Ambon (Antara Maluku) - Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon menyatakan telah menyiapkan perlawanan terhadap Pengadilan Negeri (PN) yang memutuskan eksekusi sita rumah pribadi Wali Kota Ambon.
"Kami telah menyiapkan kuasa hukum untuk melakukan perlawanan atas putusan perkara perdata PN Ambon nomor 139/PDTG/2013/PN-AP, yang memutuskan akan mengeksekusi rumah pribadi," kata Wali Kota Ambon, Richard Louhenapessy, Minggu.
Menurut dia majelis hakim mengabulkan tuntutan penggugat Rudy Mahulette dengan tergugat satu Pemerintah Kota Ambon, Tergugat dua Pemerintah Provinsi Maluku dan Tergugat ketiga Richard Louhenapessy.
"Putusan PN menyatakan tergugat satu dan dua mengganti kerugian nyata sebesar Rp10 miliar dan tidak nyata Rp3 miliar. Serta menghukum tergugat tiga dengan mengeksekusi rumah pribadi saya di Desa Kayu putih kecamatan Sirimau," katanya.
Richard mengatakan, kasus Ini baru pertama kali terjadi di Indonesia. Menghadapi persoalan ini pihaknya tidak berhenti, tetapi akan melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Maluku.
"Putusan PN Ambon belum bersifat tetap, Kami masih diberi waktu selama 14 hari untuk nantinya melakukan upaya hukum banding kepada PT Maluku," tandasnya.
Pihaknya juga akan meminta Gubernur Maluku, said Assagaff untuk melihat kasus ini karena terindiskasi kolusi dan nepotisme.
Kasus ini berawal dari sebidang tanah di desa Passo, kecamatan Baguala. Tanah tersebut terdarfta hak pakai no 444 milik pemerintah provinsi Maluku, jaman kepemimpinan Gubernur M. Akib Latuconsina yang memberikan hak pakai kepada menantunya Umar Taher untuk pembangunan SPBU.
Tanah tersebut Gubernur diserahkan menjadi hak milik, padahal itu merupakan aset pemprov sesuai sk nomor 539/4/sk/149/193 tertanggal 12 mei 1993.
Selanjutnya tanah tersebut dijual kepada pihak ketiga, padahal dalam SK perjanjian pemanfaatan tanah Pemprov untuk mendirikan SPBU pada 7 November 1997.
Setelah tanah dibeli, lanjut Richard pihak ketiga berencana untuk membangun ruko, dan mengajukan IMB ke Pemkot Ambon.
Pemkot meneliti ternyata surat tanah sah, sehingga memberikan ijin untuk membangun ruko, tetapi saat pembangunan akan berjalan, Pemprov meminta kepada Wali kota dengan nomor 030/2008 tentang pembatalan ruko IMB atas nama Rudy Mahulete.
Pengugat akhirnya mengajukan gugatan ke PTUN Ambon dan gugatan tersebut diterima karena merasa dirugikan.
"Yang menarik dalam kasus ini, terguguat II dan II harus tanggung renteng tetapi saya selaku tergugat III, rumah pribadi saya menjadi jaminan, hal ini jelas sungguh aneh tetapi nyata dan baru pernah terjadi di Indonesia," tandasnya.
Ia menambahkan akan meminta DPRD untuk mempertanyakan aturan penerbitkan aset pemerintah kepada Umar Taher.
"Saya akan laporkan ke polisi bagaimana BPN bisa terbitkan sertifikat. Hal ini merupkan ketidakadilan dan UU ini juga membuka runag untuk kita ke komisi yudisial," kata Richard Louhenapessy.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014
"Kami telah menyiapkan kuasa hukum untuk melakukan perlawanan atas putusan perkara perdata PN Ambon nomor 139/PDTG/2013/PN-AP, yang memutuskan akan mengeksekusi rumah pribadi," kata Wali Kota Ambon, Richard Louhenapessy, Minggu.
Menurut dia majelis hakim mengabulkan tuntutan penggugat Rudy Mahulette dengan tergugat satu Pemerintah Kota Ambon, Tergugat dua Pemerintah Provinsi Maluku dan Tergugat ketiga Richard Louhenapessy.
"Putusan PN menyatakan tergugat satu dan dua mengganti kerugian nyata sebesar Rp10 miliar dan tidak nyata Rp3 miliar. Serta menghukum tergugat tiga dengan mengeksekusi rumah pribadi saya di Desa Kayu putih kecamatan Sirimau," katanya.
Richard mengatakan, kasus Ini baru pertama kali terjadi di Indonesia. Menghadapi persoalan ini pihaknya tidak berhenti, tetapi akan melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi Maluku.
"Putusan PN Ambon belum bersifat tetap, Kami masih diberi waktu selama 14 hari untuk nantinya melakukan upaya hukum banding kepada PT Maluku," tandasnya.
Pihaknya juga akan meminta Gubernur Maluku, said Assagaff untuk melihat kasus ini karena terindiskasi kolusi dan nepotisme.
Kasus ini berawal dari sebidang tanah di desa Passo, kecamatan Baguala. Tanah tersebut terdarfta hak pakai no 444 milik pemerintah provinsi Maluku, jaman kepemimpinan Gubernur M. Akib Latuconsina yang memberikan hak pakai kepada menantunya Umar Taher untuk pembangunan SPBU.
Tanah tersebut Gubernur diserahkan menjadi hak milik, padahal itu merupakan aset pemprov sesuai sk nomor 539/4/sk/149/193 tertanggal 12 mei 1993.
Selanjutnya tanah tersebut dijual kepada pihak ketiga, padahal dalam SK perjanjian pemanfaatan tanah Pemprov untuk mendirikan SPBU pada 7 November 1997.
Setelah tanah dibeli, lanjut Richard pihak ketiga berencana untuk membangun ruko, dan mengajukan IMB ke Pemkot Ambon.
Pemkot meneliti ternyata surat tanah sah, sehingga memberikan ijin untuk membangun ruko, tetapi saat pembangunan akan berjalan, Pemprov meminta kepada Wali kota dengan nomor 030/2008 tentang pembatalan ruko IMB atas nama Rudy Mahulete.
Pengugat akhirnya mengajukan gugatan ke PTUN Ambon dan gugatan tersebut diterima karena merasa dirugikan.
"Yang menarik dalam kasus ini, terguguat II dan II harus tanggung renteng tetapi saya selaku tergugat III, rumah pribadi saya menjadi jaminan, hal ini jelas sungguh aneh tetapi nyata dan baru pernah terjadi di Indonesia," tandasnya.
Ia menambahkan akan meminta DPRD untuk mempertanyakan aturan penerbitkan aset pemerintah kepada Umar Taher.
"Saya akan laporkan ke polisi bagaimana BPN bisa terbitkan sertifikat. Hal ini merupkan ketidakadilan dan UU ini juga membuka runag untuk kita ke komisi yudisial," kata Richard Louhenapessy.
COPYRIGHT © ANTARA News Ambon, Maluku 2014