COVID-19 dan Kementerian Kesehatan.
Parameter yang harus dipenuhi sudah memenuhi standar keamanan untuk menghindari penularan COVID-19 di sekolah.
Saat ini, pemerintah terus mempercepat target vaksinasi bagi guru dan tenaga kependidikan.
Kemenkes juga sudah menerbitkan surat edaran agar pemda memprioritaskan vaksinasi pada guru dan pendidik.
Sebanyak 490.217 sekolah telah melakukan PTM terbatas. Sekolah-sekolah itu ada di wilayah PPKM level satu hingga tiga, tetapi kecepatan daerah dalam melakukan PTM terbatas sangat bervariasi.
Saat ini Provinsi Aceh menduduki peringkat teratas dalam pelaksanaan PTM terbatas, yaitu sebanyak 81 persen.
Secara nasional, sekolah yang sudah melakukan PTM terbatas berjumlah 50 persen dari jumlah sekolah yang sudah diizinkan melakukan PTM terbatas.
Permanen
Kini sebagian besar komponen pemerintah daerah, pemerintah pusat, guru, peserta didik dan orang tua, sudah punya tujuan yang sama, yaitu agar sekolah segera bisa dibuka.
Pemerintah dan ekosistem pendidikan tampaknya sudah satu frekuensi untuk segera membuka sekolah.
Baca juga: Mengembangkan destinasi wisata lewat pembiayaan digital di saat pandemi
Hal itu untuk merelaksasi dan menolong anak-anak sekolah dari kejenuhan PJJ.
Soal beda waktu membuka sekolah ini hanya soal perbedaan pertimbangan daerah. Semua sepakat bahwa pendidikan tidak boleh berhenti dalam situasi apapun.
Hal itu seiring dengan keinginan Mendikbud-Ristek Nadiem Makari bahwa gerak cepat PTM terbatas untuk mengantisipasi dampak negatif permanen yang bisa menyerang anak-anak.
Dampaknya kalau tidak bergerak cepat PTM maka pertama, pelajar akan kehilangan kesempatan belajar (loss of learning) yang bisa permanen. Kedua, adalah kesehatan mental dan psikis yang juga bisa permanen di anak-anak.
PJJ yang terlalu lama juga bisa berdampak pada kurangnya interaksi anak-anak terhadap lingkungan sekitar.
Anak-anak akan merasa kesepian dan mengalami berbagai konflik di dalam rumah. Anak-anak bisa menjadi asosial.
Berbagai permasalahan itu dampaknya bisa permanen. Apalagi bagi anak yang sedang berkembang.
Risiko tersebut harus ditanggapi oleh seluruh pihak, sama pentingnya dengan risiko kesehatan.
Tidak banyak orang melihat risiko generasi berikutnya seperti apa? "Itu yang harus kami perjuangkan, hak-hak anak kita untuk melanjutkan sekolahnya yang sudah jelas tidak optimal melalui PJJ," katanya.
Karena itu, dia sangat mendukung pemerintah daerah terutama yang sudah berstatus PPKM level satu hingga tiga yang mendorong adanya PTM terbatas. Namun dengan protokol kesehatan yang dikelola dengan baik.
Baca juga: Tak ada cerita oksigen dan obat langka di masa pandemi
Minim
Mengenai risiko klaster dari satuan pendidikan, sejauh ini laporan yang masuk ke kementerian sangat minim. Apalagi sekarang angka COVID-19 per kabupaten banyak mengalami penurunan.
Banyak yang sebelumnya PPKM level empat sudah turun ke level tiga. Ini menjadi standar untuk bisa melakukan mobilitas lagi.
Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor esensial. Karena itu, jika ruang publik lain seperti mal atau restoran sudah buka maka tidak ada alasan sekolah tidak segera dibuka.
Harapannya semua was-was dengan prokes karena itulah yang memenangkan hak untuk terus PTM.
Kalau ingin melanjutkan PTM terbatas dan ingin normal lagi ke depannya, maka kuatkan dan jaga prokes selama PTM.
Orang tua harus menjalankan fungsi pemantauan di setiap sekolah.
Karena itu, selama uji coba PTM terbatas, peran orang tua dan komite sekolah sangatlah penting.
Baca juga: Belajar budaya gotong-royong saat pandemi COVID-19 dari Kota Kupang
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2021