Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama-sama dengan Kementerian Dalam Negeri perlu berkolaborasi untuk mengevaluasi terkait peraturan daerah yang dinilai terindikasi membebani nelayan kecil di daerah, seperti di Maluku dan Maluku Utara (Malut).
"Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu melakukan inventarisasi dan evaluasi peraturan daerah bidang perikanan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi nelayan kecil," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Selasa.
Untuk itu, ujar dia, Kemendagri dan KKP perlu meminta pemerintah provinsi guna melaporkan regulasi daerah terkait dengan usaha perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran serta usaha garam rakyat skala kecil untuk dilakukan evaluasi dan pencabutan jika bertentangan dengan semangat dan amanah UU No 7/2016.
Abdi mencontohkan, saat ini nelayan kecil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara merasakan beban pengeluaran yang lebih tinggi dalam melakukan operasi penangkapan ikan.
Baca juga: Basarnas selamatkan nelayan Morotai yang dilaporkan hilang, begini kronologinya
Ia berpendapat hal itu karena ekonomi biaya tinggi tersebut berasal dari pungutan retribusi izin daerah dan harga BBM yang lebih mahal dari pada daerah lain.
"Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan yang akan memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil tidak akan mempengaruhi dan dimanfaatkan oleh nelayan kecil di Indonesia timur. Sebabnya karena problem dan kebutuhan penangkapan ikan nelayan kecil bukan pada sistem kontrak tapi perlindungan nelayan, ketiadaan pungutan, ketersediaan BBM dan mekanisme pendaftaran kapal perikanan," paparnya.
Abdi mengungkapkan bahwa pihaknya mendapatkan laporan dan pengaduan sejumlah nelayan kecil dari Maluku dan Maluku Utara yang diwajibkan membayar retribusi izin daerah ketika akan mengurus Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut (SIKPI).
Akibat adanya ketentuan ini, masih menurut dia, banyak kapal nelayan kecil yang tidak mendaftarkan kapalnya dan tidak melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani dan tidak mau membayar retribusi perizinan.
“Hal ini tentunya akan berimplikasi pada data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah” kata Abdi dan menambahkan, implikasi lain yang timbul akibat kebijakan ini adalah kesulitan nelayan dalam mengakses BBM bersubsidi karena tidak memiliki SIUP dan SIPI.
Baca juga: DKP fokus sediakan fasilitas nelayan Ternate, dukung tingkatkan produksi
Sementara itu peneliti DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa rencana KKP memberlakukan sistem kontrak dan memberikan prioritas kuota penangkapan ikan kepada nelayan kecil tidak akan berjalan efektif.
Imam berpendapat bahwa rencana tersebut tidak akan efektif karena lemahnya kelembagaan koperasi perikanan saat ini.
Ia mencontohkan, di Maluku dan Papua, tidak ada satupun kelembagaan koperasi nelayan yang memiliki armada dan modal memadai untuk memenuhi syarat sistem kontrak tersebut.
Alih alih memberlakukan sistem kontrak, pihaknya meminta agar KKP memprioritaskan pelaksanaan pendataan dan registrasi kapal melalui sensus kapal ikan dan memberikan akses pembiayaan usaha perikanan tangkap kepada nelayan kecil di Indonesia timur.
“Menurut hemat kami, entry point perbaikan tata kelola perikanan Indonesia saat ini adalah dengan melakukan pendataan kapal ikan ukuran kecil melalui sensus kapal ikan dan penyediaan akses kredit melalui skema Kredit Usaha Rakyat bagi nelayan kecil” kata Imam.
Sejauh ini, ujar dia, belum ada satupun perbankan yang membuka gerai dan memberikan pelayanan KUR bagi nelayan kecil di Maluku dan Papua terutama di kabupaten kepulauan Aru dan kabupaten Merauke, padahal kedua kabupaten tersebut dinilai merupakan sentra nelayan kecil dan pusat penangkapan ikan di Indonesia timur.
Baca juga: DKP batasi pengoperasian kapal andon di Maluku, resahkan nelayan lokal
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022
"Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu melakukan inventarisasi dan evaluasi peraturan daerah bidang perikanan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi nelayan kecil," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Selasa.
Untuk itu, ujar dia, Kemendagri dan KKP perlu meminta pemerintah provinsi guna melaporkan regulasi daerah terkait dengan usaha perikanan tangkap, budidaya, pengolahan dan pemasaran serta usaha garam rakyat skala kecil untuk dilakukan evaluasi dan pencabutan jika bertentangan dengan semangat dan amanah UU No 7/2016.
Abdi mencontohkan, saat ini nelayan kecil di Provinsi Maluku dan Maluku Utara merasakan beban pengeluaran yang lebih tinggi dalam melakukan operasi penangkapan ikan.
Baca juga: Basarnas selamatkan nelayan Morotai yang dilaporkan hilang, begini kronologinya
Ia berpendapat hal itu karena ekonomi biaya tinggi tersebut berasal dari pungutan retribusi izin daerah dan harga BBM yang lebih mahal dari pada daerah lain.
"Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan yang akan memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil tidak akan mempengaruhi dan dimanfaatkan oleh nelayan kecil di Indonesia timur. Sebabnya karena problem dan kebutuhan penangkapan ikan nelayan kecil bukan pada sistem kontrak tapi perlindungan nelayan, ketiadaan pungutan, ketersediaan BBM dan mekanisme pendaftaran kapal perikanan," paparnya.
Abdi mengungkapkan bahwa pihaknya mendapatkan laporan dan pengaduan sejumlah nelayan kecil dari Maluku dan Maluku Utara yang diwajibkan membayar retribusi izin daerah ketika akan mengurus Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut (SIKPI).
Akibat adanya ketentuan ini, masih menurut dia, banyak kapal nelayan kecil yang tidak mendaftarkan kapalnya dan tidak melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani dan tidak mau membayar retribusi perizinan.
“Hal ini tentunya akan berimplikasi pada data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah” kata Abdi dan menambahkan, implikasi lain yang timbul akibat kebijakan ini adalah kesulitan nelayan dalam mengakses BBM bersubsidi karena tidak memiliki SIUP dan SIPI.
Baca juga: DKP fokus sediakan fasilitas nelayan Ternate, dukung tingkatkan produksi
Sementara itu peneliti DFW Indonesia, Imam Trihatmadja mengatakan bahwa rencana KKP memberlakukan sistem kontrak dan memberikan prioritas kuota penangkapan ikan kepada nelayan kecil tidak akan berjalan efektif.
Imam berpendapat bahwa rencana tersebut tidak akan efektif karena lemahnya kelembagaan koperasi perikanan saat ini.
Ia mencontohkan, di Maluku dan Papua, tidak ada satupun kelembagaan koperasi nelayan yang memiliki armada dan modal memadai untuk memenuhi syarat sistem kontrak tersebut.
Alih alih memberlakukan sistem kontrak, pihaknya meminta agar KKP memprioritaskan pelaksanaan pendataan dan registrasi kapal melalui sensus kapal ikan dan memberikan akses pembiayaan usaha perikanan tangkap kepada nelayan kecil di Indonesia timur.
“Menurut hemat kami, entry point perbaikan tata kelola perikanan Indonesia saat ini adalah dengan melakukan pendataan kapal ikan ukuran kecil melalui sensus kapal ikan dan penyediaan akses kredit melalui skema Kredit Usaha Rakyat bagi nelayan kecil” kata Imam.
Sejauh ini, ujar dia, belum ada satupun perbankan yang membuka gerai dan memberikan pelayanan KUR bagi nelayan kecil di Maluku dan Papua terutama di kabupaten kepulauan Aru dan kabupaten Merauke, padahal kedua kabupaten tersebut dinilai merupakan sentra nelayan kecil dan pusat penangkapan ikan di Indonesia timur.
Baca juga: DKP batasi pengoperasian kapal andon di Maluku, resahkan nelayan lokal
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2022