Ambon, 17/7 (Antara) - Gubernur Maluku Said Assagaff mengaku belum menerima laporan penggusuran lahan dan bangunan milik warga adat desa Batlale, kecamatan Air Buaya di Kabupaten Buru yang disampaikan melalui Yayasan Pos Bantuan Hukum (Posbankum) Ambon.
"Saya belum terima suratnya, tetapi yang jelas kita pasti akan bekerja dengan meletakkan aturan di atas segalanya," kata gubernur di Ambon, Minggu.
Penggusuran lahan dan rumah serta tanaman umur pendek maupun pohon jati mas milik warga adat Batlale itu dilakukan pemerintah kabupaten Buru sejak Mei 2016 melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Dinas Pertanian setempat guna dijadikan lahan usaha II bagi para transmigran.
Menurut gubernur, kemungkinan surat warga sudah dimasukan ke Pemprov Maluku melalui Biro Hukum Setda setempat, tetapi belum diteruskan.
Hanya saja, sikap Pemprov Maluku jelas memperhatikan persoalan yang disampaikan masyarakat untuk diselesaikan sesuai aturan yang berlaku.
Ketua Yayasan Posbankum Ambon, Gidion Batmomolin dan sekretarisnya, Hendik Lusikoy mengakui telah menyampaikan surat warga Batlale beserta sejumlah bukti penggusuran lahan dan rumah kepada Pemprov Maluku melalui Biro Hukum Setda setempat sejak pertengahan Juni 2016.
Menurut Gidion, Yayasan Posbankum Ambon juga akan melaporkan pemerintah kabupaten Buru ke Polda Maluku atas tindak pidana penggusuran dan penyerobotan lahan milik masyarakat adat Batlale serta menggugat Pemkab secara perdata di Kantor Pengadilan Negeri Ambon.
Sedangkan, Sekretaris Yayasam Posbankum Ambon, Hendrik Lucikoy mengatakan Pemkab Buru, khususnya Dinas Nakertrans setempat telah melakukan pelanggaran HAM karena menggusur pemukiman warga serta merobohkan tanaman rakyat untuk kepentingan pembukaan lahan pertanian bagi transmigrasi.
Dia menjelaskan, sejak 2005 keluarga Fua menghibahkan lahan seluas 260 hektare kepada Disnakertrans kabupaten Buru untuk dijadikan lahan transmigrasi, namun luasan lahan tersebut tidak diukur secara kadasteral (agraria), kecuali untuk sebelah barat berbatasan dengan Batlale.
Selanjutnya Pemkab Buru melakukan penggusuran tahap pertama dan membangun rumah-rumah baru untuk ditempati para transmigran dari Pulau Jawa pada 2006.
Saat itu, Batlale masih berstatus dusun serta berada di bawah desa Waeula.
Ironisnya pada 2010, daerah transmigrasi dinaikan status menjadi desa definitif sementara Waeula selaku desa induk justru diturunkan statusnya menjadi dusun.
Belakangan para transmigran menuntut hak mereka mendapatkan lahan pertanian II, maka Disnakertrans Buru melakukan pengukuran baru sesuai hibah dari keluarga Fua seluas 260 hektare.
Ternyata pengukuran itu masuk jauh ke wilayah pemukiman warga Batlale, dan seluruh tanaman umur pendek maupun umur panjang saat ini telah digusur.
Bahkan satu rumah warga juga sudah dibongkar dengan alat berat termasuk pondasi untuk pembangunan gereja terancam digusur atas perintah seorang oknum Babinsa.
Hendrik mengemukakan, warga Batlale yang bakal digusur ini justru tidak diberikan solusi untuk mendapatkan lokasi pemukiman baru oleh Pemkab Buru.
Gubernur Belum Terima Laporan Penggusuran Warga Adat
Minggu, 17 Juli 2016 20:47 WIB