Ambon (Antara Maluku) - Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) memetakan sebagian besar kabupaten di Maluku termasuk dalam kategori daerah tertinggal rawan konflik.
"Sebagian besar kabupaten di Maluku termasuk dalam kategori daerah tertinggal rawan konflik. Maluku Tengah (Malteng) dan Kepulauan Aru misalnya termasuk dalam 10 kabupaten tertinggal rawan konflik prioritas pertama dengan frekuensi kejadian di atas 20 kasus per tahun," kata Deputi Bidang Pembangunan daerah khusus kementerian PDT, Suprayoga Hadi, di Ambon, Jumat.
Suprayoga Hadi yang berada di Ambon dalam rangka Lokakarya nasional Perdamaian dan Pembangunan berkelanjutan itu, mengatakan, delapan kabupaten lainnya yang termasuk dalam prioritas pertama yakni Yakuhimo, Puncak Jaya dan Paniai (Provinsi Papua), Timor Tengah Selatan dan Belu (NTT), Halmahera Barat dan Halmahera Utara (Maluku Utara) serta Sukabumi (Jabar)
Selain itu, 53 Kabupaten termasuk prioritas II karena frekuensi kejadian antara 5-20 konflik per tahun dan 80 kabupaten masuk kategori prioritas III dengan frekuensi dibawah lima kejadian per tahun.
"Jadi dari total 183 kabupaten di Indonesia, 143 diantaranya termasuk dalam kategori rawan konflik," katanya.
Khusus di Maluku selain Malteng dan kepulauan Aru, empat kabupaten lainnya yakni Buru, Maluku Tenggara Barat (MTB), Seram Bagian Barat (SBB) dan Maluku Barat Daya (MBD) termasuk dalam 53 daerah rawan prioritas II, sedangkan kabupaten Seram Bagian Barat (SBT) termasuk dalam ketegori III.
Suprayoga mengakui, terhambatnya pelaksanaan kebijakan penanganan konflik di Indonesia antara lain disebabkan belum adanya kerangka hukum dan regulasi, lemahnya kapasitas SDM penanganan konflik dan perencanaan program perdamaian dan kurangnya kebijakan politik dalam memajukan daerah.
Selain itu, konflik data dan tidak adanya komitmen memperbaikinya, tata ruang dan master plan tidak jelas dan masalah kependudukan serta hak-hak keperdataan khususnya tanah, masalah penentuan batas administratif akibat pemekaran, terbatasnya anggaran pembangunan, kebijakan berpotensi konflik, identitas kesukuan yang kuat, pengelolaan konflik belum termuat dalam Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMPD), penanganan konflik bersifat parsial dan angka kemiskinan yang tinggi serta tuntutan korban konflik yang sangat besar/tinggi.
Kendati demikian, Suprayoga mengakui sejumlah langkah penanganan konflik yang dilakukan Bappenas dengan melibatkan sejumlah lembaga internasional telah berhasil mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik.
Sejumlah program yang dilakukan itu diantaranya "CEWER (conflict Early Warning and Early Response System) yang dilakukan Bappenas bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP), Pemukiman Kembali dan Reintegrasi Pengungsi Rentan yang dilakukan Uni Eropa bersama Humanist Institute for Development Cooperation (HIVOS).
Selain itu, bantuan untuk masyarakat korban konflik di Maluku yang dilakukan Uni Eropa bersama lembaga internasional Mercy Corps.
"Program CEWER yang dilaksanakan lembaga Peace Through Development (PTD) di lima daerah yakni Ambon dan Masohi (Maluku), Ternate dan Jailolo (Maluku Utara) serta Posso (Sulawesi Tengah) dinilai berhasil dan telah direplikasi di berbagai daerah," katanya.
Bahkan, lanjutnya, telah dipersiapkan program ujicoba strategis untuk mensinergikan CEWER dengan program pembangunan perdamaian yang dilakukan Bappenas dan UNDP melalui PTD.
Program PTD juga telah berhasil memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah dalam perencanaan pembangunan yang peka terhadap isu konflik, guna mendukung pencegahan konflik jangka panjang, penciptaan perdamaian dan upaya meningkatkan kehidupan masyarakat melalui usaha-usaha penciptaan perdamaian serta meningkatkan kesempatan kerja yang dilindungi oleh pemerintah.
Selain itu, pembentukan forum pemuda damai sebagai wadah bertukar pengalaman antarprovinsi peserta, kementerian/lembaga terkait dan akademisi tentang dinamika konflik, upaya pencegahan dan pengelolaannya dan mendiskusikan draf telaah kebijakan sebagai referensi penyusunan grand strategi pencegahan.
Termasuk, di dalamnya adalah pengelolaan konflik serta pembangunan perdamaian Indonesia 2010-2014, di samping mendapatkan pengalaman lapangan berkaitan isu konflik dan pembangunan sebagai pemantapan kebijakan di masa mendatang.
Sedangkan program pemukiman kembali dan reintegrasi pengungsi rentan yang dilakukan Uni Eropa dan HIVOS bertujuan memperkuat kapasitas masyarakat pengungsi paska konflik dan upaya pengembalian kehidupan lebih baik melalui fasilitas akses komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah serta komponen terkait.
"Program ini telah berjalan setahun terakhir di Maluku dengan beberapa tingkat keberhasilan diantaranya peningkatan kepemilikkan tanah melalui dialog dengan pemerintah desa dan tokoh adat setempat, bantuan paket perumahan, perencanaan masyarakat melalui rembuk warga untuk menentukan intervensi bagi keluarga terlantar," katanya.
Selain itu, pembangunan fasilitas air bersih dan sanitasi, perencanaan kegiatan bersama internal komunitas untuk peningkatan mata pencaharian serta advokasi masyarakat terlantar akibat kehilangan rumah yang ditangani lembaga Baileo dan koalisi pengungsi Maluku (KPM).
Sedangkan program Bantuan masyarakat korban konflik di Maluku yang dilakukan Uni Eropa bersama Mercy Corps telah berhasil menciptakan kapasitas kehidupan sosial masyarakat melalui tiga langkah utama pemberdayaan.
Langkah itu yakni identifikasi akses pelayanan publik dan musyawarah rencana pembangunan (musrenbang), peningkatan ekonomi masyarakat melalui akses pasar terhadap komoditi yang diproduksi serta pembentukan komite desa terlatih untuk monitoring dan evaluasi program.
Suprayoga juga menambahkan, selama tahun 2011 Kementerian PDT telah melakukan serangkaian rapat koordinasi tentang penanganan konflik di daerah tertinggal dengan kelompok kepentingan berkompeten untuk meminimalisasi terjadinya konflik.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2012
"Sebagian besar kabupaten di Maluku termasuk dalam kategori daerah tertinggal rawan konflik. Maluku Tengah (Malteng) dan Kepulauan Aru misalnya termasuk dalam 10 kabupaten tertinggal rawan konflik prioritas pertama dengan frekuensi kejadian di atas 20 kasus per tahun," kata Deputi Bidang Pembangunan daerah khusus kementerian PDT, Suprayoga Hadi, di Ambon, Jumat.
Suprayoga Hadi yang berada di Ambon dalam rangka Lokakarya nasional Perdamaian dan Pembangunan berkelanjutan itu, mengatakan, delapan kabupaten lainnya yang termasuk dalam prioritas pertama yakni Yakuhimo, Puncak Jaya dan Paniai (Provinsi Papua), Timor Tengah Selatan dan Belu (NTT), Halmahera Barat dan Halmahera Utara (Maluku Utara) serta Sukabumi (Jabar)
Selain itu, 53 Kabupaten termasuk prioritas II karena frekuensi kejadian antara 5-20 konflik per tahun dan 80 kabupaten masuk kategori prioritas III dengan frekuensi dibawah lima kejadian per tahun.
"Jadi dari total 183 kabupaten di Indonesia, 143 diantaranya termasuk dalam kategori rawan konflik," katanya.
Khusus di Maluku selain Malteng dan kepulauan Aru, empat kabupaten lainnya yakni Buru, Maluku Tenggara Barat (MTB), Seram Bagian Barat (SBB) dan Maluku Barat Daya (MBD) termasuk dalam 53 daerah rawan prioritas II, sedangkan kabupaten Seram Bagian Barat (SBT) termasuk dalam ketegori III.
Suprayoga mengakui, terhambatnya pelaksanaan kebijakan penanganan konflik di Indonesia antara lain disebabkan belum adanya kerangka hukum dan regulasi, lemahnya kapasitas SDM penanganan konflik dan perencanaan program perdamaian dan kurangnya kebijakan politik dalam memajukan daerah.
Selain itu, konflik data dan tidak adanya komitmen memperbaikinya, tata ruang dan master plan tidak jelas dan masalah kependudukan serta hak-hak keperdataan khususnya tanah, masalah penentuan batas administratif akibat pemekaran, terbatasnya anggaran pembangunan, kebijakan berpotensi konflik, identitas kesukuan yang kuat, pengelolaan konflik belum termuat dalam Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMPD), penanganan konflik bersifat parsial dan angka kemiskinan yang tinggi serta tuntutan korban konflik yang sangat besar/tinggi.
Kendati demikian, Suprayoga mengakui sejumlah langkah penanganan konflik yang dilakukan Bappenas dengan melibatkan sejumlah lembaga internasional telah berhasil mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik.
Sejumlah program yang dilakukan itu diantaranya "CEWER (conflict Early Warning and Early Response System) yang dilakukan Bappenas bekerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP), Pemukiman Kembali dan Reintegrasi Pengungsi Rentan yang dilakukan Uni Eropa bersama Humanist Institute for Development Cooperation (HIVOS).
Selain itu, bantuan untuk masyarakat korban konflik di Maluku yang dilakukan Uni Eropa bersama lembaga internasional Mercy Corps.
"Program CEWER yang dilaksanakan lembaga Peace Through Development (PTD) di lima daerah yakni Ambon dan Masohi (Maluku), Ternate dan Jailolo (Maluku Utara) serta Posso (Sulawesi Tengah) dinilai berhasil dan telah direplikasi di berbagai daerah," katanya.
Bahkan, lanjutnya, telah dipersiapkan program ujicoba strategis untuk mensinergikan CEWER dengan program pembangunan perdamaian yang dilakukan Bappenas dan UNDP melalui PTD.
Program PTD juga telah berhasil memperkuat kapasitas kelembagaan pemerintah dalam perencanaan pembangunan yang peka terhadap isu konflik, guna mendukung pencegahan konflik jangka panjang, penciptaan perdamaian dan upaya meningkatkan kehidupan masyarakat melalui usaha-usaha penciptaan perdamaian serta meningkatkan kesempatan kerja yang dilindungi oleh pemerintah.
Selain itu, pembentukan forum pemuda damai sebagai wadah bertukar pengalaman antarprovinsi peserta, kementerian/lembaga terkait dan akademisi tentang dinamika konflik, upaya pencegahan dan pengelolaannya dan mendiskusikan draf telaah kebijakan sebagai referensi penyusunan grand strategi pencegahan.
Termasuk, di dalamnya adalah pengelolaan konflik serta pembangunan perdamaian Indonesia 2010-2014, di samping mendapatkan pengalaman lapangan berkaitan isu konflik dan pembangunan sebagai pemantapan kebijakan di masa mendatang.
Sedangkan program pemukiman kembali dan reintegrasi pengungsi rentan yang dilakukan Uni Eropa dan HIVOS bertujuan memperkuat kapasitas masyarakat pengungsi paska konflik dan upaya pengembalian kehidupan lebih baik melalui fasilitas akses komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah serta komponen terkait.
"Program ini telah berjalan setahun terakhir di Maluku dengan beberapa tingkat keberhasilan diantaranya peningkatan kepemilikkan tanah melalui dialog dengan pemerintah desa dan tokoh adat setempat, bantuan paket perumahan, perencanaan masyarakat melalui rembuk warga untuk menentukan intervensi bagi keluarga terlantar," katanya.
Selain itu, pembangunan fasilitas air bersih dan sanitasi, perencanaan kegiatan bersama internal komunitas untuk peningkatan mata pencaharian serta advokasi masyarakat terlantar akibat kehilangan rumah yang ditangani lembaga Baileo dan koalisi pengungsi Maluku (KPM).
Sedangkan program Bantuan masyarakat korban konflik di Maluku yang dilakukan Uni Eropa bersama Mercy Corps telah berhasil menciptakan kapasitas kehidupan sosial masyarakat melalui tiga langkah utama pemberdayaan.
Langkah itu yakni identifikasi akses pelayanan publik dan musyawarah rencana pembangunan (musrenbang), peningkatan ekonomi masyarakat melalui akses pasar terhadap komoditi yang diproduksi serta pembentukan komite desa terlatih untuk monitoring dan evaluasi program.
Suprayoga juga menambahkan, selama tahun 2011 Kementerian PDT telah melakukan serangkaian rapat koordinasi tentang penanganan konflik di daerah tertinggal dengan kelompok kepentingan berkompeten untuk meminimalisasi terjadinya konflik.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2012