Jakarta (ANTARA) - Di tengah banyak terungkapnya kasus kekerasan seksual, pemerintah dan DPR terus bekerja keras memperjuangkan agar Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan.
Pengesahan RUU TPKS sebelumnya sempat tertunda karena tidak disahkan di Rapat Paripurna DPR pada Kamis (16/12/2021), namun pada Selasa (18/1) akhirnya RUU TPKS disahkan oleh DPR sebagai RUU Inisiatif DPR.
Kini Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pemerintah pada RUU TPKS telah rampung disusun.
Pada Jumat (11/2) di Kementerian Sekretariat Negara, empat menteri yang ditunjuk untuk mengawal pembahasan di DPR, yaitu Menteri PPPA, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial dan Menteri Dalam Negeri, telah bersama-sama membubuhkan paraf persetujuan pada DIM RUU TPKS tersebut.
DIM selanjutnya disampaikan kepada Presiden RI melalui Kementerian Sekretariat Negara untuk selanjutnya diserahkan kepada DPR.
Total DIM pemerintah terdiri dari 588 DIM yang terdiri dari 167 tetap, 68 redaksional, 31 reposisi, 202 substansi, 120 substansi baru, yang terangkum dalam 12 bab 81 pasal.
DIM ini diklaim telah mengakomodir masukan dari kementerian lembaga terkait, jaringan masyarakat sipil dan berbagai pihak lainnya, sehingga benar-benar sudah komprehensif menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di lapangan.
Baca juga: Kapolda Maluku copot Kapolsek Namrole, tegakkan aturan
Tidak tumpang tindih
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward O.S Hiariej mengatakan bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam RUU TPKS tidak akan tumpang tindih dengan peraturan dalam Undang-undang yang telah ada.
"Saya berani menjamin 100 persen tidak akan terjadi overlapping, tidak akan terjadi tumpang tindih dengan undang-undang yang existing," katanya.
RUU TPKS akan memuat hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang yang telah ada, seperti Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Edward menegaskan dalam menyusun DIM RUU TPKS, pemerintah melakukannya dengan seksama dan sangat teliti.
"Jadi kami menyandingkan apa yang sudah diatur dalam RUU KUHP, Undang-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Itu tidak akan diatur di dalam undang-undang ini," kata Wamenkumham.
Pihaknya menjelaskan DPR mengusulkan ada lima bentuk tindak pidana kekerasan seksual dalam RUU TPKS. Pemerintah kemudian menambahkan dua bentuk tindak pidana kekerasan seksual menjadi berjumlah tujuh bentuk tindak pidana kekerasan seksual, mulai dari pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Setelah penyusunan DIM selesai, kini "bola panas" berikutnya ada di DPR.
Baca juga: Polres Morotai tangani kasus oknum polisi perkosa remaja, begini kronologisnya.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS Willy Aditya mengatakan bahwa RUU TPKS akan dibahas pada masa reses. Pasalnya jadwal masa sidang DPR RI diketahui hanya sampai 18 Februari 2022.
"Diberikan izin (pembahasan RUU TPKS) di masa reses," katanya.
Pemerintah diharapkan segera mengirim surat presiden (surpres) beserta DIM agar pekan ini bisa segera dimulai proses pembahasan bersama RUU TPKS antara pemerintah dan DPR.
RUU TPKS yang sebelumnya merupakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah melewati proses yang sulit dan panjang sejak Tahun 2016.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga menekankan bahwa RUU TPKS harus segera disahkan menjadi undang-undang, mengingat tingginya angka kasus kekerasan seksual di Tanah Air yang penanganannya membutuhkan payung hukum khusus.
Data tingginya kasus kekerasan seksual ini merujuk pada hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2021, laporan Sistem Informasi Online Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), laporan Komnas Perempuan dan laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Baca juga: Polda Malut bakal pecat oknum anggotanya perkosa gadis di bawah umur, tegakkan hukum
One Stop Services
Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menyebut RUU ini akan mengedepankan one stop services atau sentra layanan terpadu dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Pada tingkat daerah, layanan akan diselenggarakan oleh dinas yang menangani urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Sentra layanan terpadu ini bertugas memberikan kemudahan, baik kepada korban, saksi, keluarga korban untuk melaporkan dan memproses kasus lebih lanjut sehingga dengan adanya sentra layanan terpadu, diharapkan penanganan kasus akan lebih mudah.
Selain itu, salah satu terobosan dalam RUU TPKS adalah mengakomodir restitusi bagi korban.
Bila pelaku tidak mampu memberikan restitusi kepada korban, maka negara akan memberikan restitusi kepada korban.
"Ini (pemberian restitusi) adalah salah satu terobosan," kata Jaleswari.
Baca juga: KPID keluhkan ke DPRD pengaduan ke Polda Maluku belum disikapi, tegakkan aturan
Menteri PPPA Bintang Puspayoga pun mengapresiasi masyarakat yang kini mulai berani bicara mengungkap kasus-kasus kekerasan seksual ke muka publik.
"Ini adalah fenomena gunung es yang mulai kita bisa cairkan, kita selesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, terutama kasus kekerasan seksual," kata Bintang.
Pihaknya menegaskan komitmen pemerintah, DPR, masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawal RUU ini dan memperjuangkan keadilan bagi korban kekerasan seksual, keluarga korban serta saksi.
Dengan semakin banyaknya korban kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak mendapatkan keadilan, masyarakat berharap agar RUU TPKS segera disahkan menjadi Undang-undang sehingga para pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal.
Dengan demikian diharapkan tidak akan ada lagi korban-korban kasus kekerasan seksual berikutnya.
Baca juga: Pelaku pencabulan terhadap anak kandungnya serahkan diri ke Polisi, tegakkan hukum